-----------------------------------
DIMAS AIRLANGGA (POV):
-----------------------------------
"Dokter, gimana keadaan Dimas. Dok? Kapan dia bisa pulang dan terapi jalan?"
"Keadaan Dimas sudah sangat jauh lebih baik. Hari ini juga saya mulai konsultasikan ke Rehab Medik dan nanti sore sudah bisa pulang.” Om Ardi menepuk bahuku. “Kamu harus rajin terapi ya, Dim! Setelah itu, bantuin Papa kamu ngurus rumah sakit ini. Anka Medika butuh sentuhan inovasi baru anak muda sehebat kamu!"
Om Ardi ini adalah salah satu dokter senior di sini, sudah bekerja sejak rumah sakit ini dirintis. Hampir dua puluh. Sahabat Papa. Beliau sangat mengenal baik keluarga kami. Masih setia sejak awal hingga Papa pensiun.
Dengan baju putih snelli-nya, beliau masih terlihat gagah sama seperti dulu. Sejurus dengan Papa yang juga dokter spesialis Orthopedi, meskipun sudah digerus usia, pengetahuan dan wibawanya gak pernah berkurang.
Berbeda dengan Mama yang lulusan public relation, Mama terlalu easy going terhadap siapa saja yang ditemuinya. Bahkan yang aku sangat gak suka, mama terlewat ceplas-ceplos dengan orang baru, apalagi lama.
Seperti sekarang ini. Berkali-kali aku mengecewakannya, tapi beliau selalu menunjukkan kasih sayang. Seperti mencarikanku jodoh.
‘Damn! Gue bener-bener anak durhaka!’
"Dok, kalau Dokter Kirana itu anaknya baik ya? Belum punya suami 'kan? Gimana menurut Dokter, kalau dia jadi mantu saya? Masih available kan ya?"
"Mama! Gak usah ngomongin perempuan mata duitan kayak dia deh, Ma! Mama gak tahu apa-apa."
Om Ardi menoleh, dengan pembawaan tenang beliau menggeleng dan tersenyum.
"Om rasa kamu salah menilainya, Dim. Dia bukan seperti yang kamu kira. Bahkan menurut Om, she's the most loyal doctor in this hospital. She has great passion in helping people, learning and solving problems, maybe? Menyelesaikan kasus-kasus medisnya. Dia lagi bantuin penelitian Om untuk mengejar title Professor, Dim.”
Aku masih tidak menanggapi.
“Ah, dan Om juga dengar-dengar dari staf lain, kalo gajinya tiap bulan hampir selalu habis buat nalangin pasien yang kurang mampu. Bahkan pernah defisit karena harus nanggung dulu biaya operasi seorang anak jalanan. Ya ... walaupun akhirnya Dinsos ikut turun tangan. Om gak tahu masalah kalian apa. Tapi sebaiknya, kamu luruskan berdua."
“Ya Om.”
Badanku hampir luruh dari kepala ranjang tempat aku bersandar. Aku terdiam menelaah informasi yang beliau sampaikan.
Hatiku? jangan kalian tanyakan lagi. 'Ok, fine! I admitted I was wrong.'
Mata Mama ikut menelisik ekspresi wajahku, bertanya apa yang sudah aku lakukan pada Kirana.
Tapi kalau benar memang gajinya selalu habis, darimana dia bisa membeli barang-barang mewah? Aku memang gak terlalu hafal merk-merk branded perempuan. Tapi aku tahu bahwa sepatu kulit yang dia pakai atau aroma parfum yang familiar saat Kirana memeriksa, aku yakin harganya gaklah murah. Apa dia punya sumber pendapatan yang lain? Atau memang kaya dari lahir?
Terlepas dari itu, sekarang pikiranku sedikit kacau.
Sepeninggalan Om Ardi, Mama menginterogasiku.
Mama mengatakan sikapku memang sudah sangat keterlaluan. Pukulan demi pukulan aku terima dari Mama, walaupun rasanya pukulan beliau gak ada apa-apanya.
Gak mau mendengar Mama yang terus mendesakku untuk meminta maaf, aku berjalan keluar dengan tongkat kruk di tangan kanan dan kiri.
Keluar dari lift di lantai satu, aku menuju taman yang sangat asri di tengah-tengah gedung ini. Di sini ada bangku kosong dari besi yang di cat coklat sepanjang dua meter. Aku duduk mengamati ibu-ibu di seberang sana yang sedang menggendong anaknya, yang masih terpasang infus di tangan, sambil mengobrol.
Taman ini lebih didominasi rumput hijau dengan sekelompok tanaman hias warna-warni ditata ujung-ujung taman. Ada beberapa pohon yang cukup besar yang mampu menambah nuansa teduh di taman ini.
Dokter dan perawat lalu lalang di jalan setapak yang membelah taman. Beberapa menoleh ke arahku sambil tersenyum dan berbisik.
Ada juga yang sudah mengenal dan memilih untuk menunduk hormat saat melewatiku. Aku gak begitu kaget. Mungkin kabarku dirawat di sini sudah menyebar ke penjuru rumah sakit.
Aku menghirup angin segar pagi ini sampai tiba-tiba seseorang berjas dokter putih menyapa.
"Maaf ini dengan Pak Dimas Airlangga, bukan?” Aku mengangguk. “Maaf, boleh saya mengganggu sebentar, Pak? Kenalkan saya Dokter Kemala, Sp.A, dan ini Dokter Ramadi, Sp.A. Kami dari Departemen Anak."
Aku menerima uluran tangannya. Mereka berdua menanggapiku dengan ramah.
"Saya cuma mau mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya atas sumbangan Bapak ke proyek pembangunan panti kami. Sejauh ini Bapak penyumbang dana terbesar kami. Kami akan terus meng-update perkembangan pembangunannya kepada Bapak sampai pantinya jadi.”
Aku hanya tersenyum palsu, tidak paham dengan maksudnya.
“Ini proposal kami, Pak. Maaf karena Bapak sakit, jadi kami belum sempat kontak Bapak. Tapi kami sudah mengirimkan ini ke semua direksi dan sudah mendapatkan ijin serta dana juga sudah turun. Kontak saya ada disini, bila ada yang ingin Bapak tanyakan ke depannya."
Lembar demi lembar proposal aku buka. Dokter Mala menunjukkan nomor kontaknya di lembar paling bawah.
Aku sedikit kaget karena seingatku, aku belum memberikan perintah apa-apa kepada Ibun untuk transfer dana kemanapun sejak sakit. Atau ini ...
"Saya nyumbang berapa, Dok? Karena sakit kemarin, saya menyerahkan semua ke Mama dan sekretaris saya."
Aku berkilah demi mengorek informasi.
"Dua ratus juta, Pak. Kemarin perawat VVIP yang langsung memberikan ceknya ke saya. Katanya dari Bapak."
Dannggg!! Aku seperti dihantam batu besar untuk kedua kalinya. Nilai itu seperti yang aku berikan kepadanya. Apa ini dia? Bahkan dia menyumbangkannya atas namaku.
Aku salah. Salah besar. Aku seharusnya meminta maaf. Memperbaiki semuanya. Tapi mulai darimana? Sedangkan sekarang bahkan dia mungkin sudah muak bertemu denganku.
Setelah mendengar penjelasan gamblang tentang proyek tersebut—walaupun pikiranku sebenarnya sudah bercabang—aku melangkah menuju lift yang akan membawaku ke lantai tiga.
Melewati koridor lantai satu. Dari dinding berlapis kaca bening ini, aku bisa melihat seseorang yang hari ini berhasil membolak-balikkan hatiku, sedang bercengkerama dengan beberapa pasien ibu-ibu. Ia tertawa lepas karena candaan di antara mereka, yang aku gak tahu apa itu.
Ia terlihat tulus.Tanpa aku sadari, sudut bibirku terangkat. Aku ikut tertawa sendirian. Seperti orang gila. Ya, hari ini fakta tentangnya telah membuatku gila.
'Dia orang baik.'
-----------------------------------
"Dim, Mama gak mau tahu! Gimanapun kamu harus minta maaf sama Dokter Kirana.”
“Iya iya. Ini lagi mikir caranya.”
“Syukur-syukur bisa deketin dia, pacarin dia kek atau jadiin dia mantu Mama sekalian. Mama akan dengan senang hati menerima.”
“Mama ... udah Dimas bilang. Jangan berharap banyak!”
“Kenapa? Kamu suka 'kan? Balik dari bawah kamu jadi sumringah. Kamu ketemu dia?” Aku menggeleng. Aku berbohong. “Anaknya cantik, manis, baik, kalem dan sopannya itu lho, Dim. Kamu bakal susah nyari perempuan seperti itu yang masih belum nikah. Kayaknya orang Jawa juga. Mama gak mau punya mantu yang gayanya kebarat-baratan kayak Dewanti itu!"
"Duh Mam, iya-iyaaa. Gak usah bawa-bawa nama Dewanti. Gak Mama suruh pun Dimas juga bakal minta maaf karena Dimas memang udah salah. Mama tenang aja dan sabar. Oke ...?”
Mama menghela nafas dan menghentikan kegiatan mengupas apelnya.
“Kenapa sih, Ma? Gak sabaran Dimas ambil alih managemen RS lah, jodohin ke sana-sini lah. Hidup itu harus penuh pertimbangan, Ma. Gak bisa grusah-grusuh. Dimas juga punya Caterpillar yang udah Dimas rintis. Perusahaan ini lagi krisis-krisisnya sekarang. Gak mungkin langsung Dimas tinggalin. Nanti kalau sudah stabil bisa Dimas delegasikan ke orang, pelan-pelan. Dan soal jodoh, Dimas mau cari sendiri siapapun itu. Mama gak perlu ikut campur."
"Oke oke, Mama akan sabar. Mama udah gak akan maksa lagi kamu, Dim. Mama udah kapok daripada kamu stress dan melampiaskan diri ke naik motor yang gila-gilaan kayak kemarin.”
Aku terus mengangguk, menjawab iya dan iya.
“Kamu anak Mama satu-satunya. Kamu harus bertahan! Baik buat diri kamu sendiri, buat perusahaan, buat karyawan kamu juga dan buat Mama Papa. Kamu juga harus sehat! Maafin Papa juga ya?”
Mama memelukku setelah menyingkirkan piring dan pisaunya dari pangkuannya.
“Papa mau yang terbaik buat masa depan kamu, tapi mungkin gak tahu cara menyampaikannya. Kamu harus pahami itu karena kami sudah tidak muda lagi, Dim. Papa butuh penerus, Mama butuh menantu dan cucu biar kami gak kesepian. Kamu jangan keras-keras lagi ya Dim, kalau debat sama Papa? Cukup dengerin aja! Walaupun hatimu nolak. Mama khawatir sama penyakit jantungnya."
Mama menangis. Badannya bergetar. Suaranya sesengukan. Tanganku yang sudah dilepas infusnya, mengusap punggung Mama. Beliau menyandarkan dagunya di bahuku.
Memang benar kecelakaan kemarin dipicu karena emosiku, setelah berdebat dengan Mama dan Papa. Aku marah karena terus didesak. Sedangkan pikiranku penuh dengan masalah perusahaan yang tak kunjung selesai. Daripada semakin membentak beliau, aku keluar rumah dan melampiaskan adrenalin-ku.
Setelah diselidiki, kecelakaan kemarin memang tidak seratus persen kesalahanku. Rem mobil yang menabrakku ternyata blong sehingga kecelakaan tak bisa terelakkan.
Aku berkata pelan pada Mama.
"Mama jangan sedih. Dimas juga minta maaf, Ma. Minta maaf sama Mama Papa. Dimas akan usahakan turutin semua permintaan Mama dan Papa. Tapi pelan-pelan. Dimas sekarang belum bisa ninggalin Caterpillar, Ma. Dimas juga akan usaha segera cariin menantu buat Mama, tapi Dimas minta Mama harus sabar."
Mama mengangkat wajahnya dan menatapku. Lalu senyum tulus dan leganya terbit dari wajah keriput namun tetap selalu cantik bagiku.
-----------------------------------
***