Bab 10. Hangat dan Dingin

1245 Words
Lamat-lamat Berlian mulai membuka kedua matanya perlahan. Cahaya matahari masuk melalui celah jendela kamar Berlian. Menerangi seluruh ruang kamar Berlian. Berlian terbangun dan duduk. Ia menarik kedua tangan untuk meregangkan persendiannya. Jika biasanya ia bangun dengan jantung berdebar setelah mimpi buruk, kali ini tidak. Ia bangun dengan hati tenang dan damai. Setelah bangun tidur badannya juga terasa sangat ringan dan segar. Berlian melihat ke arah pil tidur yang ada di meja kecil dekat ranjangnya. Ia ingat, bahkan tadi malam ia sama sekali tidak meminum pil tidur itu. Berlian tersenyum tersipu sendiri. Ini semua bukan terjadi secara tidak sengaja dan begitu saja. Tentu saja karena Agam, ia bisa jadi seperti ini. Berlian sekali lagi tersenyum tenang. Berlian pun segera bangun untuk bersiap-siap. Ia turun dari ranjang dan segera masuk ke kamar mandi. Ia akan bersiap untuk pergi ke kantor. Meski hari ini hari Minggu, tapi ada hal yang mengharuskannya ke kantor. Sekian menit setelah persiapan selesai, Berlian sudah rapi dan berjalan menuju keluar. Ketika baru membuka pintu, Berlian langsung melihat Agam berdiri menunggunya. Melihat Agam, Berlian tersenyum. Saat itu Agam yang berdiri membelakanginya, memutar balik badan dan melihat Berlian sudah keluar rumah. Ia pun juga melayangkan senyum pada Berlian. Berlian berjalan mendekat. "Pagi, Tuan putri," sapa Agam seperti biasa. Berlian semakin melebarkan senyumannya. "Kamu sudah menunggu di depan, kenapa tidak menelponku?" "Kebetulan aku juga baru sampai, kok." "Meski begitu ini, kan hari Minggu. Tidak perlu sepagi ini juga menjemputku," ujar Berlian lagi. "Sudahlah. Ini, kopi untukmu,"kata Agam sembari memberikan satu cup kopi pada Berlian. "Terima kasih," jawab Berlian menerima kopi dari Agam. "Tadi malam, aku tidur tanpa harus meminum pil dari dokter," ujar Berlian lagi. "Benarkah?!" "Itu semua berkat kamu. Terima kasih banyak," kata Berlian sembari tersenyum manis ke arah Agam. Melihat senyum Berlian yang tidak seperti biasa itu, membuat Agam berdebar. Ia bahkan langsung salah tingkah dan mengalihkan pandangannya dari Berlian sembari menggaruk kepala bagian belakang yang tentu saja tidak gatal. "Tidak perlu begitu. Aku juga senang bisa membantumu." "Kamu sudah banyak sekali membantuku. Tadi malam, aku memikirkan sesuatu dan membuatku sadar. Selama ini, aku selalu merasa kesepian setelah bercerai. Tapi, begitu bertemu denganmu lagi, rasanya aku tidak merasa begitu," kata Berlian lagi sembari terus tersenyum ke arah Agam. Jantung Agam semakin tidak aman. Berdebar lebih kencang dari sebelumnya. Ia berdehem beberapa kali dan terus menerus salah tingkah. Ia pun berdehem beberapa kali. "Eee ... bagaimana kalau kita berangkat sekarang? Sesuai rencana, aku akan mengantarkanmu mengambil mobilmu." "Hm! Tentu saja!" jawab Berlian. Agam pun tersenyum. Ia lalu membukakan pintu untuk Berlian. Berlian sekali lagi tertawa kecil dengan sikap sahabatnya itu. Ia pun masuk ke dalam mobil. Setelah masuk, Berlian memasang sabuk pengaman. Agam memutari mobil dan masuk di pintu kemudi. Tidak membutuhkan waktu lama, Agam menyalakan mesin mobil dan mulai melajukannya. "Kamu mau langsung ku antar ke restoran yang tadi malam untuk mengambil mobilmu, kan? Sekalian kita sarapan di sana, ya," ajak Agam. "Tidak. Aku bisa sarapan di kantor nanti." "Jangan begitu. Kamu harus lebih memperhatikan kesehatanmu! Kalau belum sarapan, tidak boleh bekerja!" tegas Agam. Setelah itu Agam kembali melihat ke depan fokus menyetir. Berlian pun hanya tersenyum melihatnya. Jelas sekali Agam sangat memperhatikannya, bukan? Berlian kemudian melihat ke arah kopi hangat yang dipegangnya dari pemberian Agam tadi. Ia mengusap cup kopi itu sembari berpikir di dalam hati. "Kalau begini terus, sepertinya lama-lama aku akan terbiasa dengan kehadirannya di dekatku," ungkap Berlian dalam hati sembari tersenyum tersipu. *** Berlian mengendarai mobil dalam perjalanan ke kantor. Setelah Agam mengantarkannya ke restoran kemarin, mereka sempat sarapan sebentar. Setelah itu, mereka sama-sama pergi berlawanan arah. Berlian yang menuju ke kantor, melirik ke arah cup kopi dari Agam tadi. Berlian sekali lagi tersenyum tersipu sendirian. Entah sudah berapa kali ia tersenyum sendiri seperti itu? Tidak lama, Berlian sampai di depan Glory Garment. Karena hari ini Minggu, jadi suasana kantor lumayan sepi. Berlian pun membuka pintu mobilnya. Tidak lupa, ia membawa kopi pemberian Agam tadi. Namun, ketika baru memasuki pintu utama gedung perusahaannya, senyum Berlian langsung memudar. Ia melihat seorang laki-laki yang berdiri tidak jauh darinya dengan melayangkan senyum. Laki-laki itu adalah Satya. Membuat senyuman Berlian langsung lenyap. Melihat Satya, hati Berlian yang tadinya hangat, kini terasa dingin. Satya dengan salah tingkah berjalan ke arah Berlian. Berlian langsung memasang wajah serius dan sorot mata tajam. Satya terus mendekat ke arahnya dan kelihatan tidak yakin. "Pagi, Ber," sapa Satya pada Berlian. Berlian tidak segera menjawab. Ia menolehkan kepala ke arah kanan dan kiri sembari menyedekapkan kedua tangan. "Apa yang dilakukan satpam di sini? Kenapa mereka mengijinkan orang lain masuk ke kantor seenaknya?" kata Berlian seolah sedang berbicara sendiri. Satya pun segera terhenyak mendengar Berlian. "Ja ... jangan usir, aku! Aku di sini tidak akan berbuat onar, kok! Aku janji," kata Satya dengan nada memohon. Berlian pun mendengkus pelan. "Tentu saja. Mana berani kamu berbuat onar di perusahaan milikku?" balas Berlian congkak. Satya merasa ada yang menghujam jantungnya mendengar balasan sinis dari mantan istri yang dulunya sangat penurut dan lemah itu. Ia menelan ludah. "Sebenarnya, aku ke sini ingin berbicara denganmu." Satya melanjutkan kalimatnya. "Tidak perlu dikatakan pun sepertinya aku sudah tahu. Kamu pasti ingin memohon padaku untuk mengembalikan saham yang sudah aku ambil dari perusahaanmu, bukan?" balas Berlian tajam. Satya kembali terhenyak mendengarnya. Ia sampai tercekat dan lidahnya kaku. Ia kesulitan menelan ludahnya. "Ke ... kenapa kamu berpikir begitu?! Aku ke sini ingin minta maaf. Maafkan atas semua perlakuanku padamu dulu," kata Satya dengan lagi. Berlian tersenyum remeh mendengarnya. "Minta maaf? Kamu yakin?" tanya Berlian yang memberikan ekspresi sama sekali tidak percaya. "Tentu saja yakin! Aku sadar, dulu sudah menyia-nyiakanmu. Aku minta maaf atas semua perlakuan kasarku padamu dulu. Kamu pasti sakit hati." Berlian sekali lagi tersenyum merendahkan kalimat Satya. "Untuk apa minta maaf? Kenapa baru sekarang? Karena kamu baru tahu kalau aku pimpinan Glory Garment? Karena kamu ingin menyelamatkan perusahaanmu, bukan?" tanya Berlian menahan emosi. "Ber! Tolong jangan campurkan urusan pribadi dengan pekerjaan. Aku benar-benar tulus untuk meminta maaf. Tolong maafkan aku meski terlambat. Tapi aku benar-benar tulus meminta maaf. Kalau perlu aku akan berlutut untuk menerima maafmu!" Satya segera akan berlutut di depan Berlian. "Tidak perlu!" sanggah Berlian cepat. Menghentikan Satya berlutut. "Karena kamu sudah memohon, baiklah. Aku bisa memaafkanmu." Setelah itu, Berlian membalikkan badannya. Ia berjalan menjauhi Satya menuju kantornya. Satya bingung melihat sikap Berlian yang pergi begitu saja. Membuatnya linglung dan harus segera melakukan sesuatu. Satya pun segera berlari mendekati Berlian. Ia lalu menyalip Berlian dan menghalangi Berlian berjalan serta mencegahnya untuk pergi. Membuat Berlian berhenti berjalan. "Tolong beri aku kesempatan satu kali lagi, Ber. Aku mohon ...." "Apa kamu tidak dengar? Aku sudah memaafkanmu," ujar Berlian lagi. "Sekarang pergilah. Tidak ada lagi yang kita bicarakan. Jangan berusaha lagi mencegahku! Aku bisa panggilkan keamanan untuk mengusirmu!" tambahnya lagi memerintah Satya. Berlian melanjutkan kembali langkahnya. Meninggalkan Satya untuk kedua kalinya. Satya pun hanya terdiam membeku dan pasrah. Hanya bisa melihat punggung Berlian yang semakin menjauhinya itu. Melihat sikap Berlian yang angkuh itu, kenapa jantung Satya terasa berdebar? Istri yang dulu selalu diremehkan, kini seolah seperti terlahir kembali. Berlian sekarang benar-benar berubah. Lebih berani, lebih tegas dan tentu saja jauh lebih cantik. Membuat Satya tidak bisa berhenti memikirkannya. Satya lalu menoleh ke sebuah papan pengumuman di dalam ruang utama tersebut. Di sana terlihat jadwal untuk para tamu yang ingin menemui Berlian. Juga ada jadwal Berlian besok malam. Satya membacanya dengan menautkan kedua alis. "Acara makan malam di hotel Gala Dinner?" gumam Satya pelan membaca jadwal Berlian tersebut. Satya pun segera terpikirkan sebuah cara agar bisa bertemu dengan Berlian lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD