Genap satu bulan.
King Faaz memang sudah tidak serewel sebelumnya. Tangisnya perlahan mulai bisa di tenangkan.
Seperti kasus yang sebelumnya Lia Dharma jelaskan, Faiz menjadikan penuturan ibunya sebagai satu solusi untuk menangani putranya. Ya, selain baby sitter, Faiz juga kini menggunakan jasa ibu s**u pada dua wanita yang juga memiliki anak bayi dan akan datang secara bergilir ke rumah Faiz untuk menyusui King Faaz, putranya. Persis seperti yang Lia Dharma ucapkan, King Faaz akhirnya bisa mereka taklukkan tanpa harus membawa Yasmin dan putrinya kembali ke rumah itu.
Hari ini adalah imunisasi pertama King Faaz dan sudah dari kemarin Lily membuat janji untuk melakukan itu dengan dokter yang biasa menangani Naima dulu, Patan.
"King Faaz!" Seru perawat memanggil urutan nama King Faaz, putra Faiz dan Lily. Dan keduanya, Faiz dan Lily langsung bangkit dari duduknya dengan King Faaz di gendongan Lily.
"Selamat pagi!" Sapa Lily dengan membagi senyum terbaiknya dan Patan membalas senyum itu sama indahnya namun senyum itu perlahan hilang saat melihat Faiz juga ikut masuk di belakang punggung Lily.
"Jadi namanya King!" Seru Patan ramah dan Lily langsung mengagguk dengan senyum yang ikut menghiasi wajah cantiknya.
"King Faaz, Dokter!" Lily membenarkan dan Patan hanya mengangguk saat seorang perawat meletakkan alat timbangan di atas ranjang dan meminta Lily meletakkan bayi laki-laki berbaju biru itu di sana.
3,4ons.
Ya, berat bayi laki-laki itu sekarang 3,4ons dan kemarin saat bayi itu lahir, dia memiliki bobot 3,2ons. Dalam artian berat bayi hanya bertambah 2ons saja dan itu kurang baik.
"Kenapa beratnya hanya bertambah 2ons. Apa Yasmin kesulitan untuk memproduksi ASI hingga putra kalian tidak mendapat asupan nutrisi lebih untuk pertumbuhannya?" Tanya Patan saat melihat skema di buku pink yang Lily bawa.
"Kenapa? Apa itu artinya putraku kekurangan nutrisi?" Timpal Lily saat kembali menerima bayi laki-laki itu untuk di letakkan di atas pangkuannya.
"Iya. Bisa di katakan begitu!" Jawab Patan lembut, sembari mengeluarkan beberapa cairan dan alat suntik untuk memberikan suntikan pertama pada bayi itu. "Dimana Yasmin. Apa dia tidak ikut masuk? Bawa dia kemari, biar aku jelaskan apa yang harus dia lakukan agar ASI-nya berlimpah dan sehat!" Seru Patan saat mengoleskan kapas beralkohol di paha bayi laki-laki itu.
"Yasmin tidak ikut. Dia pilih menunggu di rumah, menemani Naima!" Faiz yang menjawab dan Patan langsung beralih menatap Faiz, dan Lily juga langsung menoleh menatap Faiz.
"Yasmin tidak ikut?" Kutip Patan yang tidak jadi menusukkan ujung jarumnya di kulit paha bayi itu. "Oh, apa kalian becanda?" Ucap Patan lagi dan Lily langsung terlihat menghela nafas dalam diam, saat Patan benar-benar menusuk kulit bayi itu dengan ujung jarumnya dan seketika tangis itu pecah dengan sangat nyaring dan Lily langsung bangkit dari duduknya sembari menenangkan bayi laki-laki itu di gendongannya.
"Seharusnya kau yang diam di rumah menjaga putrimu, dan biarkan Yasmin yang datang ke mari agar aku tau apa yang menjadi kendala dia dalam menangani putranya, bukan malah diam di rumah!" Ucap Patan kecewa saat merasa gagal menemui Yasmin padahal kemarin saat Lily membuat janji dengannya, Patan sudah langsung berpikir jika Lily akan datang bersama Yasmin seperti bagaimana dulu Lily juga menemani Yasmin untuk melakukan imunisasi yang sama pada Naima.
"Hust,,, hust." Lily menenangkan tangis bayi itu di punggungnya.
"Oh, aku lupa . Aku punya janji sama bocah perempuan itu, untuk mengganti balon hijaunya yang kemarin meledak. Oh dia benar-benar anak yang manis!" Seru Patan bicara sendiri sambil menulis buku resep untuk King Faaz, dan resep untuk Yasmin konsumsi agar dia bisa memproduksi ASI dengan cukup baik , agar bayi laki-laki itu bisa tumbuh sehat dengan bobot tubuh ideal.
"Katakan pada Yasmin dan Naima , aku akan berkunjung akhir pekan , dan mengganti balon hijaunya!" Seru Patan lagi saat menyodorkan kertas resep itu di hadapan Faiz dan Faiz hanya mengangguk samar.
"Aku tidak perlu menjelaskan banyak hal, karena ini bukan kali pertama kalian memiliki anak bayi. Kemungkinan habis ini bayi kalian akan demam dan kalian bisa memberikan obat penurun demam yang sudah aku resepkan diikuti kompres air hangat pada bagian paha yang sebelumnya aku suntik, namun jika King Faaz tidak demam, kalian tidak perlu memberikan obat itu karena itu artinya antibodinya cukup kuat." Jelas Patan lagi dan lagi-lagi Faiz dan Lily hanya mengangguk paham.
Tangis King Faaz masih saja tidak bisa tenang, bahkan suaranya semakin nyaring. Air muka Lily susah terlihat berkeringat dan Faiz mencoba mengambil alih bayi laki-laki itu dari gendongan Lily. Bukannya tenang, bayi itu malah semakin menjerit hebat karena tangan Faiz sempat menyentuh paha King Faaz yang sebelumnya di suntik.
"Diam lah Mas. Biar aku saja!" Ucap Lily kembali mengambil alih bayi laki-laki itu dari Faiz dengan eskpresi datar cenderung dingin.
"Itulah alasan kenapa harus Mama yang membawa sang bayi untuk melakukan imunisasi seperti ini, karena jika dia menangis seperti ini, biasanya Mama paling mudah menenangkan tangis anaknya!" Sarkas Patan yang kali ini ikut bangkit karena kasihan melihat bayi itu yang semakin histeris, mengambil alih King Faaz dari gendongan Lily untuk dia letakkan di lengan sebelah kirinya.
Ya, Patan hanya membalik tubuh kecil King Faaz di lengan kirinya seolah-olah dia sedang menenteng sebuah cucian lalu menepuk-nepuk b****g bayi itu sembari bergerak ke kiri dan kanan dengan gerakan menimang dan seketika bayi itu langsung diam dan perlahan terlelap di lengan Patan.
"Jadi anak laki-laki itu tidak boleh cengeng. Ingat kaum laki-laki, begitu lepas dari penjagaan Mamanya, maka dia harus menjadi penjaga Mamanya dan saudara perempuannya. Anak laki-laki itu harus kuat, dan bertanggung jawab, jadi kau juga harus menjadi seperti itu nanti!" Ucap Patan masih sambil menepuk b****g bayi di lengannya dengan sesekali mengelus punggung kecilnya, sebelum akhirnya menyerahkan nya lagi pada Lily dan menit berikutnya Lily juga Faiz pamit untuk kembali karena Patan juga masih punya pasien yang lain yang juga masih mengantri.
Seperti arahan Patan, Faiz menebus dua resep obat. Satu untuk putranya, dan satu lagi untuk Yasmin. Entah untuk apa Faiz juga ikut menebus resep untuk Yasmin karena sejatinya mereka tidak membutuhkan itu, namun untuk menutup segala kecurangan, Faiz memang harus melakukan itu.
