Bagian 2 : Kucing Hitam

1000 Words
Malam telah larut, tapi Rayna masih enggan menutup matanya. Kakinya bergoyang pelan di atas kasur kapas ukuran sedang. Ia menatap lekat langit-langit kamarnya yang sederhana, sinar bulan yang masuk melalui ventilasi jendela membuat kamar Rayna sedikit lebih terang. Krsuk krsaak krusak krsk Rayna menoleh ke arah jendela, tapi tidak ada siapa pun di sana. Gadis itu melirik jam waker miliknya yang duduk manis di atas nakas. Pukul satu dini hari. Krsakk krsukk krusak Rayna kembali menoleh ke arah jendela, di sana gorden kamarnya tampak bergerak-gerak. Dengan cepat Rayna mengubah posisinya menjadi duduk. Tanganya meraba tembok yang berada di dekat nakas untuk mencari sapu. Gordennya bergerak semakin kencang, Rayna pun bersusah payah menelah ludahnya. “Meow!” Rayna pun menghela napas lega. “Dasar kucing nakal.” Kucing hitam itu berjalan mendekat ke arah Rayna, ia mengelus-eluskan kepalanya manja di kaki Rayna. “Meow.” Suara itu terdengar lirih. Rayna tidak menghidupkan sakelar lampu kamarnya, bisa-bisa ibunya akan ceramah sampai pagi. Gadis itu turun dari ranjangnya, kemudian ia membuka pintu kamar dengan sangat pelan agar tidak menimbulkan suara. Saat pintu sudah setengah terbuka, Rayna menyembulkan kepalanya keluar. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan seolah saat ini Rayna sedang melancarkan aksi pencurian di rumahnya sendiri. Aman!  Batin Rayna. Rayna pun berjalan keluar dari kamarnya tanpa menutup pintu agar si kucing hitam itu bisa mengikutinya. Benar saja, kucing hitam itu mengekori langkah Rayna. Gadis itu kini tiba di dapur, menggendong si kucing hitam kemudian meletakkannya di atas meja. Rayna beralih membuka kulkas, ia mengambil sepotong ikan rebus kemudian memberikannya kepada si kucing hitam. Kucing hitam itu langsung saja memakannya. Rayna tersenyum menatap kucing itu dengan lahapnya menyantap sepotong ikan tersebut. “Kau sangat lapar ternyata, kasihan sekali.” Rayna mengelus pelan kepala kucing itu. Dalam waktu sekejap, sepotong ikan sudah habis dimakannya tak menyisakan tulang atau remah-remah daging. “Kucing manis,” ujar Rayna. •°•°•° Pagi telah datang membawa kehangatan, angin pagi membelai lembut wajah Rayna yang saat ini sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuknya dan Shiren, Ibunya. Ah, ditambah satu anggota lagi, si kucing hitam. Shiren yang baru bangun dari tidur merentangkan tangannya seraya menggeliat. Ia berjalan keluar kamar dengan wajah bantalnya. Langkah Shiren terhenti kala melihat seekor kucing hitam sudah duduk manis di dekat Rayna. “Rayna!” Rayna menoleh ke arah Shiren lalu menatap ibunya tanpa berkedio seolah bertanya. “Kenapa kau bawa kucing jalanan itu kemari?!” Shiren mencubit pangkal leher si kucing hitam tersebut. “Ibu! Dia kelaparan, biarkan dia tinggal di sini,” ujar Rayna. Shiren hanya diam saja kemudian menaruh kucing itu di luar rumahnya, lalu ia menutup pintu dengan kasar. “Ibu, sekali saja,” ujar Rayna memohon. “Tidak, aku tidak suka memelihara hewan. Aku takut jika aku memeliharanya akan membuat hewan itu tersiksa.” Shiren kemudian berjalan ke arah kamar mandi untuk mencuci wajahya lebih dulu. “Bu,” celetuk Rayna. Shiren kembali datang ke dekat Rayna dan duduk di sebelah gadis itu. “Ada apa? Kau ingin mengatakan sesuatu?” tanya Shiren seraya memasukkan nasi goreng ke dalam piringnya. Rayna menatap Shiren canggung. “Besok aku akan pergi ke hutan pinus untuk melakukan sosialisasi dengan masyarakat di sekitar sana.” Gerakan dari Shiren terhenti, wanita berusia kepala empat itu menatap putrinya. “Jangan ke sana,” ujar Shiren. “Ayolah, Bu. Aku bisa menjaga diriku di sana,” ujar Rayna memohon. Shiren menghela napas pasrah. “Baiklah.” Shiren kembali memasukkan nasi goreng ke dalam piringnya. “Kau tidak marah pada ku, ’kan?” tanya Rayna hati-hati. “Kau sudah besar, kau bukan anak berusia sepuluh tahun lagi,” ujar Shiren. Tiba-tiba saja Rayna memeluk erat tubuh sang Ibu. “Tenanglah, aku akan baik-baik saja di sana. Setelah aku menyelesaikan tugasku maka aku akan langsung pulang.“ Shiren mengelus pelan tangan Rayna. “Tanganmu sudah besar ternyata.” Rayna melepas pelukan itu dengan cepat. “Kau merusak suasana sedihnya, Bu.” Shiren terkekeh pelan. “Cepatlah makan, jam berapa kau akan pergi?” Rayna menyuapkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya. “Au aan elauan erjaanan aam.” “Telan dulu makananmu, baru bicara. Anak ini,” kesal Shiren. Rayna bergegas menyelesaikan kunyahannya dan meneguk segelas air putih. “Aku akan melakukan perjalanan malam, mungkin aku berangkat jam lima sore,“ ujar Rayna. “Apa itu tidak terlalu malam sampainya?” tanya Shiren. “Tentu saja tidak, anak mu ini memiliki kekuatan petir super cepat.” Rayna memgakhiri ucapannya itu dengan kekehan pelan. Shiren hanya menggeleng pelan seraya memakan nasi gorengnya. “Jika anak ku memiliki kekuatan petir, maka setidaknya aku tidak perlu membayar tagihan listrik.” Rayna tergelak mendengarnya. “Ah, Ibu.” Sementara seekor kucing hitam, berjalan menyusuri jalan raya. Ia kemudian berhenti dan menoleh ke salah satu rumah. Di sana tampak dua pria berusia tiga puluh tahunan tengah tertawa bersama. Kucing itu kemudian bergegas ke sana. "Hey, apa ini? Kau memasukkan larutan yang salah," gerutu salah seorang pria. Wajah mereka tampak mirip, mungkin mereka kembar. "Apa, aku sudah benar. Ini adalah larutan ...." Pria itu menggantungkan kalimatnya karena sepertinya ia memang memasukkan ramuan yang salah. "Hahaha, akui saja bahwa kau salah memasukkan larutan," ejek salah satu pria. "Ya, ya. Baiklah, aku salah." Pria itu memutar bola matanya malas. "Meow." Kucing hitam yang tadi berada di rumah Rayna mengeong di antara kaki dua pria kembar tersebut. "Huaaa!" Salah seorang pria berteriak kemudian naik ke dalam gendongan saudaranya.  "Meow." Kucing itu kembali mengeong. "Astaga, kau ini. Kucing itu tidak akan menggigitmu lalu kau menjadi cat-boy." Pria yang menggendong saudaranya itu terkekeh pelan. "Tidak,  tetap saja kucing hitam itu menakutkan." •°•°•° Di belahan lain waktu dunia, seorang Profesor dengan sisa tenaga terakhirnya menekan satu tombol terakhir programnya. Setelahnya, Profesor itu ambruk. Seseorang yang berada di depannya tampak menyeringai. “Apa yang bisa kau lakukan dengan sisa tenaga seperti ini?” tanya orang itu. Profesor yang kini tak berdaya itu menatap orang yang ada di hadapannya ini dengan tatapan tajam seolah siap menikam. “Ke ... Kenapa?” lirih Profesor tersebut. “Aku berubah pikiran. Jika aku memenjarakanmu di dalam laboratoriummu, maka kau akan menciptakan hal-hal yang aku tak tahu apa itu. Contohnya seperti kau menekan tombol itu.” Orang itu menunjuk alat profesor itu llu menghancurkannya hanya dalam sekali pijakan. Sang Profesor pun tertawa hambar. “Tak ada gunanya kau menghancurkan benda itu. Percuma kau menghancurkan remote jika televisi dan saluran satelite masih menyala.” Orang itu menggeram kesal. Dengan brutal, ia menendang wajah Profesor itu hingga tersungkur. “Kurung dia menggunakan tabung kaca,” titahnya kepada sosok pria yang kemarin menemuinya di ruangan minim cahaya. »»»to be continue«««
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD