Chapter 8

756 Words
----------------------------------- ALYA KIRANA DJATI (POV) : -----------------------------------   Dimas mengambil kruk di sampingnya dan berdiri mendekatiku. Sekarang ia sudah rapi tanpa baju pasien. Hanya kaos putih polos dan celana jeans pendek selutut. Memar di hidung dan lecet di sekitar pipi juga sudah mulai terlihat samar.  Perlengkapan pulangnya baru saja dibawa oleh seseorang yang bernama Ibun, yang juga aku tahu baru saja adalah sekretarisnya. Kini Dimas sudah berdiri di depan dinding kaca yang mengarah ke balkon. Ia menatap lurus ke luar jendela dan tangannya menyugar rambut. Kemudian ia mengusap wajah. Apa yang sedang ia pikirkan? Ekspresinya sudah tidak terlihat dingin atau marah. Saat tatapan kami bertemu, aku melihat raut menyesal dari wajahnya, juga mata yang teduh. ‘Kamu ganteng kok Pak, kalo lagi gak resek.’ *** ----------------------------------- DIMAS AIRLANGGA (POV) : -----------------------------------   "Aku mau minta maaf sama kamu soal yang kemarin. Gak seharusnya aku men-judge orang dengan tiba-tiba dan berkata kasar sama kamu seperti itu. Aku cuma lagi putus asa dengan masalah yang bertubi-tubi termasuk kecelakaan yang terjadi kemarin. Niat aku bukan mau bunuh diri. Tapi dengan adanya kecelakaan itu, kenapa gak sekalian aja nyawaku diambil. Dan malah memberikan aku kesempatan hidup lagi. Maaf Dokter Kirana.”  Kirana mengangguk dan matanya terus fokus memperhatikanku. Dia terlihat sangat tenang. “Dan masalah uang kemarin, aku juga minta maaf soal itu. Gak seharusnya aku menilai semua dengan uang. Aku terlalu terbiasa dengan orang baru yang baik, karena ada pamrih. Aku sudah tahu soal donasi panti itu. Terimakasih."  Gak satupun kata keluar dari mulutnya, sepertinya dia sedang menungguku selesai bicara. "Saya sudah maafkan Bapak, sejak saya keluar dari pintu ini, hari itu juga. Bapak tidak seharusnya menilai setiap orang sama. Gak semua orang pamrih. Dan soal uang itu, itu memang uang Bapak, bukan punya saya. Jadi Bapak lah yang menyumbang untuk proyek rumah sakit Bapak sendiri. Is it okay?" "No prob. I should say thanks. Dari situ aku jadi lebih tau tentang rumah sakit ini dan program-program ke depannya.”  Kirana menautkan kedua alisnya, gak paham maksud perkataanku. "Sorry, mungkin kamu bingung kenapa aku gak tahu apa-apa sebelumnya. Rumah sakit ini memang bisnis papa. Dan aku sendiri, sibuk dengan urusan perusahaanku sendiri. Itu juga salah satu trigger, yang bikin kepalaku hampir pecah kemarin. Papa gak berhenti-hentinya paksain aku ambil alih kepemimpinan di sini.” Aku meraup wajahku. “Ups Sorry! Kok jadi curhat gini." Kirana tersenyum. Aku menyadari, kalau baru saja aku kelewat banyak bicara dan kemana-mana.  Ia memang punya aura yang berbeda. Aku bisa dengan lancarnya bercurhat ria di depannya, yang padahal baru satu-dua minggu ini aku kenal. Tatapan lembutnya dan penasarannya, membuat perasaanku nyaman untuk mengobrol. "Iya gapapa, Pak. Tapi sekarang ini, saya juga gak bisa ngasih saran apa-apa ke Bapak soal rumah sakit. Tapi mungkin tips ini sedikit banyak bisa membantu—” “Apa?” “Allah memberikan Bapak kesempatan lagi, mungkinn ... Mungkin ya ini? Agar Bapak memperbaiki diri. Saya yakin kok, Bapak bisa selesaikan semua masalah Bapak. Yaa ... karena kita diberi cobaan sesuai kemampuan kita. Semua selalu ada hikmahnya. Coba deh. Bapak lihat dari sisi pandang yang lain?" 'Ya, dan salah satu hikmahnya adalah ketemu kamu Na.'  Aku sadar sekarang, kenapa takdir mengarahkanku ke sini. Salah satunya adalah ketemu kamu di antara takdir-takdir yang lain. Aku tidak menyesal sekalipun harus dengan cara ini Allah mempertemukan kita. Kamu penenangku, Na. "Ups, maaf kayaknya saya juga terlalu banyak bicara. Saya gak niat menggurui. Beneran ini ..." Kirana menutup mulutnya dan tersenyum ikhlas kepadaku, ia sudah memaafkan semua kekejamanku kemarin. Ia berdiri dari sofa dan berpamitan. "Kalau gak ada lagi saya ijin dulu, Pak.” ‘Wait wait wait, don’t go, Na!!’ Aku hanya bisa berteriak dalam hati. ‘Please gue masih butuh kamu di sini.’ "Semoga Bapak selalu sehat, terapi jalannya lancar, cepet sembuh dan bisa lebih tenang saat menemui masalah. Jangan lupa tiga hari lagi kontrol ya, Pak." "Kalau kontrolnya ke Dokter Kirana boleh?" Hening beberapa detik. "Gimana, Pak?" "Owh maaf. Kalau gak darurat gak bisa kontrol ke saya, hehe ..."  Ia menampilkan senyum manisnya. ‘MasyaAllah."  Aku memanggilnya lagi, tepat saat Kirana berjalan ke arah pintu dan memegang knopnya. "Kirana." "Ya?" Dia masih terpaku di depan pintu dan hanya kepalanya saja yang menengok ke arahku. "Mau gak, kamu jadi istriku?" Aku memasang raut cenderung datar agar Kirana melihat pasang mataku yang serius.  Entah kenapa aku menjadi gak sabaran seperti ini. Tapi di depannya, semua terasa nyaman, berbeda dengan yang sebelum-sebelumnya. Dan aku gak mau lagi mengulur waktu lebih lama untuk menjadikannya milikku. Mungkin ini terlalu cepat. Tapi percayalah. Aku sudah mengamati hampir semua perempuan yang aku temui, sejak Mama dengan cerewetnya terus meminta menantu. Hatiku telah menentukan pilihan.  Ia adalah Kirana. Kirana yang terkejut, mematung dengan tatapan kosong ke arahku. Kedua alisnya terus tertaut. Dahinya muncul kerutan-kerutan tajam. Ia seperti gak percaya dengan keputusan tiba-tibaku ini. Kemudian akhirnya sadar dan membalas dengan senyumnya yang sedikit dipaksakan, demi kesopanan. "Maaf saya gak bisa." -----------------------------------   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD