Menentang Keras

1116 Words
"Mi, Pi, aku kan sudah bilang untuk bawa calon istri pilihan aku, ngapain ..." Anjas menoleh ke wajah sahabat orangtuanya. "Ah, kalian." Anjas sampai mendesah, kesal sekali melihat orangtuanya nekad untuk membahas perjodohan. Lantas Anes membisu, pura-pura tidak kenal dan bersembunyi di belakang punggung Anjas. "Anes!" "Iya Ayah, Bunda." Sontak Anjas kaget mendengar panggilan ayah dan bunda yang keluar dari mulut Anes. "Ayah, Bunda?" tanya Anjas menatap Anes yang cengengesan hendak kabur tapi malah dicekal oleh Anjas. "Mau ke mana?" "Kaburlah, gila gue nikah sama lo." Anjas mengerutkan alis. Semakin bingung dengan situasi yang terjadi sekarang, tapi tidak dengan Anes yang langsung dapat memahami ketika melihat kedua orangtuanya di sana. "Tadi Mami dengar kamu bawa calon istri ya?" Bu Ida tersenyum memanfaatkan peluang di depan mata. "Iya," jawab Anjas dengan tegas. "Enggak." "Lu kenapa?" Anjas menoleh, menatap Anes keheranan. "Lo gila ya? Di sana tuh orangtua gue. Elo mau dijodohin sama gue? Udah capek-capek gue kabur, malah masuk sarang jodoh. Gak maulah." Anes berterus terang. Lantas Anjas cukup cekatan dalam memahaminya. Segera melepaskan tangan Anes lalu menatap wajah ibunya. "Gak jadi." "Pria itu yang dipegang omongnya. Apa kamu bertindak sebagai banci untuk menarik omongan yang sudah kamu keluarkan?" Pak Anwar langsung mengultimatum Anjas. Namun bukan Anjas namanya yang tidak bisa menyela. "Terserah apa tanggapan Papi. Yang penting aku ini punya senjata, mau dibilang banci pun gak peduli. Karena aku tetap menolak keras perjodohan ini!" "Iya, aku juga gak mau. Ayah, Bunda, ayo pulang!" imbuh Anes sangat kompak dengan Anjas. "Bunda mendengar dengan jelas bahwa Anjas membawamu sebagai calon istrinya, kenapa sekarang jadi berubah?" "Rencananya tadi mau bohongin kalian, tapi gak jadi setelah tau siapa orang yang akan dijodohkan." Ketika sudah terdesak, segala yang ditutupi pun bocor. Itulah Anes. "Bukankah ini namanya jalan jodoh?" sahut Pak Fuadi. Mereka terus menojoki keduanya. Mana mungkin akan membuang kesempatan langka ini. "Ayah, Bunda, ayo kita pulang! Percuma juga bahas jodoh, kami sepakat untuk menolak," ujar Anes dengan sangat serius. "Mi, Pi, kalian kalau mau berteman silahkan. Tapi untuk urusan jodoh, biar kita yang putuskan. Kalian sudah tua, nikmati masa tua kalian dengan healing, bukan menambah uban dengan memikirkan perjodohan ini. Biarkan urusan jodoh bagian Tuhan, kita gak perlu ikut campur," seru Anjas langsung diangguki oleh Anes. "Sebenarnya kalian berdua ini sudah menjilat air ludah sendiri. Datang tiba-tiba dengan gagahnya pamer bawa calon istri, tapi kenapa ujung-ujungnya malah zonk? Padahal kami di sini bukan berbicara perjodohan," ujar Pak Anwar menatap putranya lalu menoleh pada Anes. Seketika keduanya membisu. Mengutuk diri sendiri karena sudah bersikap gegabah. "Sebenarnya kami ke sini untuk mengatakan menolak perjodohan itu saja." Anes jadi kebingungan sendiri dalam memberi penjelasan. Toh sudah ketangkap basah, mau bagaimanapun mereka mengeluarkan argumen pembenaran tetap saja jadi tersangka. "Om tidak mendengar itu. Kalian sendiri yang datang ke sini membahas jodoh. Jadi mari duduk! Kita bahas masalah perjodohan," balas Pak Anwar tetap tenang. "Gak!" pekik Anjas dan Anes kompak. "Bun, kalau aku dipaksa nikah, kabur lagi ni. Serius." Anes mengancam ibunya. "Silahkan pergi! Paling-paling ketemu jodoh," ujar Pak Fuadi menyeringai. Anes pun tidak bisa lagi tinggal di situ, langsung saja melangkah pergi. Detik kemudian kembali untuk menarik lengan Anjas—keluar. "Ngapain sih tarik-tarik tangan gua?" Anjas menghentakkan tangan hingga pegangan Anes lepas. "Antar gue balik ke apartemen!" "Naik taksi saja." "Gak ada uang." Anjas membuang napas kasar. "Masuk!" Anes pun segera masuk ke dalam mobil bersama dengan Anjas kemudian pergi. Lantas, di depan jendela orangtua dari Anes dan orangtua dari Anjas memperhatikan gelagat anak-anak mereka. "Katanya menolak, tapi pergi bersama. Dasar anak jaman sekarang," ujar Bu Lina tersenyum menggeleng kepala. "Mereka menolak keras perjodohan ini, bagaimana, apa kalian punya ide untuk menyatukan mereka?" Bu Ida kembali resah. Di usia anaknya yang hampir menyentuh kepala tiga, tapi tak kunjung menikah juga. Sedangkan temannya, Bu Dian sudah sibuk dengan cucu laki-lakinya. "Mari kita kembali duduk! Kita harus memikirkan cara untuk membuat mereka bersatu," ujar Pak Anwar, seketika mereka kembali duduk di sofa dan mulai memikirkan langkah apa yang akan diambil untuk mengikat Anjas dan Anes. Sementara itu orang yang ingin diikat malah duduk satu mobil, pergi hendak mengantar Anes. Namun, di pertengahan jalan, Anes tidak sengaja melihat gerobak bakso yang membuatnya jadi lapar. "Hei, berhenti!" teriak Anes seraya memukul lengan Anjas. Kaki Anjas otomatis menginjak rem sampai membuat mereka hampir terbanting ke depan, untung memakai seatbelt. "Ada apa sih? Kucing lewat?" tanya Anjas, nada suaranya mendadak jadi kesal. "Itu bakso langganan aku. Enak loh. Yuk kita makan!" Anes sangat antusias mengajak Anjas makan bakso bersama. Setelah di tatap Anes dengan cukup lama, barulah dia setuju. "Lu yang bayar ya!" "Gak punya uang gue. Kan tau sendiri gue kabur dari rumah." "Merepotkan ... cepat turun!" Anes tersenyum riang, gegas turun dari mobil. Padahal dia masih ada sisa uang hasil gadai jam tangan, namun sayang saja jika harus dihabiskan untuk bayar bakso Anjas. Mumpung dia pergi dengan orang kaya, sekalian saja memanfaatkan agar ditraktir. "Bang bakso dua, minumnya nurdin aja!" Anes menoleh pada Anjas. "Mau minum apa?" "Air mineral saja." "Bang bakso 2, nurdin 1 sama air minerl 1," kata Anes pada penjual bakso. "Baik, Neng." Anes dan Anjas merebahkan bokongnya di kursi plastik sembari menatap jalan. "Lo gak risih kan makan di pinggir jalan kaya gini?" tanya Anes menatap lekat wajah Anjas. "Biasa saja." "Yakin?" Anjas mengangguk mantap. "Lo kan wakil CEO Sultan Invest, harusnya gak di sini tempatnya kan?" "Gak usah kebanyakan nonton drama! Gua ini laki-laki, makan di manapun sama sekali gak masalah." "Baguslah." Anes dan Anjas menyambut kedatangan bakso dan minuman pesanan mereka, lalu mereka memberi saos, kecap dan cabe rawit giling sesuai dengan selera. Dan tindakan yang dilakukan Anes menarik perhatian Anjas. "Itu gak kebanyakan saos sama cabenya?" Anjas melihat Anes tidak takut-takutnya menuang saos dan cabe rawit ke dalam baksonya. Dia yang melihat jadi mengedik ngeri—pedas. "Enggak, biasa aja." "Itu terlalu banyak, apa gak bikin sakit perut?" "Gue suka makan pedas. Lambung gue udah terlatih. Lo gak perlu khawatirin gue." "Siapa juga yang khawatirin elu?" sergah Anjas melirik sinis. "Tadi apa juga?" "Gak usah bahas itu. Sekarang coba lu pikirkan gimana cara supaya orangtua kita melupakan perjodohan ini!" Anjas kembali membahas masalah perjodohan. Dia tidak selamanya bisa kabur meskipun sudah tinggal pisah dengan orangtuanya. Teror demi teror tetap datang silih berganti, mendesak agar segera ganti status. "Entahlah. Gue cuma bisa kabur dulu untuk sementara waktu." "Jangan tunjukkan batang hidung lu di depan mereka atau kita berakhir di pelaminan!" "Kasih gue pekerjaan dong biar gue gak kelaparan." "Ogah." "Uang deh." "Utang lu saja belum bayar." Anes membeliak. "Astaga, kenapa lo jadi orang pelit banget sih?" "Biarin." "Pantas udah tua belum laku, pelit," cerca Anes kesal, tiba-tiba dia keselek dan mulutnya kepedasan gara-gara disuapi cabe rawit giling ke dalam mulutnya. "a***y!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD