Bagian 1 : Rayna

1123 Words
-Mei 2015 "Berjalanlah dengan benar! Apa gunanya kau memiliki mata!" ketus Sarah, gadis populer di kampus. Kelas sudah selesai, sedangkan Rayna masih diganggu oleh dua gadis populer di kampus ini. Rayna yang terduduk di lantai pun berdiri, ia kemudian membenarkan letak kacamata bulat yang bertengger di hidungnya. Matanya menatap malas ke arah Sarah, sungguh ia sangat malas berdebat saat ini. Di siang hari dengan suasana hati Rayna yang sangat buruk, Sarah justru membuat suasana hati Rayna semakin buruk. Gadis itu dengan sengaja menjegal Rayna, alhasil tubuh Rayna sukses mencium ubin kelas. "Gunakanlah kakimu dengan benar atau lebih baik kau potong saja jika tidak mampu menggunakannya." Rayna membalas ucapan ketus dari Sarah. "Ah, ternyata gadis miskin juga bisa sombong? Kau punya nyali juga ternyata," ujar Siska meremehkan seraya maju beberapa langkah membuat Rayna yang sudah berdiri mundur beberapa langkah. "Nama kalangan kaya akan tercemar dengan ulah kalian yang seperti ini," ujar Rayna. Siska maju satu langkah membuat jarak antara ia dan Rayna semakin terkikis. "Benarkah?" Sedangkan Sarah memperhatikan penampilan Rayna dari ujung kaki sampai ujung rambut. Pakaian gadis itu terlihat sederhana. Sarah mencubit lengan baju Rayna dengan ibu jari dan telunjuknya. "Baju apa yang kau kenakkan ini? Baju bekas? Ah, atau mungkin kau memungut baju ini di jalanan?" Rayna hanya bisa memejamkan matanya untuk meredam amarah. Ia tidak ingin berurusan dengan gadis populer di kampusnya. Ia bisa saja di drop out hanya karena masalah sepele seperti ini. Sarah memiliki 'orang dalam' di kampus ini terlalu banyak. Siska merampas buku yang berada di dalam dekapan Rayna, kemudian membuangnya ke depan kelas yang hanya ada mereka bertiga. Baru saja Rayna hendak bergerak mengambil buku miliknya, tiba-tiba saja sepasang sepatu menginjak buku tersebut. Langkah Rayna pun terhenti, matanya pun bertemu dengan satu orang lagi gadis populer di kampus ini. Ia menatap satu persatu ke arah tiga orang gadis populer kampus yang selalu saja mengganggunya, S³ gelar mereka, Sarah, Siska, dan Sinta. "Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya Sinta, gadis yang saat ini menginjak buku milik Rayna. "Aku memiliki mata, jadi terserah padaku ingin menatap kalian bagaimana," ujar Rayna. Sinta meraih buku yang berada di bawahnya saat ini, kemudian berjalan mendekat ke arah Rayna. Siska dan Sarah pun memberikan ruang untuk Sinta. Gadis itu menatap Rayna dengan tatapan remehmya, Sinta mendorong tubuh Rayna menggunakan jari telunjuknya hingga gadis itu terjungkal ke belakang. Punggung Rayna terasa nyeri, karena punggungnya terbentur kaki meja akibat dorongan dari Sinta. Ingin sekali Rayna membalas perilaku mereka, tetapi Rayna hanyalah gadis biasa yang hidup normal. Ia sama sekali tidak memiliki tenaga yang kuat ataupun ilmu bela diri. Rayna hanya bisa pasrah, selain itu yang bisa Rayna lakukan hanyalah bermain kata-kata. Siska, Sarah, dan Sinta perlahan mendekat ke arah Rayna yang saat ini masih terduduk di antara kursi dan meja-meja di dalam kelas. "Menjauhlah!" teriak Rayna. Dengan gerakan cepat, Siska menjambak rambut Rayna yang hanya sebatas d**a. Sedangkan Sarah mengambil kacamata Rayna kemudian menginjaknya hingga hancur berkeping-keping. Sedangkan Sinta, gadis itu merobek satu lembar halaman buku Rayna yang tadi dipijaknya. "Tidak! Itu bukuku!" teriak Rayna. "Memohonlah, maka aku akan mengembalikan buku tugasmu ini," titah Sinta. Memohon? Pada mereka? Yang benar saja. Rayna menggeleng pelan. Jika ia memohon, sama saja Rayna merendahkan harga dirinya. "Cepatlah gadis manis," ujar Siska seraya menarik rambut Rayna lebih kuat. "Awsh," ringis Rayna. Pandangan Rayna tidak jelas karena ia tak memakai kacamata. Melihat Rayna yang masih membungkam, Siska lagi-lagi menarik rambut Rayna lebih kuat lagi. "Cepatlah, gadis bodoh. Memohonlah," titah Sarah. "Aku mohon, kembalikan bukuku," ujar Rayna. "Hanya itu? Memohon lagi, ayo terus memohon." Sinta tertawa lepas. "Aku mohon Sinta, kembalikan bukuku. Aku mohon, sangat mohon," lirih Rayna. Sarah, Siska, dan Sinta tersenyum miring. Selalu saja begini, akhirnya Rayna menuruti perintah mereka. Sinta kemudian melempar buku yang kini berada di tangannya ke hadapan Rayna. Tanpa basa-basi, tiga gadis populer di kampus itu bergegas pergi. Rayna menghela napas pelan, yang ada di dalam pikiran Rayna saat ini adalah bagaimana caranya agar gadis itu bisa pulang. •°•°•°• "Aku pulang." Rayna memasuki rumah dengan meraba dinding sebagai penunjuk arahnya. "Astaga, ada apa denganmu?" Shiren panik karena putrinya pulang tanpa kacamata dan rambutnya yang kusut. "Mereka lagi, Bu," ujar Rayna. Shiren kemudian menuntun Rayna untuk duduk di kursi kayu di ruang tamu rumahnya. Rumah Rayna hanya terdiri dari lima ruangan, yaitu dua kamar, satu kamar mandi, ruang tamu, dan yang terakhir dapur. "Sudah berapa usiamu saat ini? Hm?" Shiren kemudian duduk di sebelah Rayna. "Sembilan belas, Ibu," jawab Rayna. "Mengapa kau tak bisa melawan mereka? Hm? Apa susahnya melawan?" tanya Shiren. Rayna menunduk dalam, ia benar-benar menjadi serba salah. "A- Aku tidak bisa. Aku tak mampu melawan mereka." Shiren hanya menghela napasnya, kemudian ia beranjak dari duduknya. Shiren mengambil sebuah kacamata dari kamarnya, kemudian memberikannya kepada Rayna. Rayna pun memakai kacamata itu. "Ah, ini lebih baik." Rayna mengambil sebuah majalah dari bawah meja kayu yang berada di dekatnya, kemudian ia gunakan sebagai kipas. "Hari ini mendung, tetapi hawanya tetap panas," ujar Rayna. "Tandanya nanti malam akan hujan deras," ujar Shire. "Itu hanya mitos," celetuk Shiren. "Kau itu anak bau kencur, belum mengerti apapun tentang tradisi," ceramah Shiren. Ah, ibu memang selalu begitu, batin Rayna. "Cepat pergi ke minimarket untuk membeli perlengkapan kita yang sudah habis," ujar Shiren seraya menyodorkan beberapa lembar uang dan selembar kertas yang berisi daftar belanja. "Baiklah, Bu." Untung saja letak rumah Rayna tak terlalu jauh dari minimarket, alhasil gadis itu tidak perlu menggunakan sepeda ontel miliknya. Di tengah perjalanan, gerimis tiba-tiba saja turun. Rayna terpaksa mencari tempat berteduh, matanya menangkap figur toko yang sudah tutup. Ah, setidaknya gadis itu bisa berteduh di sana. "Ucapan ibu benar-benar mitos. Hujannya turun siang ini, bukan malam ini," gerutu Rayna. Lelah berdiri, Rayna pun memutuskan untuk bersandar di dinding toko. Perlahan, tubuhnya merosot hingga gadis itu terduduk. "Kapan hujannya akan reda?" Rayna bertanya kepada dirinya sendiri. Rayna menatap percikan dalam genangan. Awalnya setetes air jatuh, lalu gelombangnya menyebar ke tepian. Rayna membuang pandangannya seraya menghela napas pasrah. "Apa hanya melihat percikan air dalam genangan yang bisa aku lakukan?" •°•°•° Seseorang berpakaian serba hitam duduk di ruangan minim cahaya. Tangannya mengetuk-ngetuk pelan meja yang berada di hadapannya. Suara berirama itu terdengar nyaring karena ruangan ini sangat sunyi. "Apa yang direncanakan Alan? Pria payah itu selalu menentang keinginanku," gumam pria misterius itu. Suara pintu yang otomatis terbuka karena sensor yang berada di konsen pintu mendeteksi panas manusia. "Kau terlihat tegang." Sosok yang berada di luar ruangan itu kemudian menghampiri pria misterius yang tengah duduk. "Dia sangat cerdik, aku tak tahu ada berapa rencana cadangan yang dia siapkan. Apapun caranya, aku harus berhasil," ujar pria misterius yang tengah duduk itu penuh ambisi. »»»to be continue«««
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD