8 April 2016
Ethan
Ethan baru saja tiba ketika ia melihat mobil polisi terparkir di halaman depan rumahnya. Dua orang petugas yang tidak dikenalinya terlihat sedang berbicara dengan ibunya di teras. Percakapan itupun terhenti bersamaan dengan kemunculan Ethan. Kemudian salah seorang petugas berseragam dengan papan nama: Wes Liam, menatapnya lurus dan berkata, “kau Ethan?”
“Ya, ada yang bisa kubantu?” tanya Ethan sembari mengedarkan tatapannya. Pertama pada dua petugas itu kemudian pada ibunya yang berdiri dengan raut wajah gelisah.
“Ada beberapa hal yang ingin kami tanyakan seputar Amy Rogers. Mungkin kita bisa bicara di dalam.”
“Tentu. Masuklah!”
Dua petugas polisi itu duduk di seberang meja sembari menatapnya. Salah satu dari mereka telah menyiapkan sebuah catatan kecil, sementara petugas Liam yang bertanya.
“Dimana kau berada pada malam Senin tanggal 4?”
Butuh beberapa detik bagi Ethan untuk mengingat-ingat sebelum memutuskan untuk menjawab, “seingatku malam itu aku ada di rumah besi.”
“Rumah besi?” petugas Liam mengernyitkan dahinya.
“Ya, itu sebutan untuk bangunan terbengkalai di persimpangan menuju balai kota.”
“Apa yang kau lakukan disana?”
“Itu tempat berkumpul kami – aku dan teman-temanku. Kami pergi kesana beberapa kali dalam seminggu. Hanya datang dan mengobrol.”
Sang petugas mengangkat kedua alisnya seolah tidak memercayai ucapannya barusan.
“Hanya datang dan mengobrol.”
Ethan tidak berusaha meyakinkan dua petugas itu. Ia tidak memiliki alasan untuk melakukannya. Dua petugas itu bagaimanapun akan mencurigai semua pernyataan yang disampaikannya setidaknya sampai jawaban yang diberikan Ethan dapat memuaskan mereka.
“Ya,” sahut Ethan tanpa menurunkan tatapannya.
“Jadi, apa ada seseorang yang dapat membenarkan kesaksianmu barusan?”
“Temanku Aaron ada bersamaku disana.”
“Jadi kalian berdua saja?”
“Yang lain pergi lebih awal. Kami memutuskan untuk tinggal lebih lama.”
Petugas Liam bergeser di atas kursi. Satu rekannya yang lain masih duduk diam dan mencatat beberapa hal yang disampaikan Ethan.
“Pukul berapa kau sampai di rumah malam itu?”
“Aku tidak yakin, sekitar pukul sepuluh.”
“Dan ibumu ada di rumah?”
“Ya.”
Pria itu mengangguk kemudian dengan cepat mengubah topik pertanyaannya. “Seberapa dekat kau dengan gadis Rogers itu?”
“Amy,” Ethan menyela kalimat petugas itu tanpa ragu-ragu. Sifatnya yang arogan seketika muncul ke permukaan ketika mendengar bagaimana petugas itu menyebut Amy sebagai ‘gadis itu’. Menurut Ethan nama itu tidak pantas diberikan untuk korban kekerasan seperti Amy.
“Namanya Amy,” Ethan melanjutkan. “Aku lebih nyaman jika kau menyebutnya dengan nama itu.”
“Baiklah..” dua petugas itu saling bertukar pandang, seolah sedang mempertimbangkan untuk menyundutkan Ethan. Namun, alih-alih melakukannya, petugas Liam memilih untuk kembali pada pertanyaan pertamanya. “Jadi? Seberapa dekat kau dengannya?”
Jarum jam dinding menunjukkan pukul tujuh malam kala itu. Di luar langit sudah gelap. Pekarangan rumah para tetangga terlihat sepi, dan lampu-lampu taman sudah dinyalakan. Pada pukul tujuh biasanya Ethan sedang berdiri di bawah pancuran air, atau duduk memutar rekaman musik favoritnya. Sesekali pergi keluar untuk sekadar menghirup udara segar. Malam ini kelihatannya akan menjadi malam yang panjang, terutama dengan semua pertanyaan yang menjurus untuk menemukan bukti keterlibatannya atas kematian Amy. Ethan berbohong kalau ia mengatakan bahwa ia tidak cukup dekat dengan gadis itu. Selain itu firasatnya juga mengatakan kalau dua petugas itu sudah mengetahui jawabannya entah darimana. Mereka duduk disana hanya untuk mengklarifikasi kebenarannya dan mencari celah dimana mereka dapat melemahkan posisi Ethan dan mulai menjadikannya kambing hitam.
Ethan tahu semua itu dari pamannya – sang sheriff. Tumbuh besar sebagai anak yatim sekaligus anak tunggal yang tidak memiliki saudara laki-laki maupun sosok ayah yang membimbingnya membuat Ethan lebih sering mengikuti pamannya ketika ia masih kanak-kanak. Ethan mungkin bukan anak-anak lagi sekarang, dan jelas hubungannya dengan sang paman sudah merenggang sejak ia menjalani studi di sebuah universitas lokal sebagai mahasiswa hukum dan filsafat, namun tahun-tahun yang dihabiskannya bersama sang sheriff memberi Ethan pemahaman tentang seluk beluk pekerjaan laki-laki itu. Kecenderungan mereka untuk menetapkan setiap orang sebagai terduga tersangka terkadang tidak pandang bulu. Pamannya pernah mengatakan kalau kuasa hukum tidak berpegang pada hal selain rasionalitas. Apapun pernyataan yang menyimpang akan dianggap sebuah kesalahan.
Jadi tidak ada gunanya membohongi mereka dan Ethan lebih tergugah untuk meengakhiri percakapan itu lebih cepat sehingga ia bisa kembali pada rekaman musik lawas dan tugas laporan ilmiah yang sudah menunggunya di kamar.
“Cukup dekat. Aku menemuinya beberapa hari terakhir sebelum dia menghilang.”
“Jadi itu benar kalau kau terlibat hubungan asmara dengannya?”
“Tidak, dia tidak pernah menganggapnya begitu. Kami mengenal satu sama lain cukup dekat, itu saja.”
“Jadi kau tidak memiliki konflik dengannya?”
Ethan tertegun saat mempertimbangkan reaksi dua petugas polisi itu sebelum akhirnya mengatakan, “tidak.”
“Tidak ada konflik serius?”
Ethan menggeleng sekaligus mempertanyakan reaksi itu sebagai usaha untuk meyakinkan dirinya sendiri atau dua petugas itu. Kali terakhir pertemuannya dengan Amy tidak berjalan baik. Gadis itu nyaris meneriaki Ethan, mengatakan bahwa sebaiknya Ethan tidak berusaha mendekatinya lagi.
“Tidak ada,” sahut Ethan untuk menanggapi petugas itu.
“Kapan terakhir kali kau melihatnya?”
“Sekitar satu minggu yang lalu, di dekat sekolahnya.”
“Bisa kau jelaskan?”
“Ya, aku berniat mengajaknya pergi. Ada sungai yang biasa kami kunjungi. Tapi Amy menolak saat itu. Dia bilang dia ada pekerjaan shift malam setelah pulang.”
“Apa kau pernah mencoba untuk berkomunikasi dengannya lagi setelah itu?”
“Ya, aku menghubunginya beberapakali, tapi dia tidak menjawab panggilanku.”
“Kenapa? Kenapa dia tidak berbicara denganmu?”
Ethan mencari jawaban itu di kepalanya, kemudian putus asa. “Aku tidak tahu.”
“Apa kau tahu seseorang yang mungkin terlibat masalah dengannya?”
“Aku tidak tahu jika ada orang yang terlibat masalah dengannya sebelum dia dinyatakan menghilang, tapi aku tahu keluarganya. Ayahnya dan saudara laki-lakinya, Cole – mereka memperlakukan Amy dengan buruk.”
“Kau percaya jika mereka melakukan hal itu pada Amy?”
Hening. Ethan menimbang kemudian menatap petugas Liam dan mengungkapkan pendapatnya dengan tegas.
“Ya. Aku yakin itu perbuatan mereka. Tidak ada yang memperlakukan Amy lebih buruk daripada mereka.”
Setelah wawancara itu berakhir, Ethan memandangi kepergian dua petugas polisi itu dari balik jendela kamar. Ia menyaksikan saat lampu mobil mereka berputar di sebuah tikungan sebelum menghilang ditelan kegelapan. Seisi rumah menjadi hening setelahnya sementara kepalanya dipenuhi oleh sejumlah pertanyaan tentang seberapa besar kemungkinan polisi itu mencurigainya sebagai tersangka.
Ada seseorang yang mengatakan bahwa Ethan cukup pandai berbicara. Aura yang dimilikinya merupakan anugerah yang diwariskan oleh garis keturunan ayahnya. Laki-laki itu mungkin tidak memiliki aura itu, tapi pamannya – sheriff O’Riley memilikinya. Keluarga mereka termasuk yang cukup dipandang disana. Orang-orang memercayai bahwa keturunan mereka cukup spesial. Paman Neil menolak semua gagasan itu, sementara Ethan lebih senang memikirkannya.
Seberapa sering orang menyampaikan kebohongan dan mengubur bangkai busuk di bawah tanahnya sendiri? Berapa lama waktu yang dibutuhkan sampai bau busuk itu naik ke permukaan? Tapi seperti yang seringkali terjadi, kebenaran selalu datang setelah satu atau dua nyawa melayang.
Selagi memikirkannya, Ethan duduk di belakang meja sembari menatap layar laptopnya yang menyala terang. Ia membuka sebuah dokumen bersisi laporan ilmiahnya dengan tiga paragraf yang masih menggantung. Ethan sudah berkomitmen akan menyelesaikan laporan itu pada akhir bulan lalu, kemudian peristiwa yang menggemparkan terjadi sehingga fokusnya teralih dan lagi-lagi ia harus menunda penyelesaian laporan penelitiannya. Malam itu sebuah gagasan muncul di kepalanya secara tak terduga. Ia mengira bahwa gagasan itu muncul dari emosi acak yang dirasakannya beberapa hari terakhir. Semakin jauh ia memikirkannya, semakin dalam ia menenggelamkan dirinya pada sejumlah prasangka yang tidak berdasar. Namun Ethan tidak bisa hanya mengabaikannya begitu saja, jadi ia mulai menulis kalimat pertama yang terbesit dalam benaknya malam itu; OBSESI – DAN TUJUH PREDATOR MENTAL LAINNYA.