" Kenapa Mas tidak jujur pada Patan jika Yasmin kabur dan saat ini putraku tidak bisa mendapatkan ASI langsung dari Yasmin!" Tanya Lily cukup lirih saat mereka masuk ke dalam mobil dan mobil itu melaju meninggalkan kawasan rumah sakit dengan seorang sopir yang mengemudikannya.
"Aku hanya tidak ingin ada orang lain yang tau masalah dalam keluarga kita, karena ini sama saja dengan aib!" Jawab Faiz terdengar enteng.
"Patan adalah sepupumu, Mas. Dia bukan orang lain seperti apa yang Mas ucapkan tadi. Dan jika tadi Mas jujur dengan hilangnya Yasmin dan kita kesulitan menyediakan ASI untuk King, mungkin saja dia juga akan memberi kita solusi tepat agar putraku bisa tubuh dan sehat. Tidak kekurangan asupan gizi seperti yang Patan katakan tadi!" Balas Lily tapi Faiz tetap terlihat tenang.
"Jadi katakan? Bagaimana perkembangan laporan Naima? Apa polisi juga belum mendapatkan kabar keberadaan Yasmin dan Naima?" Sarkas Lily dan Faiz kembali menghela nafas. Tidak menjawab pertanyaan Lily, dan Lily langsung tau jawabannya.
"CK. Di mana kau Yasmin. Kau benar-benar mengecewakan ku!" Sesal Lily sembari memejamkan mata dengan perasaan lelah.
Benar saja, selang beberapa jam setelah mereka, Faiz dan Lily sampai di rumah, King Faaz benar-benar demam dan semakin rewel. Wanita yang Faiz bayar untuk menyusui putranya juga tetap tidak bisa membuat bayinya puas karena selain menyusui putra Faiz, wanita itu juga harus menyusui bayinya dan secara otomatis ASI-nya akan terbagi dua, jadi seharian itu mereka kembali di sibukkan untuk menenangkan sang bayi.
Malamnya.
Malam itu King Faaz lebih cepat mendapatkan lelapnya, mungkin karena seharian menangis membuat anak laki-laki itu tidur dengan cepat dan Lily juga baru bisa mengistirahatkan tubuhnya setelah merasa jika bayi itu sudah cukup tenang di dalam bok-nya.
Lily merebahkan tubuhnya di atas ranjang dan menarik selimut. Faiz juga ikut menyusul masuk ke dalam selimut, kemudian menarik pinggang dan punggung Lily untuk dia dekap, namun jauh di luar prediksi Faiz , Lily justru menghindar darinya.
"Jangan menyentuhku dulu Mas. Aku sedang sangat lelah. Aku ingin istirahat." Tolak Lily saat berbaik menghindari Faiz karena tubuh dan pikiran Lily benar-benar sangat kacau saat ini. Di satu dia terus memikirkan Yasmin, di sini lain dia juga masih memikirkan King Faaz, bagaimana jika dia harus kembali bekerja nanti, siapa yang akan mengurus bayi laki-laki ini jika Yasmin tidak kunjung kembali, dan di sisi lainnya lagi , Lily juga menaruh kecewa pada Yasmin yang telah menempatkan putranya seperti ini.
Rasa rindu, rasa ingin di sentuh, rasa ingin bermanja sudah pasti Lily rasakan, hanya saja untuk saat ini semua rasa itu seolah menghilang. Hanya rasa lelah dan penat yang dia rasakan bahkan untuk sekedar bercinta pun dia benar-benar kehilangan gairah.
"Tapi aku merindukanmu, sayang!" Lirih Faiz tapi Lily hanya menghela nafas dalam diam, tetap tenang, namun tidak merespon kata rindu suaminya, melanjutkan tidurnya.
***
Malam semakin larut, rintik hujan mulai turun menemani pekatnya dini hari itu. Yasmin kembali terjaga dan mendirikan sholat di antara gelapnya malam. Kembali mengadu pada sang Robby akan lara yang tengah mendera hatinya.
Tangis itu tidak kunjung pecah, tapi air matanya seolah tak ingin berhenti mengalir, hingga tanpa sadar suara isakan itu lolos dari bibirnya dan terdengar sampai ke indra pendengaran Ambu yang kebetulan terjaga dan keluar untuk mengambil air minum.
Ambu Fatimah membuka pintu kamar itu dan melihat jika Yasmin sedang bersudut di atas sajadah dengan isak tangis yang tertahan di tenggorokannya.
Suaranya terdengar serak, nafasnya tersengal-sengal hingga suara itu terdengar sayup-sayup, namun Ambu Fatimah juga tau apa yang membuat Yasmin terisak seperti itu. Ambu pilih duduk di ujung ranjang sebelah karpet di mana Yasmin duduk dalam doanya.
"Yasmin, anak Ambu. Sujud mu jangan terlalu larut Nak, doamu jangan terlalu menggebu-gebu. Tangismu jangan terlalu deras hingga air matamu ikut membasahi sajadahmu. Kasihanilah dia Nak. Ingat Nak, air mata itu selalu menemukan karmanya, dan karma itu benar-benar ada. Jangan sampai karena doamu, dia justru menerima karma terlalu berat dalam hidupnya!" Tegur Ambu Fatimah saat mendengar isakan pilu Yasmin di atas sajadahnya.
Yasmin bangkit dari sujudnya, duduk menopang kepalanya di atas pangkuan Ambu Fatimah.
"Yasmin sedang tidak menuntut karma untuknya Ambu. Yasmin hanya sedang merayu pada sang penguasa agar mempersatukan seorang anak perempuan dengan Papanya, tidak lebih!" Jawab Yasmin serak, tapi Ambu yang kembali menghela nafas.
"Ketahuilah Nak. Dia menjauhkan mu dari teman-temanmu yang tidak cukup baik. Dia menghajar mentalmu habis-habisan agar kau menjadi wanita yang tangguh. Dia menambahkan masalah-masalah dalam hidupmu, dia menguji kesabaranmu dengan cara yang sangat hebat. Dia menghancurkan segala rencanamu juga membuatmu tersungkur agar kau selalu mengingat namanya. Dia membuatmu menangis tersedu-sedu agar kau lebih dekat padanya karena dia tahu kau orang yang kuat , karena dia yakin kau bisa menanggung segala ujiannya, namun kau juga harus percaya jika dia juga pasti akan mewujudkan mimpi-mimpimu. Dia pasti akan mencukupi segala kebutuhanmu, menyembuhkan mu dari segala luka lara di hatimu. Dia pasti akan membahagiakanmu dengan begitu sempurna atas segala ketulusan yang kau miliki, hanya saja waktunya belum tiba. Masa itu akan datang di saat yang tepat , maka saat itu kau akan menyambutnya dengan tersenyum?" Ucap Ambu sembari membelai kepala hingga punggung Yasmin dan Yasmin hanya mengangguk di pangkuan Ambu Fatimah.
"Tapi rasanya Yasmin sudah tidak lagi kuat, Ambu. Yasmin lelah. Yasmin sudah kalah, Yasmin,,,!"
"Hust." Ambu memberi isyarat untuk diam. "Jangan berkata seperti itu Nak. Terkadang yang kuasa mempertemukan kita dengan orang yang salah terlebih dahulu sebelum akhirnya mempertemukan kita dengan orang yang tepat. Kau hanya perlu lebih banyak bersabar, Nak. Jangan mengeluh, karena inilah takdir yang telah dia gariskan untukmu!" Ucap Ambu lagi. Ambu meminta Yasmin untuk tidak mengeluh dan menangis, tapi justru pipi Ambu yang kini basah karena air asin itu.
"Jika dengan orang yang salah saja kamu mampu mencintai dengan begitu indahnya, lantas bagaimana nanti jika kamu bertemu dan mencintai orang yang tepat, Nak!" Lirih Ambu tapi hanya dalam hati sembari mengusap pipinya yang basah.