“Bagaimana? Apa kau sudah bertemu dengannya?” Logan menyesap kopinya pagi itu, menatap sekilas ke arah Zayn yang juga tengah melakukan hal yang sama.
Zayn meluruskan pandang, menatap tanpa minat pada orang-orang yang berlalu lalang di jalan dari balik kaca jendela café.
“Ya.” Dia menjawab singkat, kembali menyesap kopinya.
Logan menukik sebelah alis bingung. “Lalu?”
“Lalu apa?”
“…”
Zayn menghela napas. “Dia marah.”
“Aku tahu. Lalu?”
Zayn menatap Logan tajam. “Habiskan kopimu, kita akan segera pergi.”
Logan terkekeh pelan. “Kau sudah berhasil menyakitinya?”
“Hm.”
“Dengan kata-kata?”
“Ya.”
“Lidah memang terkadang lebih tajam dari pedang.”
“Hm.”
Lalu hening. Zayn memeriksa ponselnya tanpa minat, sedangkan Logan terus saja menatapnya penuh penasaran. Pria yang hampir tidak memiliki ekspresi itu bersandar pada sandaran kursi, lalu bertanya lagi, “Bagaimana keadaanmu?”
Zayn mendongak, menatapnya tidak mengerti. “Apa maksudmu?”
“You okay with that? She’s your wife, man!”
Zayn kembali memberikan Logan delikan tajam dan tidak menjawab pertanyaan pria itu. Di dalam hatinya sudah ada sosok Tiana. Dia tidak mungkin mencintai dua wanita sekaligus, kan?
Zara tetaplah Zara. Perempuan yang orangtuanya jodohkan padanya. Perempuan yang dulu pernah menjadi sahabatnya, adiknya, dan seseorang yang begitu berarti untuknya.
Sekarang, Zayn Altair telah berubah. Selain istri, Zara bukanlah siapa-siapa baginya.
Dan baginya juga, status istri yang disandang Zara bukanlah apa-apa.
Tiana jauh lebih berarti.
*
Kring!
Suara lonceng di atas pintu café berdenting, bersamaan dengan suara pekikan seorang perempuan yang membuat seluruh pengunjung café pagi itu menatap ke arahnya. Termasuk dua pria dewasa di pojok café.
Mereka pikir ada bahaya atau sesuatu, ternyata hanya seorang perempuan dengan rambut diombre hijau terang yang melangkah masuk ke dalam café dengan wajah sumringah.
Seluruh pengunjung café yang terkejut karena suaranya tadi, tanpa sadar mengikuti arah perginya perempuan itu, yaitu ke arah barista tampan yang tengah membuat latte art di meja bar dengan serius.
“Ya Tuhan, Erick! Boy, I miss you so much!!! Mmuaaach… mmuaacch…!”
Lelaki bernama Erick itu segera menjauhkan tubuhnya dengan ekspresi jijik setelah menerima kecupan basah lipstik merah dari si perempuan berambut hijau itu.
“Xiena!” serunya kesal. Beberapa pengunjung café yang masih menatap mereka terlihat terkekeh, atau justru merasa terganggu akan keributan yang dibuat oleh perempuan bernama Xiena itu.
Tidak lama setelahnya, lonceng di atas pintu kembali berdenting, kali ini berkantung-kantung belanjaan yang pertama kali masuk, diikuti oleh perempuan berjilbab hitam yang tampak kesusahan membawa semua kantung belanjaan itu.
Erick yang masih direcoki oleh Xiena menyadarinya dan langsung keluar dari balik meja dan berjalan menghampiri sang bos.
“Biar aku bantu,” katanya, lalu mengambil alih semua kantung berisi bermacam-macam bahan makanan itu.
“Thank you, Erick.”
“No problem, boss!”
“Zara, kau lama sekali.” Xiena mengomel setelah melihat Zara sampai ke arahnya. Perempuan berjilbab hitam itu cemberut, lalu mendongak menatap deretan tulisan di dalam menu.
“Aku berencana untuk membuat menu baru,” katanya.
Xiena memutar bola matanya jengah. “Kenapa? Ada yang mengganggu pikiranmu?”
Awalnya Zara bingung. Memang apa hubungannya menu dengan gangguan di pikiran? Lalu dia pun mengerti. Begitulah Xiena, dia tampak seperti orang yang masa bodoh dengan apapun di dunia ini selain dirinya sendiri, namun di dalam, dia adalah orang yang sangat perhatian.
Xiena menyadari bahwa setiap kali Zara sedang ada masalah, maka perempuan itu akan menghabiskan waktunya dengan memasak lalu menciptakan menu-menu baru di café.
“Aku baik-baik saja. Semalam aku memasak banyak makanan untuk anak-anak di panti asuhan, jadi ya… sekalian saja sedikit bereksperimen.”
Xiena mengangguka-anggukkan kepala mengerti.
Tepat setelah itu, seorang pelanggan datang memesan segelas kopi espresso dan meminta untuk diantar ke meja lima. Karena Erick sepertinya sedang sibuk di dapur entah melakukan apa, maka Zara sendiri yang turun tangan. Dia mulai membuat kopi pesanan itu, sedangkan Xiena sibuk dengan ponselnya.
“Ada kabar terbaru dari kekasih gaibmu?” Zara bertanya dengan nada candaan.
“Hng… tidak ada. Terakhir kali dia mengepost foto di i********: adalah lima hari yang lalu.”
Zara tersenyum kecut. “Oh ya? Foto apa yang dia post?” dan bertanya seolah-olah dia tidak tahu.
“Istri keduanya.”
Zara hampir saja menjatuhkan cangkir di tangannya ketika mendengar perkataan Xiena. “Si-siapa… siapa istri pertamanya?” tanya Zara dengan sedikit nada gugup yang untung saja tidak dipedulikan Xiena.
Perempuan berambut hijau itu terdiam, lalu tersenyum aneh. “Tentu saja aku!” serunya penuh percaya diri.
Zara menghembuskan napas lega.
Xiena masih tidak tahu menahu mengenai masalah yang tengah Zara hadapi. Zara tidak pernah memberitahunya, dan dia pun tidak ingin memberitahu Xiena. Mungkin nanti setelah semuanya baik-baik saja.
Kopi yang Zara buat telah selesai. Dia lalu berjalan menghampiri meja pelanggan yang memesan, terletak di ujung dekat dengan meja 7.
Zara melihat seorang perempuan duduk di sana. Lalu dua pria yang duduk di meja 7.
Ketika Zara sampai, dia hendak mengangkat secangkir kopi itu dari nampan, namun tiba-tiba saja, kursi di dekatnya terdorong mundur dengan kuat sehingga menyenggol Zara dan membuat kopi di cangkir itu tumpah.
Zara memekik kaget, merasakan panas yang menjalar di punggung tangannya.
“Hey!” seru si perempuan yang tadi memesan kopi karena dia juga terkena cipratannya.
Zara segera meminta maaf. “Maaf! Maaf aku tidak sengaja. Apa kau tidak apa-apa?” tanyanya penuh dengan nada khawatir. Perempuan itu mendengus, tidak mengatakan apa-apa, lalu berjalan keluar dari café dengan wajah kesal.
Zara hendak mengejarnya, namun sebuah tarikan di pergelangan tangannya membuat Zara berhenti. Dia sontak berbalik, lalu terdiam di tempat seperti seseorang yang tersiram air es.
Yang berdiri di hadapannya, adalah pria yang tadi dia bahas dengan Xiena. Pria yang bertanggung jawab membuatnya tidak bisa tidur semalaman.
Jantung Zara masih berdetak cepat. “Z-zayn…” Zara benci pada dirinya sendiri. Karena terlepas dari perlakuan Zayn padanya, kesalahan-kesalahan yang dibuat pria itu, dan rasa sakit mendalam yang ditimbulkannya, Zara masih seperti ini. Jantungnya masih berdetak tidak karuan setiap kali Zayn menatapnya, atau hanya sekedar berada di dekatnya. Dan kepedulian Zara padanya masih begitu besar. Bagaimana tidak? Selama bertahun-tahun dia belajar untuk mencintai suaminya dan menunggunya dengan penuh kesabaran. Bahkan ketika Zara tahu kebenarannya, dia tetap tidak bisa menghilangkan perasaannya begitu saja.
“Ya Tuhan, Zara, kau tidak apa-apa?!” pekikan Xiena itu membuat Zara tersadar dan langsung melepas tangannya dari genggaman Zayn. Ketika Xiena mendekat, pria itu langsung berbalik dan menghadap kembali tempat duduknya.
“Aku tidak apa-apa, tenang saja.” Zara menjawab Xiena dengan nada tenang, lalu mengambil nampan dan cangkir yang tadi dia letakkan di meja.
“Tidak apa bagaimana? Tanganmu baru saja tersiram air panas, bodoh! Lihat, sampai memerah begini.”
Zara tidak menghiraukan ucapan Xiena itu. Dia sibuk memperhatikan dua pria yang baru saja melewatinya dengan kaca mata hitam yang bertengger di hidung mereka.
Logan, pikir Zara. Bodyguard khusus yang selalu menemani Zayn kemanapun pria itu pergi.
“Aku seperti mengenal pria tadi,” kata Xiena dengan dua alis yang hampir menyatu.
Menyadari hal itu, Zara buru-buru berkata. “Aw! Tanganku sakit!”
Xiena mengalihkan atensinya dengan cepat. “Sudah kubilang, kau terluka dan tidak baik-baik saja. Ayo ikut aku! Si manis Erick harus membayar ini karena telah meninggalkan pekerjaannya dan membiarkan bosnya melakukan sesuatu yang seharusnya dia lakukan.”
Zara menghembuskan napas lega. Semoga Xiena akan melupakan kejadian ini dengan cepat. Dia tidak mau Xiena sampai tahu bahwa sang idola ada di sini. Dan dia juga tidak ingin Xiena curiga pada hubungannya dengan pria itu.