Anjas dan Anes setidaknya bisa duduk santai untuk beberapa saat sambil menunggu orangtua palsu yang mereka siapkan datang untuk menggagalkan rencana para warga untuk menikahkan mereka.
Namun, seringai di wajahnya hanya bertahan sebentar, beralih pada keterkejutan saat melihat sosok yang datang bukan orangtua palsu melainkan orangtua asli.
"Mami, Papi."
"Ayah, Bunda."
Siapa yang menghubungi mereka sampai mendadak hadir di tengah warga? Padahal Anjas sudah menghubungi Dika agar datang bersama dengan Dalia untuk berakting menjadi orangtua palsu, sedangkan Anes sudah menghubungi Nina untuk melakukan hal serupa. Tapi kenapa yang terjadi di luar rencana?
"Selamat malam, Pak RT. Saya Fuadi, ayah dari Anes dan ini istri saya, Lina." Pak Fuadi mengulurkan tangan yang disambut oleh Pak RT, lalu giliran Pak Anwar yang melakukan hal yang sama, memperkenalkan dirinya pada Pak RT.
"Ada apa ini? Apa yang terjadi sampai anak-anak kami berada di sini?" tanya Pak Fuadi menatap Anes lalu Anjas.
"Silahkan Bapak lihat ini dulu! Baru setelah itu akan dijelaskan oleh Asep dan Ujang." Pak RT menunjukkan bukti berupa foto yang diambil saat kejadian di gubuk.
Pak Anwar dan Pak Fuadi melihat silih berganti lalu menunjukkan pada para istrinya.
"Astagfirullah, kenapa bisa terjadi seperti ini?" Bu Ida dan Bu Lina sampai mengusap dadanya.
"Kami bertugas meronda malam ini, tidak sengaja menemukan mereka berdua sedang berbuat m***m di gubuk dekat jalan sana." Seorang pemuda yang menyeret Anes dan Anjas bersaksi atas apa yang dilihat.
"Nak, kenapa seperti ini? Apa yang ada dalam pikiranmu sampai harus berbuat hal rendah seperti ini?" Bu Ida menatap tak berdaya.
"Mi, ini sama sekali gak seperti yang Mami pikiran. Ini cuma salah paham. Ini murni kecelakaan. Percayalah sama aku, Mi!" Anjas melihat wajah ibunya dengan tatapan penuh harap—harapan bisa percaya dengan apa yang dia jelaskan bukan apa yang orang lain jelaskan.
"Mami kecewa sama kamu." Bu Ida memalingkan wajahnya langsung memeluk sang suami. Seakan-akan paling hancur melihat kejadian yang telah terjadi.
Melihat itu Anes pun menoleh pada ibunya, tangan terulur hendak menggapai tangan ibunya tapi tidak tergapai karena Bu Lina mundur.
"Mereka telah berbuat perbuatan yang tidak senonoh di kampung ini, semua orang sepakat untuk menikahkan mereka, bagaimana pendapat Bapak dan Ibu? Mau kita nikahkan sekarang atau tunggu besok?" Pak RT masih bisa diajak untuk tawar menawar demi kedamaian. Jika dinikahkan sekarang kantor KUA sudah tertutup dan mereka hanya bisa melakukan nikah siri dulu baru mengesahkan esok hari di kantor KUA.
"Sekarang saja. Biar saya yang nikahkan putri kami dan kalian jadi saksinya," ujar Pak Fuadi sontak membuat Anjas dan Anes terkejut. Namun tidak dengan warga yang setuju dengan sikap tegas pria berkumis tipis itu.
"Ayah, aku mohon, jangan!" Anes menatap, memohon sambil menggeleng kepalanya.
"Om, kita masih bisa diskusi. Jangan ambil tindakan fatal seperti ini!" imbuh Anjas cemas. Dia tidak ingin menikah dengan cara seperti ini, apalagi calon istrinya itu Anes, si perempuan berisik tanpa pendirian.
"Harusnya kalian berpikir dulu sebelum bertindak!" hardik Pak Fuadi.
"Kami datang ke sini atas perintah kalian, kenapa malah jadi seperti ini? Ini sama sekali gak fair," protes Anjas merasa ada kejanggalan dari peristiwa yang terjadi.
"Ibu kalian memang sudah menunggu, tapi kalian terlalu lama sampai kami harus turun tangan untuk menjemputnya langsung." Pak Anwar memberi pembelaan untuk dirinya dan sang istri. Meyakinkan Anjas dan Anes bahwa mereka tidak terlibat.
"Ini benar-benar konyol." Anjas mengusap gusar wajahnya, menoleh ke arah warga malah mendapati seorang penghulu yang bergerak mendekati mereka.
"Sialan! Kalian berbuat sejauh ini," umpat Anjas sebal. Bisa-bisanya terperangkap dalam situasi dan kondisi yang sulit. Orangtua asli datang dan sekarang penghulu. Di luar kendali, masa bergerak begitu saja membuat dia tidak bisa melarikan diri.
"Sudahlah Anjas! Berani berbuat, harus berani bertanggung jawab!" seru Pak Anwar menepuk pundak putranya.
"Aku gak menyangka Papi gak percaya sama anak sendiri." Anjas menatap kecewa. Percuma saja mereka datang. Bukan untuk menyelesaikan masalah tapi malah memperkeruh suasana.
"Menurutmu suara satu orang dengan sepuluh orang siapa yang akan menang?" Anjas bergeming. "Terima saja. Mungkin inilah jalan jodohmu."
"Jodoh jalur musibah," gerutu Anjas melirik Anes yang duduk cemas di sampinya. "Gak ada pilihan lain, kita harus menikah. Nanti kita pikirkan gimana jalan keluarnya."
Anes mendesah, percuma saja kabur toh pada akhirnya nikah juga, dengan cara mengenaskan lagi.
Hanya bisa pasrah pada keadaan. Dan yang paling diuntungkan saat ini adalah para orangtua yang menginginkan anak-anak mereka ganti status tanpa memikirkan caranya seperti apa.
Kini Anjas duduk di depan Pak Fuadi dan Pak Penghulu, disaksikan oleh seluruh warga, RT dan para orangtua. Mau tidak mau tangan Anjas harus berjabat dengan Pak Fuadi—mengikrarkan sumpah setia pernikahan.
"Saya terima nikah dan kawinnya Anes Ananda Lukman binti Fuadi Lukman dengan mas kawin satu juta rupiah, tunai." Anjas mengucap ikrar sumpah pernikahan dalam satu tarikan napas. Lancar tanpa tergugu meskipun baru menghafalnya.
Nikah secara dadakan, termasuk mahar juga ala kadar karena isi dompet Anjas selain kartu hanya ada uang satu juta. Dia tadi juga menawarkan uang Rp 10.000 tapi langsung ditatap tajam oleh semua orang yang dianggap main-main, akhirnya dia mengeluarkan sepuluh lembar uang berwarna merah.
"Sah." Kata sah dari Pak penghulu membuat semua orang lega tapi tidak dengan Anjas dan Anes yang menarim napas panjang lalu membuatnya perlahan. Seakan ini akhir dari segalanya. Namun mereka kompak untuk mengubah ekspresi, enggan terlihat lebih menyedihkan karena harus segera berpikir untuk mengembalikan keadaan.
Pak penghulu menuntun doa keberkahan dan keselamatan untuk pasangan suami istri dadakan, semuanya turut mengaminkan sampai selesai. Setelah itu mereka membubuhi tanda tangan pada surat keterangan nikah siri, diantaranya Pak penghulu, Pak RT selaku saksi, Pak Fuadi selaku wali, Anjas dan Anes sebagai pengantin.
"Silahkan diterima!" Pak penghulu menyerahkan surat keterangan nikah siri pada Anjas. "Segeralah ajukan ke KUA agar nikah kalian tercatat di negara juga."
Anjas tidak mengiyakan, namun surat itu tetaplah diterima. Akan jauh lebih baik jika pernikahan ini tidak diketahui publik. Pertama belum siap dan mereka bisa mengakhirinya kapan saja tanpa ribet naik sidang dan mediasi.
"Terima kasih untuk semuanya, maaf sudah membuat kehebohan di kampung ini," ujar Pak Anjas mewakili Pak Fuadi, istri dan anak-anak.
"Sama-sama, Pak. Semoga pernikahan mereka langgeng."
"Amiin." Para orangtua tersenyum mengangguk kepala kemudian menoleh pada anak-anak mereka.
"Sudah selesaikan?"
"Iya."
"Kita pulang sekarang!" Anjas angkat b****g, segera Anes bangun mengikutinya pergi.
Pak Fuadi masih berada di sana, beliau mengeluarkan beberapa lembar untuk dikasih ke Pak RT dan Pak Penghulu sebagai ucapan terima kasih.
"Bukan pelicin, tapi ucapan terima kasih dan ucapan maaf karena sudah merepotkan kalian."
"Terima kasih, Pak."
Pak Fuadi tersenyum mengangguk kepala lalu berpamitan pada semua orang di sana.
Sedangkan Bu Ida melirik ke dua pemuda yang telah menangkap Anjas dan Anes, memberi kode untuk menemuinya setelah semuanya pergi.
Di tempat yang sepi, jauh dari rumah RT, Bu Ida didampingi oleh Pak Anwar, Pak Fuadi dan Bu Lina memberikan uang pada ke dua pemuda itu.
"Terima kasih karena kalian sudah membantu kami."
"Sama-sama, Bu."
"Jadi ini rencana kalian?" tanya Anjas tiba-tiba muncul sontak membuat semua orang yang ada di sana kaget.
"Ya ampun, kita ketahuan."