Chapter 1
Bian (Failed):
Ki.
Besok bisa gak ketemuan lagi?
Ki?
Test.
Kamu udah read, kenapa gak dibales?
Jangan cuekin aku.
-----------------------------------
ALYA KIRANA DJATI (POV) :
-----------------------------------
Lagi-lagi, pesan w******p datang bertubi-tubi hari ini, dari sang mantan calon. Bian, sang Production Supervisor provider seluler nomor satu Indonesia, yang digadang-gadang memiliki gaji hampir 20juta/bulan, masuk kategori ‘gagal’ dalam list pencarian jodohku. Salah satu blind date partner yang disodorkan sahabat terbaikku.
Bian adalah teman kerja suaminya. Sikap posesif dan sok kenal sok dekatnya, membuatku eneg sendiri di pertemuan pertama kami.
Sudah ada sekitar belasan pria, hanya mampir numpang lewat dan akhirnya berlabel sama di daftar kontak handphoneku. Failed. Sumbangsih beberapa teman sejawat, sahabat dan keluarga yang tak ingin aku berakhir sebagai perawan tua.
Samsung cantik yang baru aku beli beberapa hari lalu, belum sempat aku eksplor fitur-fiturnya lebih dalam. Niatnya malam ini, sambil menghabiskan waktu jaga yang masih tujuh jam ke depan. Mataku cukup terbuka setelah menyesap kopi Janji Jiwa rasa milo macchiato dengan topping jelly yang aku beli online tadi.
Sebuah kebahagiaan yang hakiki, duduk santai seperti ini di nurse station, bercengkrama, minum kopi, dan sepi pasien. ‘Ups, gue ngomong jorok.’
“Kok sepi?”
“Tenang ya malem ini?”
“Sunyi IGD-nya.”
“Pasien kok dikit?”
Adalah beberapa kalimat magis yang mampu membuat keadaan seketika berbalik. Rentetan pasien bermunculan. IGD kembali pada hiruk-pikuknya. Dan berakhir dengan kami yang tidak bisa menghampiri kasur kebanggaan yang terus melambai-lambai. Siapa saja yang mengucapkannya, akan menjadi sasaran pelampiasan sejawat lainnya, jika ternyata pasien benar-benar membludak.
Ruangan setengah besar ini, terdiri dari tujuh kasur pasien. Empat di sayap kanan dalam keadaan kosong, dan tiga di sayap kiri terisi pasien yang masih dalam standar aman, tidak gawat.
Tergolek di bed satu, pasien sakit perut karena diare yang tak kunjung berhenti. Bolak-balik ke kamar mandi sambil mengaduh mulas. Baru tenang sepuluh menit lalu, setelah obat yang aku injeksi bereaksi. Di bed dua dan tiga terisi oleh pasien demam yang menunggu hasil laboratorium darah. Aku curiga dia terserang demam berdarah, dan satunya lagi karena ISPA.
Tiba-tiba, kurasakan angin malam bertiup ketika pintu otomatis yang terbuka. Pintu keramat bagi kami. Pintu Instalasi Gawat Darurat, di jam sebelas malam. Dingin. Tak hanya membuat dingin suhu ruangan yang kami huni, tapi juga membuat penasaran dalam hati, ‘pasien apa lagi ini?'
Aku memasukkan handphone ke kantong baju jaga pink-ku.
Kami, disaat orang-orang mulai terlelap dalam mimpi, merapatkan selimut dan memeluk gulingnya, mata serta otak kami dituntut untuk tetap bekerja. Terbuka dan waspada.
Tidak ada satupun yang tahu, pasien seperti apa saja yang akan datang. Seperti malam ini, pasien baru yang cukup membuatku menahan nafas. Aku saling pandang dengan Mba Lusi dan Mas Anton, perawat-perawat jaga malam ini.
Seorang laki-laki, usia sekitar tiga puluhan tahun, dengan kerah kaos yang berdarah-darah, celana jeans kaki kanan sudah koyak, kotor bercampur pasir dan terlihat luka di kakinya. Terbaring lemah dan tak berdaya di atas brankar ambulans yang didorong petugas.
Sebagai dokter dan tenaga medis lainnya, dalam lima detik pertama, kami sudah harus bisa menilai keadaan umum pasien saat datang.
"Pasien KLL Dok, tabrakan motor dan mobil, orang ini pakai motor, kata saksi keseret sepuluh meter. Tungkai bawah kanan closed fracture, udah di immobilisasi. Sesak. Di mobil batuk darah. Curiga hematothorax. Tensi seratus per tujuh puluh. Nadi cepat seratus dua puluh. Nafas pendek cepat dua delapan," sahut perawat ambulans yang memberi informasi sambil mendorong brankar pasien.
'Voilaa.. mimpi apa gue semalem?Apa gara-gara gue ngomong jorok barusan? Sial!!'
"Namanya siapa Mas? Ada temen atau keluarga yg nganterin?" tanyaku pada perawat tadi, yang bersama-sama kami bertiga sudah menyelipkan kedua tangan kami di bawah tubuh pasien, bersiap memindahkannya dari brankar ke tempat tidur IGD.
"One. Two. Three. Angkat!"
Aku memberi aba-aba agar serentak mengangkat pasien tersebut.
"Gak ada Dokter. Dompet pun dia gak bawa. Kosongan ini orang. Polisi lagi urus TKP dan otw kesini."
"Mas? Mas?" Aku menepuk-nepuk bahunya. Dia membuka mata lalu menutup lagi.
Mba Lusi segera menggunting kaos dan celana pasien agar memudahkan kami memeriksa.
"Sebelah mana yang sakit? Namanya siapa?" Dia hanya mengerang dan meletakkan tangan di dadanya. Aku memeriksa kedua pupil mata dan melakukan pemeriksaan fisik dengan stetoskop andalanku.
"Oksigen empat lpm, infus RL loading empat ratus cc dulu, pasang monitor! Abis itu panggil dokter Wijaya! Sama Radiologi, dan Lab. Cek Hb nya!" Mas Anton segera memasang selang oksigen, infus dan monitor tanda vital. Begitu selesai, ia segera berlalu menelepon Dokter Wijaya, dokter anestesi yang kebetulan masih stand by di rumah sakit.
Tak berselang lama, ia datang. Memeriksa sebentar dan menyiapkan alat intubasi untuk membebaskan jalan nafasnya.
"Wah Neng. Lo dapet pasien hematothorax ini. Udah lo cek 'kan?” Aku mengangguk. “Bantu gue pasang intubasi ya?"
Dr. Wijaya Wisesa, Sp.An, adalah dokter anestesi paling junior di rumah sakit ini. Usianya masih seumuran denganku. Satu-satunya dokter yang rajin memanggilku dengan sebutan 'Neng'. Gaya slengekan. Rambut short spiky dengan jambul depan masih sangat on berkat bantuan gel, di waktu orang sudah tidak peduli lagi dengan penampilan dan hanya ingin berbaring nyaman.
Tapi jangan salah, ia berotak encer dan sangat gesit.
Kini, Wijaya sedang sedikit membungkuk di kepala ranjang. Membuka jalan nafas dengan laringoskop dan tangan lain memegang selang intubasi. Dia masih tampil segar seratus persen dengan baju scrub jaga warna biru tua, milik Departemen Anestesi. Membuat mba Lusi senyum-senyum sendiri.
“Thanks ya?”
“Iyee, sama-sama. Bentar lagi Radiologi dateng. Lanjut, langsung pasang chest tube gue. Tensinya masih bagus sih. Hb-nya delapan. Abis itu gue laporan, telpon BTKV sama Ortho buat konsul."
Dan benar saja, laki-laki bertubuh panjang ini mengalami patah tulang tungkai bawah. Terdapat juga timbunan darah di rongga paru kanannya, yang membuatnya sesak. Sulit menarik nafas. Sehingga kami harus melakukan pemasangan selang pada rongga dadanya, melewati sela antar tulang iga, untuk mengalirkan darah keluar. Kemudian melakukan evaluasi lanjutan untuk mencari sumber perdarahannya.
Jika diamati lebih dekat, sejenak walaupun wajahnya agak kotor dan lecet bekas tumbukan dengan pasir jalanan, tak dipungkiri, dia tampan. Kulitnya sawo matang. Berambut hitam. Ia juga memiliki hidung mancung yang menurutku terlalu offside untuk ukuran orang Indonesia. Bentuk wajahnya lebih mirip keturunan Timur tengah.
Kaos warna abu bertuliskan Armani yang sudah terbelah dua, jeans biru kotor yang sudah sobek juga, campuran wangi parfum bercampur anyir darah, tidak bisa lagi menutupi tubuh atletis yang sepertinya terawat sangat baik ini.
"Dok, gue udah konsul. Katanya pasien mau di op sih dari Orthopedi-nya. Tadi hasil drainase chest tube nya juga delapan ratus cc. Darah. Lumayan 'kan? Jadi dokter Budi mau ke sini mastiin. Bentar lagi datang. Dokter Ardi juga. Lo siap-siap op tuh."
“Oke.” Ia melingkarkan jari telunjuk dengan ibu jari, tanda setuju.
Aku mengalihkan pandangan darinya, dengan melanjutkan menulis hasil pemeriksaan dan rencana lanjutan kami di rekam medis. Kemudian mengangsurnya ke tangan Mba Lusi.
"Tapi by the way, polisi belum dateng-dateng ya? Gimana? Kasian. Gue butuh informed consent keluarga."
"Kalo cito mah ya emang harus buru-buru Neng Kirana, keburu makin drop dia-nya."
Aku mengalihkan pasang mataku pada Mba Lusi. Mba Lusi sepertinya sudah paham dengan kebiasaanku. "Mba Lus, nanti kalo ada apa-apa atau butuh pengurusan apa, Mba bilang aku, oke? Mudah-mudahan keluarganya cepet ke sini."
This is it. Profesi yang tak ayal menyebabkan senam jantung, tapi kami juga harus bekerja solid, berpikir cepat dan tepat.
Kadang harus merelakan pasien yang tidak bisa lagi diselamatkan setelah segala daya dan upaya. Atau, terharu saat pasien sembuh lantas berucap 'terimakasih'. Sometimes, I've to help them with financial matters to save their lives, sincerely.
------------------------------------
------------------------------------
KLL : Kecelakaan lalu lintas.
Tensi : Tekanan darah.
Hb : Kadar hemoglobin.
Op : Singkatan dari operasi.
Lpm : Liter per menit.
ISPA : Infeksi saluran pernafasan atas.
Informed consent: Persetujuan dari pihak keluarga pasien sebelum dilakukan tindakan medis pada pasien.
Intubasi: Tindakan memasukan selang melalui mulut yang menghubungkan udara luar dengan kedua paru, untuk membebaskan jalan nafas apabila ada gangguan jalan nafas atau pasien tidak sadarkan diri.
Laringoskop : Alat medis berbentuk huruf L yang digunakan untuk melihat tenggorokan dan memandu pemasangan selang intubasi.
Cito : Status gawat darurat yang mengharuskan petugas medis bertindak secepatnya.
Hematothoraks: Kondisi dimana terjadi timbunan darah pada rongga pleura, di antara dinding d**a dan paru. Volume darah yang menumpuk sangat banyak dapat membuat tekanan pada paru sehingga kerja paru terhambat.
BTKV : Bedah Thoraks dan Kardiovaskuler.
Ortho (Orthopedi) : Bedah Tulang.
Closed fracture: Patah tulang tertutup.
Immobilisasi: Meminimalisir pergerakan di lokasi tulang yang patah agar area luka tidak makin lebar.
***