Cantik parasnya
Baik hatinya.
Jakarta, 1999
Embun 16 years old
Tungkai Embun bergerak lincah seiring dengan gelombang rambut yang menari ke sana dan kemari saat dara itu berjalan sambil bersenandung. Di tangannya ada radio mini yang lagi-lagi sedang memutar lagu-lagu Chrisye. Embun remaja baru saja pulang dari sekolah menengah atas kala dia menemukan sesosok laki-laki dengan baju seragam SMA yang berbeda sekali dengan miliknya. Remaja laki-laki itu menatapnya untuk sesaat, dan mereka terlihat salah tingkah satu sama lain sambil memutuskan pandangan.
Embun menarik sejumput rambutnya ke belakang telinga kemudian berdeham. "Kamu mau cari siapa?"
"Ah?" Remaja laki-laki itu terkesiap. Dia mengusap tengkuknya yang tidak gatal sembari menatap dara cantik di depannya. "Ini ...," remaja laki-laki itu menyodorkan sebuah kotak besar yang Embun tidak tahu apa isinya. "Ini buku-buku, kebetulan paman saya enggak bisa kasihin langsung ke sini."
Kuasa Embun menerima kotak itu dengan pikiran bercabang. Paman? Paman siapa, ya? Apakah paman remaja lelaki di hadapannya ini adalah salah satu dari dua donatur tetap Kasih Ibu?
"Paman saya salah satu donatur tetap di sini," ujar laki-laki itu menjelaskan. Dia bisa menangkap raut keterheranan dari perempuan di hadapannya. "Firman Almairi, kamu ingat?"
Pupil mata Embun membesar seiring ingatan tentang pria bernama Firman itu muncul di kepalanya. Embun tertawa kecil menatap daksa laki-laki itu. "Ah, iya aku ingat. Maaf banget ya, kukira tadi dari siapa. Soalnya ada dua donatur tetap di sini, dan keduanya sama-sama pria dewasa."
"Iya enggak apa-apa." Kata laki-laki itu sambil tertawa. Lesung pipi tercetak jelas di pipinya yang gembil. "Kamu ... anak SMA juga?"
Embun mengangguk. "Kamu juga kan?"
"Iya. Saya anak SMA juga."
Embun tertawa. Dia bahkan lupa menyuruh tamunya untuk masuk ke dalam dan memberinya jamuan.
"Sekolah di mana?" Laki-laki itu bertanya lagi. Sebelah tangannya ia masukkan ke dalam saku celana sambil terus menatapi perempuan cantik di depannya. "SMA Bina Bangsa?" Pupil mata laki-laki itu melirik badge sekolah di sisi kiri sambil tertawa. "Ini sekolahnya deket sama sekolah saya. Kok, saya enggak pernah lihat kamu, ya?"
Embun tergelak. "Walaupun deket, tapi kan sekolah kita beda. Wajar kalau enggak ketemu."
"Oh iya," laki-laki itu menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal hanya demi menghilangkan rasa malu akibat ucapannya. "Bener juga kamu."
Keduanya tertawa lepas.
"Mau masuk dulu?" Tawar Embun akhirnya.
Si remaja lelaki menggeleng. Dia melirik jam di pergelangan tangan kiri sambil menatap sebuah sedan hitam yang sebelumnya mengantar dirinya ke panti Kasih Ibu. "Kayaknya enggak, ya. Lain kali aja. Saya masih harus les dulu."
Embun mengangguk, mengerti. "Oke."
Sebelum dia benar-benar pergi dari hadapan Embun Namira, laki-laki itu ingat kalau dia belum sempat berkenalan dengan perempuan cantik berwajah manis yang dia temui di Kasih Ibu sore ini. "Namu kamu siapa?" Tanyanya sambil menyodorkan tangan.
"Embun. Embun Namira." Kata Embun sambil menerima uluran tangan remaja lelaki di depannya. "Kamu siapa?"
"Saya Jay. Jay Galuh Almairi. Salam kenal, ya, Embun Namira."
•
Waktu berlalu setelah pertemuan manis sore itu. Embun Namira jadi sering memikirkan senyum dan tatapan teduh yang remaja lelaki bernama Jay berikan padanya. Embun diam-diam jadi sering menunggu moment yang mungkin saja bisa mempertemukan mereka lagi, contohnya saja acara amal yang sering donatur tetap lakukan. Namun, ternyata takdir belum berpihak pada apa yang Embun harapkan. Sejak pertemuan sore itu, Embun belum bertemu lagi dengan Jay, bahkan uang donatur pun berhenti dialirkan pada Kasih Ibu.
Bertanya-tanya pada diri sendiri ternyata tak membuahkan jawaban. Baru pada awal tahun 2000, Embun tahu kalau perusahaan keluarga Almairi sedang failit dan saham mereka turun drastis. Itu adalah salah satu alasan kenapa mereka berhenti berdonatur di Kasih Ibu sejak akhir tahun lalu.
Setelah lulus dari sekolah menengah atas, Embun Namira sempat melamar pekerjaan di sebuah toko kelontong kecil milik salah satu tetangganya di dekat panti. Dia bekerja di sana dari pukul tujuh pagi hingga empat sore. Embun lumayan menikmati pekerjaannya walaupun dia sebenarnya ingin sekali berkuliah. Dia ingin seperti teman-temannya yang bisa melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi dengan nyaman dan juga aman. Namun, yah, mau bagaimana lagi. Embun tidak bisa melakukan apa pun selain menjalani apa yang sedang dia jalani. Toh, menurutnya, bekerja juga tidak terlalu buruk.
Embun bekerja atas dasar kesadaran diri agar adik-adiknya di panti masih bisa melanjutkan sekolah seperti dirinya. Bu Sri yang semakin renta pun tidak bisa berbuat apa pun selain mendukung setiap keputusan anak-anak asuhnya.
"Mau cari apa, Kak?" Tanya Embun pada sosok perempuan berpakaian trendi di hadapannya.
Perempuan berpakaian trendi itu menoleh, kemudian senyumnya terbit kala dia melihat penjaga toko di depannya. "Gue mau cari s**u kaleng siap minum. Ada di mana ya, Mbak?"
"Dingin atau enggak, Kak?"
"Dingin, ya."
Embun dengan cekatan pergi ke lemari pendingin untuk mengambil satu kaleng s**u siap minum dan memberikannya pada perempuan berpakaian trendi itu. "Ini, Kak."
"Oh, thanks banget." Ujarnya. Dia langsung membuka penutup s**u kaleng itu dan menegak isinya. "Gue haus banget. Seharian nyari s**u ini enggak ketemu-ketemu. Akhirnya gue nemu juga." Keluhnya tanpa sadar.
Embun tersenyum tipis. Ini bukan satu kali atau dua kali dia menjadi pendengar pelanggannya yang mempunyai keluhan, sama seperti mbak di hadapannya ini.
"Ini berapa, Mbak?" Tanyanya sambil merogoh tas untuk mengambil dompet.
"Dua ribu, Kak."
Setelah memberikan uang lembar pecahan dua ribuan ke hadapan Embun, perempuan berpakaian trendi yang belakangan namanya diketahui Embun sebagai Aisya itu meninggalkan toko dengan perasaan senang karena s**u yang dia cari sudah dia dapatkan!
•
Tak selang berapa lama dari pertemuan Embun dengan Aisya di toko kelontong yang ia jaga, Aisya menghampirinya sambil membawakan berita baik. Aisya menawarkan Embun pekerjaan berupa manager untuk seorang artis yang managernya baru saja resign dan pergi ke kampung halaman karena orangtuanya sakit keras.
"Lo mau enggak, Mbun?" Tanya Aisya. "Kalau lo mau, nanti gue bisa hubungin temen bos gue, biar dia bisa lihat kinerja lo juga."
Embun menatap Aisya dengan perasaan bimbang. Sejujurnya, dia tidak punya pengalaman apa pun terkait ini. Me-manageri seorang artis adalah satu hal yang tidak pernah dia pikirkan meski hanya sekali saja dalam hidupnya.
"Gue bingung sih, Sya." Katanya dengan jujur. "Gue enggak ada pengalaman apa pun di bidang itu. Takut banget enggak bisa kerjanya gue."
Aisya tergelak. Tangannya menepuk lengan atas Embun sambil menenangkan. "Enggak apa-apa, sumpah. Kerjanya enggak yang gimana-gimana gitu kok. Lo pasti bisa deh gue yakin."
"Eh setahu gue manager artis tuh berat banget deh kerjanya. Maksudnya tuh gue harus selalu siap sedia gitu enggak sih?"
Aisya mengangguk. "Iya, tapi itu bukan masalah, kan?"
"Ya bukan sih emang. Cuma gue takut aja malah enggak bisa survive, terus nyusahin orang."
Aisya berdecak. "Dicoba dulu deh, Mbun. Lumayan lagi kalau lo upgrade kerjaan."
Embun tidak menjawab, tetapi dari sorot matanya, Aisya tahu kalau Embun bersedia menerima tawaran kerja yang diberikan padanya.
•
Walaupun Embun Namira sempat melayangkan keengganannya untuk bekerja sebagai manager bagi salah satu artis kondang yang dibicarakan oleh Aisya waktu itu, tapi ternyata perempuan itu menerimanya juga. Terhitung sudah hampir tiga bulan ini dia bekerja dengan sang artis.
"Jadwal gue setelah ini apa, Mbun?"
Embun menoleh, menatap sosok artis bertubuh tinggi di depannya. Dia melihat kertas memo yang selalu dia bawa ke mana-mana agar tidak melupakan agendanya. "Enggak ada, Mas Jeremi. Kosong kok, lo bisa langsung pulang atau mau kencan sama pacar lo juga boleh."
Jeremi Yanuar, seorang aktor muda yang sedang naik daun di tahun 2001. Dia membintangi sejumlah film dan menjadi pembawa di acara sitkom. Jeremi Yanuar yang Embun kenal selama hampir tiga bulan ini adalah sosok laki-laki baik yang tidak pernah neko-neko terhadap apa pun yang dia kerjakan. Jeremi juga terlihat tidak malu mengakui pacarnya yang non-selebritas dan memperlihatkan kemesraan mereka secara terang-terangan.
"Oke," kata Jeremi. Dia menutup botol air mineral dan meletakkannya di atas meja rias di ruang ganti. "Lo juga bisa pulang, Mbun. Mau gue anterin atau sendiri aja?"
Embun buru-buru menggeleng. Perempuan itu tersenyum manis untuk menghormati ajakan Jeremi. "Eh, enggak usah, Jer. Gue mau pergi ke tukang sate dulu sama mbak Aisya."
"Oh, oke deh." Jeremi menganggukkan kepala dan setelah itu, dia melangkahkan tungkai menuju pintu keluar.
Embun menarik kursi dan duduk di sana. Seharian ini dia cukup lelah. Sejak bekerja menjadi manager-nya Jeremi, Embun suka sering kali telat makan. Padahal jika dia pikir-pikir, makanan selalu ada di setiap acara dan bahkan ada beberapa artis yang sengaja membawakan makanan atau kopi untuk dibagikan kepada staff, kru, bahkan manager dari pada rekan sesama artis. Namun, entahlah, Embun seperti tak bisa menikmatinya karena waktu perempuan itu sangatlah terbatas.
Menarik napas dan membuangnya, Embun menatap cermin sambil tersenyum. "Semangat, Embun!"
Lalu tak selang berapa lama, Aisya membuka pintu ruang ganti dan memanggil Embun agar segera keluar. Mereka berencana untuk membeli semangkuk bakso didekat lokasi syuting yang menurut staf-staf pembuat film rasanya enak. Maka, di sinilah Embun dan Aisya berada.
"Mas, pesen bakso dua, ya. Yang satu campur, yang satu mie putih aja, enggak usah pakai sayuran." Pesan Embun pada mas-mas penjual bakso. Setelah mengatakan apa yang ingin mereka pesan, Embun dan Aisya mencari tempat duduk lesehan di atas rumput persis di sebelah gerobak mamang bakso itu.
"Kerja sama Jeremi gimana?" Tanya Aisya.
Embun tertawa. "Seru kok. Mas Jeremi enggak banyak omong ternyata. Enggak ribet juga."
"Syukurlah. Gue kira tadinya lo bakalan resign karena enggak kuat kerja sama dia."
Embun tergelak. "Enggak lah, ngaco!"
Tak selang berapa lama, pesanan mereka pun sudah jadi. Embun dan Aisya menyantap bakso mereka dengan perasaan senang, terlebih Embun. Moodnya agak sedikit berantakan hari ini, karena dia sendiri sedang kedatangan tamu bulanan. Jadi, emosinya agak sulit terkontrol.
Setelah menghabiskan satu porsi bakso dan dua buah kerupuk udang, Embun dan Aisya kembali ke lokasi syuting. Namun, tungkai kaki Embun berhenti melangkah ketika pupil matanya bertatapan dengan pupil mata laki-laki yang hampir selalu dia pikirkan keadannya selama ini. Laki-laki yang pernah mengantarkan sekotak buku-buku ke Kasih Ibu, mengajaknya berkenalan, dan tersenyum salah tingkah di depannya.
Kamu di sini?
"Embun Namira?" Embun bahkan tak sadar jika laki-laki itu sudah ada di depannya, tersenyum manis dengan tangan melambai-lambai di depan wajah manisnya. "Embun Namira. Its been a long time. Akhirnya saya bisa lihat kamu lagi. Senang bertemu kamu lagi, Embun."
"Jay Galuh Almairi?"
Bisikan lirih Embun hanya dibalas senyum yang kian lebar terpatri di bibir laki-laki itu, di bibir Jay Galuh Almairi.
•••