Mana kira-kira yang lebih menguntungkan? Menunggu dipecat atau inisiatif mengundurkan diri?
Mil masih terdiam di atas bangku sembari sesekali menarik kesal rambutnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 3 pagi dan dia masih belum bisa memejamkan mata. Pikirannya masih dipenuhi oleh apa yang akan ia lanjutkan besok. Kejadian hari ini benar-benar membuatnya stres luar biasa.
Bagaimana ia bisa melupakan wajah bosnya sendiri?
Mil tahu, dia memang susah mengingat wajah seseorang yang tidak terlalu diperhatikannya. Tapi kali ini kebodohannya berakibat buruk untuk kemaslahatan perutnya mendatang. Mil baru kerja sebulan dan baru satu kali mendapatkan gaji. Bahkan gaji itu belum ada apa-apa baginya. Gaji pertamanya langsung ia kirim kepada orang tuanya sebagian. Sebagian lagi membayar tunggakan sewa kos dan sisanya yang tidak seberapa dipakai untuk makan sehari-hari. Oh, jangan lupakan rutinitas menontonnya di hari minggu.
"Ya ampun, Mil! Gue gak nyangka lo sebodoh itu!" sekali lagi Mil menggeram kepada dirinya sembari menarik rambutnya. Sekarang ia sudah persis pasien rumah sakit jiwa yang melarikan diri.
Kondisi kamar kosannya pun tak bisa dikatakan baik. Setelah pulang dari rumah Tante Sarah, yang ia lakukan adalah merenung dan memikirkan apa yang akan ia lakukan untuk besok.
Menunggu dipecat, atau sadar diri mengundurkan diri.
"Bodo amat! Gue capek!"
Mil menyerah. Dia memilih untuk berpikir esok hari saja dan menjatuhkan dirinya di atas ranjang kemudian membawa kebodohannya ke alam mimpi. Semoga saja, Mil menadapatkan wangsit di mimpinya hingga menemukan jalan keluar untuk masalahnya. Atau semoga saja, kejadian yang terjadi hari ini adalah omong kosong. Kemudian saat Mil terbangun, Mil masih berada di hari dimana dia akan berangkat ke rumah tante Sarah. Tepatnya, sebelum Leon datang dan Mil melakukan kebodohannya.
*__*
"Miss Emil, lesu amat pagi-pagi. Itu mata udah kayak panda aja. Pasti begadang semalem ya," sapa Jessy saat melihat Mil berajalan ke mejanya kemudian gadis itu hanya membalas dengan senyum simpulnya.
"Lagi mumet, Miss. Miss Jessy, saya mau tanya. Menurut Miss Jessy lebih baik mengundurkan diri atau menunggu dipecat?" Tanya Mil kemudian setelah menaruh tas di atas Meja.
"Menurut saya sih, lebih baik mengundurkan diri. Karena kalau dipecat bisa merusak kredebilitas kita. Nanti kalau mau cari kerja ditempat lain juga jadi susah. Tapi, tumben nanya gitu? Lagi ada masalah?" Mil hanya dapat tersenyum masam dan kini sepertinya surat pengunduran diri yang ia buat semalam tidak sia-sia.
*__*
"Mil, Pak Leon bilang kalau kamu mau ngundurin diri, langsung sama dia." Mil tergagu ditempatnya, saat Erma bagian Tata Usaha sekolahnya menghentikan langkahnya yang akan menuju kamar mandi.
"Kok gitu, mba? Bukannya urusan kayak gini sama mba Erma ya?" tanya Mil bingung.
"Sebenarnya sih, iya. Tapi Pak Leon tadi minta supaya kamu datang sendiri ke ruangannya. Lagian kontrak kamu kan belum habis." Bahu Mil semakin merosot. Sepertinya Leon takkan membiarkannya mudah setelah ini. Buktinya saja, bos besar seperti Leon langsung turun tangan ke hal remeh seperti ini.
Wajah Mil semakin kusut. Kontraknya masih berjalan 11 bulan lagi. Mil tahu bahwa dia memang pasti akan dikenakan pinalti karena melanggar kontrak. Mil bahkan sudah memikirkan untuk menjual salah satu asetnya yang ada di medan agar dia bisa membayar pinalti dan masih bisa melanjutkan hidup di ibu kota.
Seharusnya Mil tidak usah terburu-buru dengan menandatangai kontrak itu dan menjadi pengajar tetap jika tahu akhirnya akan seperti ini. Sebenarnya bisa saja Mil menebalkan muka dengan menunggu surat pemecatannnya dan mendapatkan pesangon dari Yayasan karena pemecatannya yang tidak sesuai kontrak. Namun disini harga dirinya dipertaruhkan. Kebodohan Mil tidak bisa dimaafkan.
*__*
Mil masih terdiam kaku di kursi yang ia duduki dengan Leon yang sedang menatapnya. Mil tahu itu walaupun matanya tak berani diangkat sedikit pun. Leon benar-benar membuatnya Gugup. Aura intimidasinya semakin membuat Mil menciut seketika.
"Ada yang mau kamu sampaikan?" tanya Leon tegas yang membuat Mil semakin mengkerut.
"Em, itu, Pak.. Sa.. Ya,"
"Bicara yang jelas!" Mil terlonjak. Ia sampai mundur sedikit dengan bangkunya begitu Leon sedikit meninggikan suaranya.
"Saya mau kasih surat ini, Pak." Perlahan tangannya yang tadi di bawah meja terangkat dan meletakkan surat di atas meja dengan gemetar.
"Ini apa?" tanya Leon tanpa menyentuh surat itu.
"Surat pengunduran diri, Pak."
"Atas dasar apa kamu mengundurkan diri? " tanya Leon. Mil terdiam. Ia bingung harus menjawab apa. Tidak mungkin ia menjawab karena tingkah laku kurang ajarnya melupakan bosnya sendiri.
" Kamu tahu kan kamu sudah kontrak dan akan ada pinalti kalau mau mengundurkan diri begitu saja. Tarik lagi surat kamu. Kalau sudah ketemu jawabannya dan mendapatkan biaya pinaltinya silahkan datang kesini lagi. Sekarang kamu boleh keluar," kata Leon yang langsung sibuk dengan berkas di depannya.
Mil masih terdiam. Bingung hendak apa. Leon sudah menyuruhnya keluar tapi kakinya masih terbujur kaku di tempat. Sebenarnya Mil ingin keluar dari ruangan ini dengan segera. Hanya saja, tiba-tiba kakinya mengkaku seperti kayu. Mil seakan sudah mematung di kursi panas itu dan tidak bisa bergerak.
"Mau liat saya bekerja?" Leon berbicara dengan ketus. Saat itu juga kepala Mil terangkat kemudian menggeleng tegas. Dikumpulkannya semua kekuatan yang ia miliki.
"Tidak, Pak. Kalau begitu saya permisi." Mil bangkit dari duduknya kemudian beranjak meninggalkan ruangan Leon yang perlahan menarik kedua sudut bibirnya.
Setelah Mil hilang sempurna dari pandangannya, Leon tak kuasa menahan tawanya. Wajah panik gadis itu benar-benar membuatnya ingin meledakan tawanya saat itu juga. Syukur saja dia masih menjaga wibawanya di depan gadis itu. Leon tidak tahu bahwa wajahnya memang benar-benar seram seperti yang bundanya bilang. Buktinya saja, Mil bisa ketakutan seperti itu.
*__*
"Beneran gak apa-apa, Nai?" Mil kembali bertanya pada Naila yang kini jengah.
"Masih kaku aja, sih, Mil. Kayak ke siapa aja. Lagian gue juga udah kenal lo lama. Lo juga sering bantu gue waktu kita kuliah." Naila menjawab dengan santai. Mil masih memandang tidak enak wajah Naila di depannya.
"Tapi kalau apartemen lo nanti Kenapa-kenapa gimana?" Pertanyaan Mil selanjtnya membuat Naila terkekeh.
"Emang lo mau apain apartemen gue, sih, Mil?"
"Ya engga, sih. Tapi kan Barang-barang lo kayaknya mahal. Gue takut rusak."
"Yaelah. Gausah berlebihan. Udah buat santai aja. Gue percaya kok sama lo."
Mil mengangguk sekilas. Ia sebenarnya Masih tak enak hati menerima tawaran Naila untuk menyewa apartemennya. Masalahnya harga sewanya sama dengan harga sewa kosannya. Sangat kebanting. Apartemen Naila merupakan apartemen elit di tengah kota sedangkan kostannya hanyalah kamar sepetak yang terletak di pinggir kota. Bisa dibilang juga kawasan kumuh. Apalagi Naila juga mempercayai perabotannya pada Mil. Walau hanya perabotan umum sih. Tapi tetap saja, Mil takut kalau dia tidak bisa merawat perabotan mahal milik Naila.
Ini semua bermula ketika Mil yang nekat bertamu ke apartemen Naila untuk menghindari Tante Sarah yang terus menghubunginya selama seminggu ini dan nekat ingin main ke kostannya. Langsung saja Mil beralasan ingin kerumah temannya. Sebenarnya bisa saja ia hanya terdiam di kostannya. Tapi jika Tante Sarah nekat kesana ketahuan sekali bahwa gadis itu berbohong.
"Lo di Jepang berapa lama, Nai?" tanya Mil.
"Belum tahu sih. Tapi paling cepat dua tahun. Kan sayang kalau gue tinggalin apartemen kosong. Mendingan sama lo, kan." Naila menjawab tanpa mengalihkan ponsel dari pandangannya. Mil hanya menganggukkan kepalanya.
Naila memang terpaksa harus meninggalkan Jakarta dan ikut bersama suaminya yang kebetulan harus tugas di Jepang. Maka dari itu Naila meminta Mil untuk tinggal di apartemennya sekaligus merawatnya. Sebenarnya tadi bahkan Naila menyuruh Mil untuk tinggal di apartemennya tanpa membayar sewa. Tapi gadis itu mana mau. Mil merasa seperti menumpang pada Naila kalau begitu.
Naila dan Mil teman kuliah ketika di Malang. Dulu, mereka sangat dekat dan sering main bersama. Namun setelah lulus dan Naila menikah, hubungan mereka sudah tidak sedekat dulu. Mil merasa canggung jika sering-sering main dengan gadis itu. Apalagi setelah lulus kuliah Mil langsung mengajar di desa-desa dan jarak mereka cukup jauh. Hanya sesekali saja bertukar kabar lewat sosial media.
Begitu Mil memutuskan berhenti kerja dan tinggal di Jakarta, Mil memang langsung menghubungi Naila dan wanita itu malah menawari Mil untuk tinggal di salah satu kostan yang lumayan mewah miliknya tanpa membayar sewa. Naila memang begitu baik. Mil sedang dalam ekonomi yang sulit dan dia terlalu malu untuk terus meminjam dan meminta pada Naila. Jadi ia memutuskan untuk tidak begitu dekat dengan perempuan itu.
*__*
"Ya ampun, Mil! Menghubungi kamu kok susah banget sih. Kayak mau menghubungi Pak Jokowi." Mil terkekeh mendengar suara Sarah dari seberang telepon.
"Mil lagi lumayan sibuk, Tante. Lagi beres-beres barang. Besok kan, Mil mau pindah,"
"Kamu serius pindah? Yaudah besok tante ke sana bantu kamu."
"Gausah Tante. Mil udah ada yang bantu," tolak Mil halus. Bahkan sepertinya Sarah masih belum mengerti kalau Mil memang menghindarinya.
"Aduh tante ngantuk mau tidur. Selamat malam, Mil." kemudian panggilan terputus begitu saja. Mil menatap ponselnya dengan putus asa.
Jujur saja, Mil masih tidak nyaman dengan kedekatannya dengan Sarah. Hal itu berlandaskan karena dia yang mengajar di sekolah milik anak tante Sarah. Yang lebih memalukan, Mil bahkan melupakan atasannya itu yang sudah dua kali ditemuinya. Sampai sekarang pun Mil masih sering merutuki kebodohannya yang satu itu.