20. Makan bersama Shayna.

1514 Words
___ Selamat membaca. ___ Kadang bintang malam tahu bagaimana rasa sakitku saat aku menangisimu, karena aku berceirta padanya, bahwa, kamu, hanya kamu yang bisa membuat aku seperti ini, yang hanya bisa membuatku menangis tidak karuan seperti malam-malam menyedihkan yang sudah aku lewati ini. ___             “Kalau ketahuan papah, gimana Kak?” tanya Shayna, perempuan itu berucap tanpa repot-repot menolehkan kepalanya pada Dikta yang tengah menyetir di sampingnya. Ya, jelas saja Shayna pasti dan hanya memikirkan hal itu, ia benar-benar takut bahwa setiap pergerakannya selama ini diawasi oleh ayahnya, dan siang ini ia makan bersama keluarga Reevin, coba bayangkan kalau ayahnya tahu, apa tidak habis dirinya?             Dikta terseneyum singkat, ia menoleh, mendapati Shayna yang masih tidak mau menoleh kepadanya itu, ya, Shayna pasti merasakan khuwatir dan marah karena hal ini, tapi sungguh, Dikta bisa menjamin sendiri bahwa dirinya dan Shayna pasti aman hari ini, ia tahu Om Aldino memberikan kepercayaan kepada dirinya, dan hal ini bisa ia tangani sendiri, “udah enggak apa-apa, enggak bakal ketahuan, lagian cuman makan bareng, juga makannya sama gue, Shay,” ucap Dikta mencoba untuk menenangkan, laki-laki itu menghentikan mobilnya saat lampu mereh menyala di depannya.             Dikta akhirnya bisa menoleh kepada posisi Shayna, memfokuskan tatapannya pada adik kelasnya itu, memberikan Shayna ketenangan yang sesungguhnya, “lagian ini juga makan siang biasa, ada gue juga Shay, serius, gue jamin ini enggak bakal apa-apa, semuanya enggak bakal menyeusahkan lo kok Shay,” tangan Dikta akhirnya membawa genggaman itu, menyalurkan segala rasa tenang yang ia miliki untuk adik kelasnya itu.             Reevin yang berada di dalam mobil ibunya itu menatap sendu mobil berwarna hitam yang dikendarai oleh Dikta itu, ia yakin bahwa Shayna tengah menghadapi hal yang menyakitkan pada saat ini, ia menebak bahwa Shayna pasti tengah kesusahan pada saat ini, karena rasanya tidak mungkin seseorang bisa berubah sedemikian cepat dalam hitangan satu malam kalau tidak ada penyebabnya, kalau penyebab itu tidak dengan alasan yang kuat.             Kalau saja Reevin mengetahui bahwa penyebabnya adalah dirinya yang berbeda dengan Shayna, maka demi apa pun Reevin akan memperjuangkan semuanya, Reevin akan memperjuangkan Shayna, melewati seluruh rintangan yang ada di depannya hanya untuk perempuan itu.             “Bun, Shayna pasti akan kembali ke aku kan?” tanya Reevin dengan suara yang terdengar sangat putus asa, rasanya, kehilangan Shayna kali ini begitu menyakitkan, ia pernah kehilangan Shayna, ia pernah ditinggalkan perempuan itu, dan rasanya begitu sakit, Reevin seolah kehilangan rumahnya, Reevin seoalah kehilangan orang yang memahaminya, dan ternyata kali ini rasa sakitnya lebih besar, karena Reevin sudah berjuang dengan ssekuat tenaga untuk menemukan perempuan itu, Reevin sudah berjuang mencari Shayna, dan lagi, kenapa, kenapa Tuhan malah kembali merenggut perempuan itu, lagi?             Saat Reevin bisa menata hidupnya, saat Reevin bisa memulai hidupnya kembali, dan mendapatkan Shayna lagi, ternyata Tuhan tidak tinggal diam saat melihat kebahagiaan itu, Tuham kembali memberikan cobaan yang begitu menyesakkan dadanya Reevin, dan mungkin Tuhan juga kembali ingin melihat bagaimana perjuangan Reevin lagi pada saat ini.             Avita yang duduk di depan menoleh ke belakang, mendapati  Reevin, Sadira dan juga Banjar, “kita kan enggak tahu pasti apa yang terjadi pada Shayna sebelumnya, makanya kita tanya dulu, kalau dia ada masalah ya kita bantu,” ucap Avita mencoba menenangkan walau dirinya sendiri begitu yakin bahwa tebakannya benar, ini semua karena Aldino yang tidak rela bahwa anaknya menjalin hubungan dengan anak dari seseorang yang menyukai istrinya.             “Dulu Shayna enggak seperti ini, Shayna memang begitu dikekang memang, tapi, kali ini, sepertinya Shayna benar-benar tidak bisa bergerak,” ucap Banjar, mengingat bagaimana sebenarnya ia pada akhirnya bisa berteman dengan perempuan itu ia juga memperlukan waktu yang cukup panjang untuk bisa bersahabat dengan Shayna, oleh karena itu Shayna memang tidak punya teman dekat selain dirinya, “Shayna dari dulu memang dikekang, tapi kalau seperti ini memang ada masalah besar bearti,” ucap Banjar lagi memberikan stigmennya.             “Ya, karena Abang Reevin anaknya ayah,” sela Sadira, ia juga sudah mendengar apa yang sebenarnya terjadi dalam hubungan abangnya itu, ia juga masuk ke dalam hal ini emang, dan menurut Sadira memang hal ini yang menjadi penyebab utama dari masalah kakaknya itu.             Reeving menoleh ke sebelah, mobil hitam Dikta masih ada di sebelah mobil orangtuanya, “Mah, abang sayang sama Shayna, sayang sekali, bisakan abang sama Shayna?” tanya Reevin lagi dengan lirihan orang yang rasanya sudah sangat putus asa.             Hujan yang tadinya hanya sisa gerimis tiba-tiba semakin deras saat Shayna dan rombongannya tiba di restoran di mana tempat itu yang akan menjadi tempat ia makan bersama dengan keluarga Reevin, perempuan itu kembali menghela napasnya, ia merasa ingin maju dan mundur, ia ingin pergi tapi juga tidak ingin pergi, ya, Shayna memang menjadi perempuan yang labil sekali kalau semua itu berhubungan dengan Reevin.             Reeving keluar dengan payung yang berada di tangannya, ia mencoba melangkah untuk mendekati pintu di mana Shayna yang akan keluar – bermaksud untuk berjalan bersama dengan perempuan itu bersama dengan payung yang sudah ia pegang, tatapan mata Reevin dan Shayna bertemu saat Shayna keluar dari mobil itu, perempuan itu terdiam di tempatnya, ia memalingkan wajahnya menatap Kak Dikta yang berdiri dengan payungnya tapi tak menghampiri dirinya membuat Shyan benar-benar muak dengan semua ini.             Shayna meraih jaketnya, menutupi kepalanya dan berjalan cepat untuk segera melangkah dari sana, membiarkan Reevin yang terdiam di tempat karena sama sekali tak dihiraukan olehnya, Shayna sudah mengambil keputusan bahwa dirinya akan meninggalkan Reevin, Shayna sudah mengambil keputusan untuk mengikuti apa yang dikatakan oleh ayahnya, kalau saja tadi Kak Dikta tidak mengiyakan ajakan makan siang ini Shayna mungkin tidak akan pernah pergi bersama dengan laki-laki itu, selain membahayakan dirinya, Shayna juga merasa tersiksa berada dekat dengan Reevin dalam keadaan yang menyedihkan seperti ini.             Bayangkan, Shayna baru pertama kali jatuh hati, Shayna baru pertama kali mencintai laki-laki dengan setulus hatinya, tapi, pada akhrinya ia dan laki-laki itu sama sekali tidak bisa bersama-sama, bahkan hubungannya ditentang dengan keras oleh ayahnya, hati Shayna rasanya begitu sakit, ia merasa begitu tidak berdaya, bahkan dibeberapa kesempatan ia sempat melirih kesal, kenapa, kenapa hal ini menimpa dirinya, kenapa harus dirinya?             “Udah, ayo,” ajak Banjar apda Reevin yang masih berdiri di tempatnya, sedangkan Shayna sudah berada di depan restoran yang sudah mereka tuju, pun Kak Dikta dan Sadira serta tante Avika yang sudah melangkah ke sana.             Jaket denim itu semakin Shayna eratkan, setelah masuk ke dalam restoran itu, Shayna berjalan bersisian dengan tante Avita, ya, Tante Avita mencoba untuk mendekati anak perempuan itu, karena rasanya dirinya dan Shayna masih belum terlalu akrab.             “Shayna ada alaergi enggak?” tanya Avita dengan ramah, ia melangkah semakin masuk ke dalam restoran itu menuju ruangan yang memang sudah ia pesan untuk makan bersama, dengan mantan kekasih anaknya itu.             “Enggak ada,” jawab Shayna sambil masuk ke dalam ruangan yang sudah ditunjukan oleh pelayan itu, Shayna menatap sekilas restoran ini, dirinya pernah makan di sini beberapa waktu lalu bersama dengan orangtuanya, dengan senyum yang mengembang di kedua bibir orangtuanya.             Flashback on.             “Mah, Mamah enggak ada niatan bikin adik buat aku?” tanya Shayna sambil memakan sushinya dengan tenang.             Karena perkatan yang dilontarkannya tanpa sadar itu, Shayna jelas membuat ayah dan ibunya tersedak sekaligus.             “Heh, ngaco banget kamu,” jawab Aldino setelah menyodorkan air minum kepada isterinya yang masih terbatuk itu, sungguh, Aldino sama sekali tidak menyangka ia akan mendapatkan pertanyaan dari anaknya yang sudah berusia enam belas tahun itu.             Mulut Shayna mengembang maju, kenapa ayahnya bisa mengatakan hal itu, padahal dirinya sama sekali tengah tidak bercanda kali ini, dirinya begitu menginginkan saudara, dirinya sungguh merasa sepi saat ia ditinggal orangtuanya begitu saja saat bekerja, dirinya juga sangat dijaga ketat dan untuk bermain bersama dengan teman-teman saja dirinya harus pilih-pilih, lalu bagaimana Shayna bisa berteman kalau begini caranya, bagaimana caranya agar Shayna tidak kesepian kalau begini caranya?              “Enggak enak tahu pah jadi anak tunggal, kalau papah sama mamah udah enggak ada aku sendirian tahu, enggak ada saudara,” ucap Shayna tanpa sadar.             Sylena yang sudah kembali bisa menormalkan batunya itu tersenyum singkat mendengar apa yang dikatakan oleh anaknya itu lalu menjawab, “kamu enggak bakal sendirian di dunia ini Shayna, ada mamah, ada papah, enggak usah takut begitu,” ucap Sylena, ya, drinya begitu yakin bahwa ia bisa menemani Shayna seribu tahun lagi, ia, Aldino dan Shayna pasti akan hidup seribu tahun lagi, mereka bisa bersama-sama dalam waktu yang sangat lama, bahkan Sylena juga yakin mereka akan kembali dilahirkan sebagai keluarga yang berbahagia lagi.             “Iya, benar apa yang dikatakan oleh mamah kamu,” jawab Aldino lagi.             Flash back off.             “Shay, Shay, mau makan apa?” kata Reevin yang pada saat ini ia duduk di sebelah Shayna yang sudah menyentuh pundak perempuan itu, Shayna tengah melamun, dan tatapannya terlihat kosong menatap hujan yang turun di luar restoran sana melalui kaca yang berada di sampingnya itu.             “Hah?” tanya Shayna bingung, mengerjapkan matanya menatap sekitar.             “Pesan, mau pesan apa kamu sayang?” tanya Avita dengan lembut.             “Oh, Sushi tuna aja,” jawab Shayna singkat dan kembalu memalingkan wajahnya kepada jendela, menatap hujan yang masih saja turun di sana, kembali mengenang beberapa memori bahagianya bersama dengan orangtuanya.             “Pah, Mah, bisa enggak ya kita hidup seribu tahun lagi, dengan bahagia?” ___
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD