2. Sang Dara dan Ibunya

1586 Words
Aku tidak pernah menyesal bertemu dengan orang-orang baik di sekitarku. Jakarta, 1990. Embun 7 years old. Setiap satu bulan sekali, panti asuhan Kasih Ibu akan kedatangan orang-orang yang berdonatur kepada mereka. Setidaknya saat ini, ada dua donatur tetap yang akan selalu menyokong setiap kebutuhan yang diperlukan oleh para penghuni panti. Dua donatur itu adalah Anggara Corp, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang tekstil, dan Almairi's Corp, perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi. Setiap donatur akan datang, panti asuhan selalu disibukkan dengan berbagai kegiatan. Salah satunya adalah memasak. Bu Sri, yang pada saat itu sudah berusia empat puluh tahun dan sedang sakit-sakitan, dibantu oleh anak-anak panti. Salah satu dari anak-anak itu adalah Embun Namira. Dara cilik berusia tujuh tahun yang rambutnya sering dikepang dalam setiap kegiatan itu sedang membantu Bu Sri dan Mbak Hanna—selaku pengurus panti, mewakilkan Bu Sri jika beliau berhalangan—dalam membungkus makanan yang akan mereka masukkan ke dalam kotak makanan. "Lambang sarinya ditaruh di sini aja ya, Bu?" Tanya Embun. Dara itu mengangkat kue lambang sari—kue yang terbuat dari sagu dan tepung beras, dengan pisang sebagai isinya—ke hadapan Bu Sri. Bu Sri tersenyum sambil mengangguk. "Iya, Nak. Taruh di sini kuenya." Ujar Bu Sri. Kuasanya menyodorkan kotak kue ke hadapan Embun, bermaksud agar dara itu segera memasukan kue lambang sari tersebut. "Oke!" Embun cilik memasukan kue lambang sari, pastel isi bihun yang dicampur dengan wortel, agar warna-warni, dan satu gelas air mineral. Setelah memasukan semua makanan itu, Embun menutup penutup kotak dan menyusunnya bersamaan dengan kotak-kotak yang lain. "Embun kalau capek istirahat aja, ya. Ibu ada yang bantuin kok." Embun menggelengkan kepala. Tangannya kembali meraih kotak makanan dan mulai mengisinya lagi. "Enggak mau. Embun mau bantu ibu aja, soalnya temen-temen juga mainnya enggak asik." Kata Embun. Embun termasuk anak yang jarang sekali bermain dengan teman sebayanya di panti. Bukan karena dia tidak diajak, melainkan dara itu memisahkan diri. Dia lebih senang duduk sendirian, mengisi kolom teka-teki silang dengan pemikirannya yang ajaib, atau membaca buku yang disumbangkan oleh orang-orang di sekitar panti. Sejak kecil, Embun tidak punya ketertarikan untuk memainkan boneka seperti anak-anak yang lain. Dia berpikir, jika bermain dengan boneka adalah suatu hal yang membosankan dan buang-buang waktu saja. Lagipula, boneka itu kan tidak hidup, pikir Embun. Jadi, karena ketidaktertarikan itulah yang menyebabkan Embun jarang bermain dengan teman-temannya. Anak itu tidak masalah sama sekali jika dia harus bermain sendiri, justru dia malah merasa senang dan bisa bebas melakukan apa pun tanpa paksaan. Sebagai ganti dari kesendirian itu, Embun jadi sering membantu ibu panti dan mbak Hanna dalam mengurus keperluan panti. Segala hal yang terjadi di panti ini, Embun pasti mengetahuinya. "Embun kenapa kok enggak mau main sama temen-temen yang lain? Kan temen yang lain juga baca buku kayak Embun?" Mbak Hanna bertanya. Embun mendongakkan kepala, pupil matanya menatapi sosok mbak Hanna yang duduk persis di sebelah Bu Sri. "Embun enggak mau aja. Embun suka sendiri soalnya." "Lho, kalau suka sendiri kok suka bantuin mbak Hanna sama ibu?" Dara itu tersenyum manis. "Aku suka bantu-bantu ibu, soalnya kalau bantu ibu, nanti ibu bisa istirahat lebih cepat." "Uh, perhatiannya anak ibu yang baik hati ini!" Puji Sri pada Embun. Tangannya mengusap rambut dara cilik itu sambil tersenyum manis. "Anak manisnya ibu, Embun Namira." Embun menyunggingkan satu senyuman juga setelah mendapat pujian itu. "Ibu jangan gitu. Embun malu ...." Hanna dan Sri berpandangan sebelum tertawa. Satu fakta lagi tentang Embun, bahwa anak itu memang pemalu luar biasa. Dia tidak bisa mendengar orang memujinya barang sedikit saja, karena jika dirinya mendengar pujian itu, dia akan sangat salah tingkah dan tidak tahu mau melakukan apa. "Embun si putri malunya ibu Sri!" • Kegiatan panti Kasih Ibu sudah selesai sejak dua puluh lima menit yang lalu. Seluruh orang-orang yang hadir bahkan sudah pulang, termasuk pada donatur. Sekarang, orang-orang di panti asuhan sedang sibuk membereskan barang-barang yang habis dipakai dan dikembalikan ke tempatnya semula. Embun Namira, dara cilik itu mengambil sapu ijuk dan pengki kemudian pergi ke bawah pohon mangga yang dipenuhi oleh daun-daun kering yang telah jatuh. Embun menyapunya tanpa sisa, sambil berpikir tentang rencana mengisi teka-teki silang di buku yang baru. Setelah memasukan daun-daun kering itu ke dalam bak sampah, Embun Namira ingin membawakan pengki dan juga sapu itu kembali ke tempatnya, tetapi langkahnya terhenti. Pupil matanya menatap seorang perempuan dewasa, yang dia perkiraan mungkin berumur 40 tahun ke atas, sama seperti ibu Sri. "Punten, Ibu mau cari siapa?" Si ibu yang ditanya oleh Embun menoleh dengan raut terkejut. "Eh, oh, enggak cari siapa-siapa." Jawabnya dengan senyum yang terlihat dipaksakan. "Oh, kirain cari seseorang." Timpal Embun kepada ibu di hadapannya, lagi. "Enggak ada kok. Saya cuma mau lihat-lihat aja." Embun mengangguk. Dia menolehkan kepala ke arah pintu masuk panti dan sosok ibu di hadapannya secara bergantian. "Ibu mau masuk dulu enggak? Ibu aku ada di dalam kok." Ibu aku. Ibu aku. Ibu aku. Entahlah, sejak kapan frasa ini bisa menyakitkan di rungunya? "Enggak usah, Nak. Ibu cuma mau lihat-lihat aja. Karena kayaknya anak-anak di sini pada bahagia, ya." Embun tersenyum lebar. Dara itu mengangguk, membuat rambutnya yang hari ini tidak dikepang—ia biarkan rambut cokelatnya digerai dengan pita merah menghiasi poninya—terbang-terbang terbawa angin saat dia mengangguk dengan penuh semangat. "Iya, Ibu. Di sini aku sama temen-temen aku seneng banget. Soalnya, mbak Hanna sama ibu Sri enggak pernah galak ke kita. Sering jajanin kita, bahkan sekolahin kita juga." "Syukurlah," ucap ibu itu. Di hatinya sekarang tersimpan kelegaan luar biasa yang tidak bisa dia jabarkan rasanya. "Kamu ...," Ibu itu menjeda ucapannya demi bisa menggenggam tangan kecil dara itu. "Kamu harus bahagia, ya? Enggak boleh sedih-sedih. Semoga Tuhan memberkati hidup kamu." Meski tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh ibu-ibu di depannya, tetapi Embun Namira tetap mengangguk guna menghormati orang di depannya ini. Setelah mengatakan hal ambigu, ibu itu pun melepaskan genggaman tangannya dengan Embun dan perlahan menjauh dari sana. Satu tetes air matanya jatuh, manakala dia berusaha mempercepat langkah agar anak-anak yang sedang menunggu dia di ujung jalan tidak mengkhawatirkannya. "Kamu datang ke sana lagi, Minah?" Yap, benar. Orang yang mendatangi panti itu adalah Minah. Wanita itu mengangguk pelan sambil mengusap air mata yang jatuh ke pipinya. Hatinya menjadi muram kala mendengar putrinya, putri yang dikandungnya menyebut orang lain sebagai ibu. Sardi menatap istrinya dengan pandangan mata lelah. Dihelanya napas dengan begitu panjang, seolah-olah beban yang ada di pundak Sardi ingin dia lepaskan begitu saja. "Saya udah bilang berapa kali, kan, ke kamu. Kamu enggak usah ke tempat itu lagi. Saya ngerti kamu kangen sama putri kita, tapi enggak gini, Minah. Kamu nyakitin diri kamu sendiri." "Saya ... enggak bisa, Mas. Dia tetap putri saya." Sardi melangkahkan kaki untuk selangkah lebih dekat dengan istrinya. "Ya, saya tahu. Dia juga putri saya, putri kita. Tapi kalau kamu terus mendatanginya, kamu akan sakit sendirian, Minah." "Saya enggak masalah," ujar Minah. "Saya cuma pengin lihat anak saya. Saya bahkan enggak sempet kasih dia asi, saya enggak mau enggak bisa melihat dia seumur hidup saya, Mas Sardi." Istrinya yang keras kepala. Sardi sudah memperingati wanita itu agar dia tak perlu lagi mengunjungi panti Kasih Ibu, tempat di mana mereka menitipkan sosok jabang bayi yang waktu itu baru saja menghirup udara dunia. Sardi tahu istrinya tak akan kuat melihat anak mereka lebih dekat dengan orang lain, pun Sardi juga tahu kalau istrinya berusaha sekuat tenaga agar tak menangis di depan putri mereka. "Saya beneran enggak ngerti sama kamu. Saya udah enggak bisa ngomong apa pun, karena rasanya bakalan percuma saya ngomong pun, kamu enggak akan dengar, kan?" Minah tak menjawab. Wanita itu sibuk mendudukkan dirinya di pinggiran trotoar jalan. Anak bungsunya yang berusia delapan setengah tahun hanya bisa menatapi kedua orang tuanya yang berargumen tanpa dia mengerti artinya. "Terus sekarang kamu maunya gimana?" Tanya Sardi. Dia juga mendudukkan diri di sebelah Minah. Minah menoleh, pupil matanya fokus pada pupil mata Sardi. "Mau ambil dia lagi, Mas." "Minah ... kamu gila?" Sardi makin tidak mengerti dengan isi pikiran istrinya. Minah mengangguk pelan sebagai jawaban atar pertanyaan Sardi tentang kewarasannya. "Saya sepenuhnya waras, Mas. Saya pengin ambil anak saya lagi. Saya enggak peduli apakah nantinya kita bisa makan atau enggak. Yang saya tahu, saya ingin berkumpul dengan anak-anak saya." • Suasana panti Kasih Ibu dihebohkan oleh berita kecelakaan lalu lintas yang melibatkan tergulingnya mobil truk pengangkut pasir dan itu terjadi di sekitar area panti. Kecelakaan itu menghasilkan korban jiwa sebanyak 6 orang dan 4 luka-luka. Polisi masih mengamankan tempat kejadian perkara dan mengevakuasi para korban untuk selanjutnya mereka bawa ke rumah sakit. Embun Namira yang melihat ribut-ribut di luar menjadi penasaran. Dara itu mematikan radio yang sedang memutar musik-musik milik Chrisye dan menaruhnya di atas nakas. Tungkainya bergerak keluar untuk mengamati keadaan sekitar. "Embun! Mau ke mana kamu?" Embun menghentikan langkah dan menatap Bu Sri dengan tatapan bingung. "Embun mau lihat itu, Bu. Rame-rame ada apa sih?" Bu Sri yang mendengar itu kontan menarik tubuh Embun untuk mendekat ke arahnya. Dipeluknya erat-erat daksa dara itu. "Jangan, Embun. Di sana bahaya. Embun di sini aja, ya, sama temen-temen yang lain juga." "Emangnya ada apa sih, Bu?" Tanya Embun, masih penasaran. Bu Sri menggeleng. "Enggak ada apa-apa, Nak. Semuanya akan aman kok. Embun di dalam aja, ya?" Meski tidak mengerti sepenuhnya, Embun tetap menuruti perkataan Sri untuk kembali ke dalam. Dia penasaran dengan apa yang terjadi, tapi melanggar ucapan Bu Sri pun bukan hal yang baik untuk dilalukan. Jadi, dia kembali lagi ke dalam tanpa mengetahui apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Tanpa Embun sadari, kalau tiga dari lima korban yang meninggal itu adalah orangtua dan kakaknya. •••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD