Insiden Gaduh

666 Words
Kantin kantor dipadati dengan para pegawai kantor. Biasanya tidak padat begini. Tapi hari ini berbeda. Penawaran sang bos membuat para pegawai beminat untuk menyerbu kantin, memadati setiap sisi. Pengelola kantin pun jadi gembira ria. Dagangannya laris manis. Osman sebenarnya lupa dengan penawaran makan gratis itu. Dia berada di sana karena satu alasan, perutnya lapar. Dan baru sadar ada istilah makan gratis ketika melihat meja kantin dipadati para pegawai. Ada lima kantin. Semuanya dipadati pegawai. Tapi kantin ini paling banyak dikunjungi. Menu yang disajikan enak-enak. Osman membuka mulut dan mulai memasukkan sesendok makanan. Ternyata omelet di kantin ini lezat. Dia tidak berminat makan nasi. Cukup omelet saja. Bukan maksud berhemat, tapi keinginannya hanya itu. Osman meraih hp saat benda itu berbunyi. Ada video masuk. Dari Naomi, istri pertamanya. Dalam video, tampak Naomi yang mengenakan mukena putih itu membaca Al Qur’an, suaranya yang merdu membuat kulit OSman meremang hebat. Bacaan indah itu menyejukkan kalbu, menggetarkan langit. Naomi menyudahi bacaan. Ia menatap ke arah kamera. Wajahnya sederhana dengan hidung yang bisa dikatakan tidak mancung, tapi juga tidak pesek, tanpa riasan make up, natural sekali. Naomi tersenyum. “Assalamualikum, suamiku! Di saat apa pun, jangan lupa berzikir, jangan lupa berdoa. Jangan Cuma aku yang berdoa ya, sayang. Kamu juga harus berdoa untuk kebaikan kita berdua. Saat pasangan suami istri berdoa bersama-sama, maka sesungguhnya pasangan itu sedang berbagi keintiman yang tidak dapat diciptakan dengan cara apa pun. Jalan terindah untuk beribadah kepada Allah adalah melalui pernikahan. Aku sedang santai sekarang. Nungguin kamu pulang. Cepat pulang ya, sayang! Dadaaah!” Bleb. Video mati. Senyum Osman pun mengembang. Ada banyak mata yang mencuri pandang saat senyuman itu tercetak di wajah Osman. Pria itu sangat berkharisma. Senyumnya mampu melumpuhkan hati wanita. Osman meletakkan ponsel ketika sebuah piring diletakkan tepat di meja depan Osman. Pria itu mengangkat wajah, menatap sosok yang duduk di depannya. Wajah cantik dibalut senyum manis menyambut pemandangannya. Orin. “Kenapa harus duduk di sini?” bisik Osman sambil melanjutkan makan. Tatapan matanya kini tertuju pada omelet di piringnya. Tak mau menatap gadis di hadapannya. “Aku kan sudah kirim chat tadi sama kamu, tapi tidak dibalas. Diam itu artinya setuju.” Orin menyantap makanannya dengan lahap. Bakso kuah. Aromanya menggugah selera. “Jangan sebut ‘kamu’. Panggil aku dengan sebutan ‘Pak’. Saat di kantor, aku ini atasanmu.” Suara Osman setengah berbisik. “Hmm… Rupanya takut kewibawaan runtuh sampai tidak rela disebut dnegan kamu. Mintanya dipanggil Pak. Okelah, Pak Osman yang ganteng.” “Aku tidak mau mereka curiga. Ingat rahasia yang harus kau jaga!” tegas Osman. Orin mengedarkan pandangan ke sekitar. Orang-orang mulai berbisik-bisik, sesekali melirik Orin yang begitu berani mendekati sang atasan. Bahkan duduk satu meja. Sebenarnya mereka tidak sedang curiga atas hubungan Orin dan Osman, tidak ada kabar burung apa pun yang membuat mereka harus merasa curiga. Mereka hanya sedang takjub saja pada tingkah Orin, pegawai baru yang tingkahnya suka nyeleneh. Punya nyali besar untuk bisa makan bersama dengan atasan. Pegawai lainnya tentu tidak punya nyali untuk bisa duduk semeja dengan atasan. Selain sungkan, mereka juga takut ada cabe nyangkut di gigi saat diajak bicara sama atasan saat sedang makan bersama. Itu akan memperburuk situasi. “Lihatlah mereka mulai membicarakan kita!” bisik Osman mulai tidak nyaman. Orin malah tertawa. “Mereka hanya sedang merasa heran terhadapku karena terlalu memiliki nyali untuk bisa duduk sedekat ini dengan atasan.” “Itu akan membuat mereka mulai menaruh curiga!” geram Osman. Dia meletakkan sendok ke piring dan bangkit berdiri, tanpa sengaja meja ikut terdorong akibat gerakan tubuhnya. Brak! Kursi yang diduduki Orin terbanting ke arah belakang sesaat setelah terdorong oleh kaki meja yang mendesak ke arahnya. Tubuh Orin ikut terbanting. Susana mendadak gaduh. Semuanya berkerumun. Osman yang sudah berbalik arah, segera putar badan. Baru menyadari Orin tergeletak di lantai. Osman menggeser orang- orang yang berkerumun, mencari akses untuk menyelinap masuk. Ia terkejut melihat Orin merintih kesakitan. “Orin! Apa yang terjadi?” Osman meraih tubuh Orin, lalu mengangkatnya. “Kalian menyingkirlah! Jangan menghalangi jalan!” titahnya mendominasi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD