Bab 2

2100 Words
7 April 2016 Ellary Bata yang disusun secara bertingkat membentuk dinding di halaman belakang rumahnya memperlihatkan sebuah lubang kecil seukuran kepalan tangan. El menatap susunan bata itu sembari tertegun. Setelah hampir tujuh tahun menempati rumah itu, bergerak mondar-mandir ke halaman belakang, kebun, dan kolam, El belum pernah melihat lubang pada dinding bata yang membatasi pekarangan dengan kolam. Puing-puing bekas pecahan batunya masih tersebar di atas rumput hijau yang mana mengindikasikan bahwa lubang itu mungkin terbentuk baru-baru ini. Tapi apa yang menyebabkan dinding itu pecah? Ketika El melihatnya lebih dekat, lubang itu cukup dalam. Permukaannya yang tidak rata memperlihatkan jalur bekas air hujan yang merembes. Lubang itu memberi jalan bagi air yang merembes masuk itu untuk dapat keluar mencapai tanah di halaman belakang rumahnya. Terdapat garis hitam gelap di dinding sebagai jalur penanda kemana air itu mengalir. Dindingnya juga sudah rapuh. Ketika El mengetukkan kepalan tangannya di atas dinding itu, butir-butir semen yang melapisi batanya bertebaran jatuh ke atas tanah. El meraih sekop untuk mengetuknya lebih keras dan bagian dinding yang diketuk itu-pun menunjukkan retakan di permukaannya. Dinding di halaman belakang rumah itu memang tidak penah direnovasi. Dapat dikatakan dinding itu menjadi salah satu bagian dari rumah yang tetap sama seperti kali pertama El datang kesana. Bangunan yang ditempatinya – tidak peduli betapa eloknya – telah menunjukkan penuaan alami yang mulai terlihat satu persatu. Mulai dari pipa airnya yang rusak, kasau jendela yang lapuk, atap kabin kayu di belakang yang mulai rapuh, dan sekarang dindingnya yang hancur. Salah satu hal tua yang bertahan untuk menyimpan kisah tentang rumah itu hanyalah pohon oak berusia ratusan tahun yang berdiri di dekat kolam. Meskipun kini dahan-dahannya yang membesar sudah menjorok hingga hampir menyentuh atap rumah dan perlu ditebang. Ada beberapa bagian tentang rumah itu yang ingin dijaganya tetap sama. Dinding di dekat kolam dan pohon oak itu merupakan salah satunya. Sulur-sulur tanaman menyelimuti dinding itu seperti jubah tebal. Setiap harinya memanjang beberapa inci sehingga El harus sering pergi kesana untuk memangkasnya sebelum sulur tanaman itu menjarah halaman di sekitar kolam. Namun tetap saja seberapa keraspun usahanya untuk mengendalikan alam, mereka tetap kembali pada sifat alaminya yang liar. Tanaman itu tidak tunduk pada El, melainkan pada musim yang silih berganti dan cuaca yang tidak menentu. Ketika cuacanya cukup ekstrem, tanaman itu tumbuh dua kali lebih cepat dari biasanya. Terkadang El harus bekerja ekstra untuk memastikan setiap sudut tempat di rumahnya terlihat sempurna. Siapa bilang menempati rumah besar adalah pekerjaan mudah? Di samping tugasnya mengurus anak dan pekerjaan sampingan di galeri, El harus bangun pagi-pagi untuk memangkas rumput, memastikan kolamnya bersih dan semak-semak tidak tumbuh melebihi batas ukuran sehingga berpotensi merusak pagarnya. Meskipun begitu, El menikmati pekerjaan itu, kecuali bagian ketika ia harus menyingkirkan bangkai rakun yang sudah membusuk di dalam parit dan membersihkan kotorannya yang telah lama mengering. Lima belas menit setelah kepergian Mike, El mengerjakan semua itu. Namun pekerjaan yang dipikirnya akan selesai dalam kurun waktu kurang dari satu jam, ternyata menyita waktunya lebih lama. El menggali tanah dengan sekop sampai tubuhnya berkeringat. Akibat tanahnya yang mengering, pekerjaan itu memakan waktu lebih lama dari yang diperkirakannya, tapi begitu sekopnya menyentuh inti permukaan yang lebih dalam, kelembapan tanah di bagian intinya mempermudah El untuk menggali lebih dalam. Dalam kurun waktu tiga puluh menit, tanah yang digalinya itu-pun membentuk lubang yang dengan ukurannya mampu menampung seekor rusa sekalipun. El menyeka dahinya yang berkeringat sembari menatap lubang. Puas setelah menyaksikan hasil pekerjaannya. Sementara itu, halaman belakang rumahnya sehening makam di tengah hutan. Pada pukul delapan, kabut yang turun dari kawasan perbukitan telah menghilang, digantikan oleh cahaya matahari yang membanjiri pekarangan. Cuaca menjadi sedikit lebih hangat pada musim panas. Semilir angin yang biasanya saling berkejaran, kini bergerak seringan kapas. El duduk sebentar untuk beristirahat. Hari itu ia tidak cukup sibuk sehingga tidak perlu tergesa-gesa. Setelah meneguk minumannya, El kemudian bergerak menuju kabin kayu kecil, tempat dimana ia biasa menyimpan peralatan berkebunnya, kemudian menyeret sebuah plastik hitam besar dari dalam kabin itu. Bau busuk tercium tajam ketika El merobek plastik yang menyimpan bangkai anjing berusia dua hari. El melemparnya dengan dengan tergesa-gesa ke dalam lubang bersamaan dengan bangkai rakun yang baru ditemuinya pagi ini. Bangkai itu diselimuti oleh noda gelap bekas darah yang mengering di sekujur tubuhnya. Memar biru di tubuhnya akibat benturan keras dapat telihat jelas. Satu bola matanya hampir lepas, dan beberapa giginya yang copot masih belum ditemukan. Lalat mengerubungi bangkai itu seperti santapan lezat, sejenak menempel di atas tubuh bangkai kemudian terbang mengelilingi tubuh bangkai dan mengeluarkan suara dengungan yang keras. Untuk meredam bau busuk yang menguar, El menyiram bangkai itu dengan cairan alkohol, kemudian menutupinya dengan kain tebal sebelum menguburnya dengan tanah. Gundukan kecil di halaman belakang rumahnya itu kemudian ditutupi oleh hamparan dedaunan kering. El kemudian menginjaknya dengan kaki untuk meratakan gundukan. Ketika melakukannya, angin bertiup pelan dari arah perbukitan. El menatap ke sekelilingnya, mendengar suara gemerisik dedaunan sebelum menyaksikan sejumlah dedaunan kering itu jatuh ke permukaan kolam. “Sial.” Ketika El hendak membersihkannya, suara nyaring telepon dari ruang tengah terdengar keras. Ia mengepakkan peralatan berkebunnya dengan cepat dan berlari ke ruang tengah untuk menyambar telepon. Seseorang yang menghubunginya ternyata Glenda, salah satu guru yang mengajar putranya di taman kanak-kanak. El sempat menyapanya sesekali, tapi tidak cukup sering berbicara dengan wanita itu. “Apa ini ibu Gilbert?” “Ya, ini aku.” “Bagaimana keadaan Tyler sekarang? Apa dia baik-baik saja?” “Dia baik-baik saja, ada masalah apa?” Tiba-tiba wanita itu memelankan suaranya. “Aku tidak bermaksud membuatmu khawatir, tapi putramu mungkin membutuhkan perhatian khusus.” El tidak yakin tentang apa yang sedang dibicarakan wanita itu. Ia menatap ke sekeliling ruangan itu dengan kebingungan, sesekali menekuk jari-jarinya dengan tidak nyaman. “Apa? Maaf, tapi ada apa dengannya?” “Kemarin dia memukul temannya dan dengan sengaja mendorongnya dari wahana bermain anak.” Hawa panas menjalar naik dan El merasakan wajahnya memerah. “Apa? Bagaimana bisa? Temannya mungkin mengganggunya..” “Tidak, Ibu Gilbert. Saya selaku pihak sekolah mengamati mereka. Daniel, temannya yang di dorong, bukan anak yang suka mengganggu teman-temannya. Daniel baik-baik saja sampai Tyler mendorongnya dengan keras sampai jatuh. Kita perlu bersyukur karena Daniel tidak terluka, tapi aku juga bertugas untuk memberitahumu tentang hal ini.” “Aku.. umm...” “Dengar, ibu Gilbert! Aku tidak bermaksud membuatmu tidak nyaman. Tyler adalah anak-anak kami juga, kami berketugas mengawasinya. Jika ada masalah yang mengganggunya, kami ingin tahu. Kami hanya ingin memastikan dia baik-baik saja dan kau boleh datang untuk membicarakan hal itu kapan saja. Aku sangat menyukai Tyler, dia anak yang manis.” “Terima kasih sudah memberitahuku hal ini, tapi aku akan mencoba untuk berbicara dengannya dulu.” “Apa kau yakin tidak ada yang dapat kami bantu? Mungkin Tyler membutuhkan istirahat untuk satu atau dua hari..” “Tidak,” sela El dengan cepat. Ia menumpukan beban tubuhnya di satu kaki lain dan mulai bergerak dengan gelisah. “Itu tidak diperlukan. Seperti kataku, putraku baik-baik saja. Aku akan berbicara padanya.” “Baiklah, Ibu Gilbert. Selamat siang.” Panggilan telepon ditutup. El meletakkan gagang telepon dengan perasaan kesal. Selama beberapa menit ia hanya bergerak mondar-mandir di dapur, kemudian memutuskan untuk pergi ke ruang penyimpanan dan mengobrak-abrik sebuah kardus yang sudah lama ditutupnya dengan rapat. Disana El menemukan tumpukan pakaian bayi yang masih baru dan belum sempat digunakan, lembar salinan hasil scan, dan juga sejumlah foto yang memperlihatkan kemesraannya bersama Mike di sebuah pantai pada musim semi belasan tahun yang lalu. El, mengenakan dress kuning bercorak dan topi coklatnya, sedang duduk di pasir bersama Mike yang mencondongkan wajahnya untuk mencium perut El yang sudah membuncit. Mereka tampak sangat bahagia dalam foto itu. El masih mengingat perasaan membuncah ketika mereka menantikan kehadiran putra pertama mereka. Kala itu Mike membawanya ke sebuah pantai utara yang cukup jauh dari apartemen pertama yang ditempati mereka di kota. Tempatnya sangat indah. Angin sejuk membelai wajahnya dengan lembut sementara pasir putih menggelitik telapak kakinya. El menyaksikan ombak yang saling berkejaran menuju tepian di bawah langit keemasan senja yang tampak dekat. Suara deruannya terdengar keras. Sementara Mike yang berdiri di belakangnya melingkari lengan ke seputar perutnya, kemudian menunduk untuk menciumi bahunya yang telanjang. Mereka duduk di sana selama berjam-jam sampai langitnya gelap. Sesekali Mike menghibur El dengan mengangkat dan mengayunkan tubuhnya kemudian membawanya mengelilingi pantai. Mereka menyepakati nama yang akan mereka berikan untuk putra pertama mereka dalam perjalanan itu. El juga berbicara banyak tentang rencananya, sementara Mike lebih banyak mendengarkan. Sesekali laki-laki itu menundukkan wajah untuk menciumnya. Rasa anggur yang dicicipi Mike masih tertinggal di bibirnya. El merasa hanyut setiap kali Mike menciumnya. Bahkan setelah belasan tahun mengenalnya, El masih merasakan getaran yang sama setiap kali Mike menyentuhnya. Kemudian El dengan suka rela akan membaringkan kepala di pundaknya. Meyusuri jari-jarinya yang telanjang di atas kulit Mike sementara wajahnya menempel di atas d**a laki-laki itu. Sejak kehamilan pertamanya, El merasakan desakan kuat untuk berada di dekat laki-laki itu lebih sering. Tidak hanya sekali ia menempelkan wajahnya di atas d**a Mike ketika hendak tidur hanya karena El merasa lebih tenang ketika mendengar suara detak jantungnya. Tapi kemudian bayang-bayang itu kabur bersamaan dengan ingatan acak yang muncul secara tiba-tiba tentang wajah seorang gadis yang didesak masuk ke dalam air dan teriakkannya yang teredam. Seseorang menjambak rambutnya dengan keras, mengangkat wajah gadis itu dari permukaan air hanya untuk menenggelamkannya lagi. Saat bayangan itu lenyap, El menyentak foto-foto itu ke dalam kardus dengan keras kemudian menutupnya dengan rapat selagi ia berusaha mengendalikan nafasnya yang tersengal. Jari-jarinya telah bergetar sehingga El harus mengepalkannya dengan kuat. Ingatan singkat akan kejadian itu menyisakan perasaan gelisah untuknya. Bahkan setelah duduk berjan-jam dengan sebotol alkohol, El belum juga berhasil mengusir bayangan akan kejadian itu. Buku-buku jarinya memutih saat mencakar lengan penyerangnya. Gadis itu berteriak saat berusaha membebaskan diri. Ketika wajahnya masuk ke dalam air, dunianya tiba-tiba menjadi hening. Apa yang bisa disaksikannya hanyalah kegelapan di bawah air. Kemudian saat pria itu mengangkat wajahnya lagi, udara menyentuh kulitnya yang terasa kebas. Gadis itu menarik nafas, sebisa mungkin memanfaatkan kesempatan untuk mengisi paru-parunya dengan oksigen karena tahu kalau pria itu akan mengenggelamkan lagi – dan lagi – dan lagi. “Kumohon.. berhenti! Kumohon..” rintih gadis itu di tengah isak tangisnya. Sepasang mata gelap yang menatapnya itu kosong – tanpa emosi. Sementara tangannya yang besar terus mendorong wajah gadis itu ke dalam air, mengangkatnya, kemudian mendorongnya lagi, dan melakukan hal yang sama selama berkali-kali sampai gadis itu berpikir kalau dia sudah mati. “Kau wanita murahan.. kau w************n yang kotor..” Gadis itu mendengarnya dari dalam air sebagai dengungan samar. Pria itu mengatakan hal yang sama berkali-kali. Dan lagi, dan lagi. Suara alarm dari oven yang menyadarkan El dari lamunannya. El terburu-buru mengeluarkan makanannya dari dalam sana, sayangnya sudah terlambat. Akhirnya makanan yang sudah ia siapkan selama hampir satu jam harus berakhir di dalam keranjang sampah. El menggeram dengan kesal. Sementara itu dari ruang tengah, televisi yang dibiarkan menyala memperlihatkan siaran berita lokal tentang penemuan jasad seorang gadis di pinggir sungai. Puluhan orang telah memadati kawasan itu untuk menyaksikan secara langsung saat tiga orang petugas saling bekerjasama memasukkan jasad ke dalam kantong mayat kemudian menggotongnya ke dalam ambulans. Garis kuning polisi dipasang untuk menghentikan kerumunan yang bergerak dengan berani mencapai area TKP. Sementara itu kamera beberapakali menyorot wajah sheriff O’Riley yang datang untuk menyelidiki TKP secara langsung. Sang sheriff tergesa-gesa ketika menghindari kerumunan wartawan, tampak jelas kalau ia tidak merasa nyaman dengan orang-orang yang hadir disana. Kemudian, layar berkedip dan kembali menampilkan wajah reporter yang sedang berdiri membawakan berita penemuan jasad itu. “Identitas korban masih dipertanyakan, namun beberapa rumor yang tersebar mengatakan bahwa korban bernama Amy Rogers, gadis yang telah dinyatakan menghilang selama 3 hari. Jasadnya baru ditemukan sekitar pukul enam pagi oleh seorang petugas yang sedang berkeliling. Penyebab kematian sampai saat ini belum dapat dipastikan dan jasad sedang dalam perjalanan untuk di autopsi. Ayah korban, Billy Rogers, telah datang dan mengonfirmasi bahwa jasad itu adalah putrinya. Sementara pihak kepolisian masih tutup mulut hingga saat ini..” El mematikan layar televisi itu dan dengan cepat bergerak menuju dapur, tepat dimana ia meninggalkan ponselnya. Setelah menyambar ponsel itu, El menekan sejumlah nomor yang sudah dihapalnya dan dalam beberapa detik, panggilannya segera tersambung. Suara Mike terdengar serak di seberang telepon. “Ini aku,” sahut suara di seberang. “Kau sudah mendengar beritanya?” “Ya.” El terhenyak kemudian menelan liurnya dengan susah payah. “Aku akan menjemput Sloane. Aku tidak yakin dia siap mendengar ini.” “Baiklah.” “Bisakah kau pulang lebih cepat hari ini?” “Aku tidak tahu, tapi akan kuusahakan.” “Oke, berhati-hatilah.” “Ya.” “Aku mencintaimu, Mike.” “Aku mencintaimu juga.” Sambungan telepon diputus.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD