Dave berjalan dua langkah lebih cepat ke arah parkiran, sedangkan Eva sendiri berjalan di belakangnya dengan tubuh yang terus bergetar.
"Aw..."
Eva merintih ketika tubuhnya menubruk tubuh Dave. Lelaki itu berhenti tanpa tanda apa pun.
Kemudian, Dave berbalik dan wajah mereka bertatapan sekali lagi. "Untuk sekarang, kamu hanya perlu istirahat yang banyak. Untuk Dion, biar aku yang mengurusnya."
Hanya itu, dan Dave langsung berjalan menjauh lagi.
Eva sendiri tengah sibuk dengan pemikirannya mengenai ucapan Dave. Tidak mungkin ia membiarkan Dave menanganinya sendiri, lagipula Dave tidak bisa mencampuri urusannya. Ia bisa mengurusnya sendiri.
"Jangan lakukan apa pun," pinta Eva.
Dave langsung menghentikan langkahnya, dan sekali lagi, ia berbalik menghadap Eva.
"Ini adalah masalahku. Ini adalah kesalahanku. Jadi, jangan melakukan apa pun atas apa yang kuperbuat," ucap Eva yang berusaha setegar mungkin.
"Tapi..."
"Aku akan mengurusnya. Kakak hanya perlu mengurus pernikahan Kakak dengan Kak Diana."
Eva langsung berjalan dengan cepat, dan sekarang gilirannya untuk meninggalkan Dave.
Setibanya di rumah, Eva tidak segera turun dari mobil, karena ia masih menetralkan napasnya yang tidak teratur. Setelah menetralkannya, ia turun dari mobil dan memasuki perkarangan rumah dengan langkah yang berani. Dave sendiri masih berdiam di dalam mobilnya sambil melihat punggung Eva yang sudah menjauh.
Ia tidak menyangka bahwa gadis itu bisa bersikap tenang dan tegar seperti itu. Ia benar-benar kagum dengan gadis yang dulu pernah tinggal di hatinya. Dave mengembuskan napasnya, kemudian ia turun dari mobil dan mengikuti Eva dari belakang.
"Selamat siang, semua," sapa Eva ceria. Ia berusaha kuat untuk menutupi kesedihannya.
"Ka u dari mana saja? Aku menghubungi kalian, tapi telepon kalian tidak ada yang aktif," ujar Diana cemas. Sepertinya, kakaknya itu sudah menyelesaikan urusan di kantornya hingga bisa berada di sini.
"Jangan cemas, Kak. Eva dan Kak Dave hanya keasyikan belanja," balas Eva tenang.
Akhirnya, kecemasan di wajah Diana mulai hilang karena ucapan Eva. Dan wajahnya menjadi lebih baik lagi ketika Dave mulai menampakan dirinya di hadapan Diana.
"Oh iya, Mama di mana?" tanya Eva.
"Mama lagi arisan," jawab Diana sambil berjalan ke arah Dave dan memeluk lelaki itu.
"Baiklah, Eva ke kamar dulu," ucap Eva sambil melangkah menuju kamar atas, di mana kamarnya berada.
Setibanya di kamar, Eva langsung merebahkan tubuhnya di ranjang king size-nya dan matanya ia pejamkan dengan kuat. Lalu, bulir kristal mulai mengalir dari pelupuknya dan sudah membasahi pipi meronanya. Ia menangis, tapi tangisannya tidak mengeluarkan suara.
"Kenapa ini semua harus terjadi?" isaknya. Ia tidak pernah membayangkan bahwa kejadian seperti ini akan terjadi pada usianya yang masih dini. Ia masih delapan belas tahun, dan ia masih seorang pelajar. Ia tidak bisa menerima ini semua dengan mudah.
Mata Eva terbuka dengan lebar. Ia bangkit dan mulai mencari ponselnya untuk menghubungi Dion.
"Halo."
"Ada apa, sayang?"
"Kamu di mana?"
"Aku ada di Bandung, ada apa?"
"Apa besok kamu ke sekolah?"
"Tentu saja, minggu depan kita sudah Ujian Nasional. Jadi, aku akan selalu masuk. Ada apa?"
"Selesai ujian, aku ingin mengatakan sesuatu."
"Benarkah? Baiklah, kita akan bertemu di tempat biasa."
Eva langsung mengakhiri panggilannya. Dan ia mulai menangis.
"Bagaimana jika Ayahmu tidak menerimamu?" gumamnya pada perutnya yang masih rata. Eva takut. Ia takut melihat sebuah kenyataan bahwa Dion tidak akan menerima keadaannya. Ia takut melihat sebuah fakta bahwa Dion akan meninggalkannya dalam keadaan seperti ini. Ia takut.
Eva pun hanya bisa menangisi dirinya yang memiliki takdir menyedihkan seperti ini.
***
Ujian Nasional pun sudah selesai dan sekarang, Eva tengah mengadakan sebuah acara makan malam bersama keluarganya dan Dave.
Malam ini, terlihat sekali bagaimana kacaunya Eva. Ia memang menggunakan make up dan short dress yang indah. Tapi, ia tidak bisa menutupi kantung matanya yang hitam dan wajahnya yang pucat. Gadis itu seperti kehilangan semangat untuk hidup. Semua yang ada di meja itu pun mengetahui dengan baik mengenai keadaan gadis itu.
"Eva, kamu baik-baik saja, Dear?" tanya Emma khawatir.
Eva mengangguk. "Aku ke belakang dulu, permisi."
Eva langsung bangkit dari tempatnya dan berjalan ke halaman belakang untuk menikmati udara segar. Ia membutuhkan udara segar.
"Ada apa dengannya?" tanya Tara yang sedih melihat keadaan putri bungsunya itu.
"Entahlah, Pa. Sepertinya dia kelelahan," jawab Diana dengan wajah yang sama mengkhawatirkannya dengan Tara.
"Emma, bicaralah dengannya," pinta Tara pada Emma.
Emma mengangguk. "Aku akan bicara dengannya besok, sepertinya dia membutuhkan istirahat hari ini."
Dave yang menyaksikan hal itu hanya bisa terdiam. Setelah acara makan malam, Dave berniat untuk berbicara dengan Eva. Ia kemudian berjalan ke halaman belakang dan melihat Eva yang tengah duduk di sofa cokelat.
Dave yang melihat jika Eva kedinginan, mulai melepaskan jasnya dan memakaikannya pada punggung Eva. Gadis itu sontak menoleh ke arahnya.
"Kamu sudah mengatkannya pada Dion?" tanya Dave langsung sambil duduk di samping Eva.
Eva menggeleng. "Akan kukatakan besok pagi."
Dave mengerti. "Katakan semuanya dan lihat keputusan apa yang akan dia ambil," ucapnya.
Eva terdiam. Ia terlalu takut.
Dave mengerti tentang ketakutan Eva. Ia lalu memegang tangan Eva yang sangat dingin. "Jangan takut, jika dia mencintaimu, maka dia akan menerimamu. Sekarang, tidurlah. Ini sangat dingin dan tidak baik bagi kesehatan dan kandunganmu."
Eva mengikuti perintah Dave. Ia pun bangkit dan masuk ke dalam rumah.
***
Keesokan harinya, seperti yang mereka janjikan, Eva dan Dion bertemu di kafe yang biasa mereka datangi. Eva datang lebih cepat, dan beberapa menit kemudian tiba Dion yang tampak gagah dengan kemeja cokelatnya. Mereka duduk berhadapan di meja bundar itu.
"Maaf membuatmu menunggu, tadi macet," ucap Dion.
Eva hanya terdiam.
"Apa yang ingin kamu katakan?" tanya Dion penasaran.
"Di, kamu mencintaiku, 'kan?" tanya Eva lebih dulu.
"Tentu saja. Aku sangat mencintaimu."
Eva tersenyum mendengar jawaban Dion yang seperti itu. Ia pun menjadi lebih percaya diri.
"Tapi, kenapa kamu bertanya seperti itu?" tanya Dion heran. Karena setahunya, Eva tidak pernah menanyakan hal seperti itu.
"Tidak ada, aku hanya bertanya," jawab Eva.
"Begitu, lalu apa hanya itu yang ingin kamu tanyakan?" tanya Dion kemudian.
Eva terdiam sejenak. Buku-buku tangannya sudah mulai memutih dan keringat dingin sudah mulai mengalir di wajahnya. "Apa yang akan kamu lakukan jika aku hamil?"
Keduanya langsung terdiam. Dion bahkan tidak bisa membuka mulutnya.
"Va, apa yang kamu katakan?" tanya Dion sekali lagi. Ia merasa bahwa telinganya sedang bermasalah.
"Aku hamil."
Saat itu juga, Dion dapat merasakan jantungnya mulai berhenti berdetak.
"Sungguh?"
Eva mengangguk. Dan ia tidak bisa menebak apa yang akan Dion lakukan.
"Maaf, aku tidak bisa menerimanya."
Deg...