Heirs

1030 Words
Sore itu, Ahmad sedang berada di ruang kerjanya, duduk di kursi roda sembari membaca sebuah buku tebal di pangkuan. Pintu terbuka, membuat Ahmad menoleh dan senyumannya langsung mengembang. “Nak, ap-” “To the point saja, aku tidak punya banyak waktu untuk berbasa-basi.” Senyum Ahmad langsung lenyap setelah mendengar ucapan putra sulungnya itu. Dia menganggukkan kepala, lalu bangkit dan menopang dirinya dengan tongkat, untuk kemudian kembali duduk di sofa panjang. Zayn duduk di hadapan Ahmad, lalu tidak lama setelah itu Rasyid datang dan duduk di samping Zayn. Mereka terdiam untuk beberapa saat. Ahmad berdehem. “Aku sudah tua,” katanya, menatap dua anaknya bergantian. “Umurku juga sudah tidak akan lama lagi. Sedangkan harta yang selama ini kumiliki tidak akan kubawa mati, maka dari itu… aku akan mewariskannya kepada salah satu dari kalian.” “Papa… kumohon jangan berkata seperti itu,” Rasyid membuka suara. Raut wajahnya sedih ketika ia bangkit dan duduk di samping Ahmad. Ahmad sama sekali tidak menampilkan ekspresi apapun. “Kau adalah putra sulungku, Zayn, kau tentu sudah tahu apa yang akan kau dapatkan. Namun karena keabsenanmu selama bertahun-tahun di dalam keluarga ini, aku berharap untuk tidak memberikannya dengan mudah. Bahkan… selain keluarga… kau meninggalkan istrimu sendiri. Kau-” “Aku tidak meninggalkan keluargaku, mereka yang mengusirku pergi.” Zayn langsung memotong, membuat Ahmad menunduk dalam dengan raut wajah bersalah yang dalam. Ahmad menghela napas. “Tidak masalah jika kau benci padaku karena hal itu. Aku hanya ingin satu hal darimu sebelum aku pergi nanti, Zayn, jagalah Zara baik-baik.” Zayn langsung mengangkat wajahnya yang tanpa ekspresi. “Aku tidak akan memberikanmu jabatanku sebagai Presdir di Altair Group kalau sampai Zara menceraikanmu.” Zayn terdiam lama. Lalu mendengus dengan punggung bersandar pada sofa. Ahmad tahu bahwa Zayn tengah meremehkan ucapannya. “Aku tidak pernah main-main dengan ucapanku, Zayn. Selama sepuluh tahun… banyak alasan yang bisa Zara gunakan untuk menggugatmu cerai. Agama memperbolehkannya, karena Zara memiliki alasan yang kuat di balik gugatannya. Namun jika sampai Zara melakukan itu, kau tidak akan mendapatkan jabatan apapun di perusahaan Altair Group. Bagianmu akan aku berikan setelah aku mati nanti, namun itu hanya berupa materi. Dan Rasyid akan mendapatkan bagian yang sama, namun juga jabatan sebagai presdir. Hal itu tidak akan terjadi jika kau dan Zara menjadi suami istri sebagaimana semestinya.” Zayn yang awalnya biasa saja kini tampak berpikir keras. Kerutan di dahinya jelas terlihat. Tawaran sang Papa begitu menggiurkan. Jika Ahmad memberikannya jabatan sebagai Presdir, maka besar kemungkinan keuntungan yang akan dia dapatkan lebih besar, belum lagi jika dua perusahaan digabungkan. Altair Group dan Z Ent.. Zayn berpikir lagi, mungkin tawaran Ahmad tidak begitu penting. Zayn tidak akan jatuh miskin hanya karena tidak mendapatkan jabatan tinggi di Altair Group. Z Ent., sudah menjadi bisnis yang dia bangun sejak awal tanpa bantuan sedikitpun dari Ahmad. Berkembang dengan pesat di samping kariernya menjadi seorang aktor. Aktor. Zayn sudah lama ingin berhenti dari karier itu. Sejak awal, yang menjadi prioritas utamanya adalah dunia bisnis. Namun Z Ent. tidak akan dapat berkembang tanpa popularitas Zayn sebagai seorang Actor. “Bagaimana,Nak?” Zayn mendongak, menatap Ahmad dalam diam, lalu beralih pada sosok Rasyid di sampingnya. Zayn sedikit bingung akan raut penuh amarah yang tercetak di sana. Lalu senyumannya perlahan muncul. Zayn tidak langsung menjawab dan Ahmad memberikannya waktu singkat untuk berpikir dan mengambil keputusan sampai besok. *** Masih memikirkan topik yang sama. Zayn duduk pada sofa di dalam kamarnya dengan tangan di sandaran yang menopang dagu, tatapannya tertuju pada langit malam dari kaca jendela. Suara deru mobil di luar membuat atensi Zayn teralihkan ke jam di dinding. Pukul sebelas malam. Dia lantas tersenyum pahit. Zayn bangkit dan berjalan menuju kusen jendela untuk melihat ke bawah. Ada mobil hitam familiar di sana dengan seorang perempuan berjilbab hitam yang baru saja keluar dari dalamnya, lalu disusul dengan lelaki setelahnya. Rasyid. Mereka tampak menukar beberapa kata, lalu setelah itu Zara masuk ke dalam rumah. Zayn keluar dari kamarnya langsung menuju tangga. Lampu di sana temaram dan Zayn menunduk untuk memperhatikan langkah kakinya. Ketika sampai di lantai dasar, dia mendengar suara ketukan langkah teratur yang semakin mendekat. “Zara.” Langkah kaki Zara langsung terhenti. Dia mendongak, menatap siluet seorang pria yang berjalan mendekat ke arahnya. Alih-alih mengucapkan salam atau apapun, Zara malah mematung di tempatnya ketika mata tajam milik pria itu menusuk kearahnya. “Kau pulang telat.” Zara menelan ludah. Oh, dia memang pulang telat. Rasyid memaksanya untuk ikut makan malam bersama dan segera… mereka terhanyut dalam obrolan panjang. Zara tidak berani membalas tatapan Zayn, entah kenapa dia menjadi takut. Mungkin karena Zara tahu bahwa dirinya salah. Bukankah dia seharusnya menjadi istri yang baik? Memasakkan makan malam untuk suaminya, lalu berdandan cantik dan menunggunya pulang? Tapi Zara sudah terlalu biasa hidup seorang diri tanpa suami. Dia hampir saja lupa bahwa Zayn ada di rumah ini. Lalu kekehan pria itu membuat Zara semakin dilanda rasa bersalah. “Aku tidak berpikir bahwa kau perempuan yang seperti itu, Zara.” Zayn berjalan mendekatinya. Zara mengernyit, perempuan seperti apa maksudnya? “Keluar malam dengan pria lain padahal suami sendiri sedang menunggu di rumah.” Perkataan Zayn itu tiba-tiba saja menyulut emosi Zara. Dengan tenang, dia membalas tatapan tajam suaminya, lalu tersenyum tanpa rasa bersalah sedikitpun yang tadi dirasakannya, perasaan itu hilang karena ucapan Zayn barusan. “Oh, maafkan aku. Sulit memang menjadi istri yang baik untuk seorang suami sepertimu, yang selama bertahun-tahun hilang dan berkeliaran bebas dengan perempuan sampai pagi. Maafkan aku.” Kalimat itu benar-benar menohok Zayn. Dia benci pada nada suara dan raut di wajah Zara ketika perempuan itu berucap. Lalu Zayn, menepis jarak di antara mereka. Dia menunduk, menatap tajam sepasang mata yang juga balas menatapnya nyalang. Jarak di antara mereka memang benar-benar tipis. Zara bahkan harus mendongakkan kepala. Dia tidak akan gencar di bawah intimidasi pria itu. Zara akan tunjukkan bahwa dirinya bukanlah perempuan yang lemah. Perempuan yang dulu selalu meminta perlindungannya. Sekarang tidak, Zara adalah seseorang yang berbeda. Dan Zayn jelas menyadari hal itu. “I need to talk to you,” bisiknya penuh penekanan, sebelum kemudian berbalik dan kembali naik ke atas tangga, meninggalkan Zara yang tampak menarik napas dalam-dalam seolah dia baru saja menahannya lama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD