"Dia laki-laki yang baik dengan tutur kata yang sopan dan ramah. Senyumnya hangat , dan bersahaja, dia laki-laki yang dengannya kau akan merasa menjadi ratu dan wanita paling sempurna, dia tidak hanya baik, tapi dia juga penuh cinta dan nilai plusnya dia tipe laki-laki siaga juga setia pada satu cinta yaitu istrinya, tapi sayang bukan aku wanita yang beruntung bisa mendapat segala perhatian dan cintanya meski aku juga bergelar istri laki-laki itu, Faiz Al-Ghazali." Monolog Yasmin dalam lamunannya, saat Yasmin akhirnya mendapatkan kesadarannya. Ruangan itu tampak sepi namun bantal di sampingnya menunjukan jika seseorang semalam menemaninya di sini. Meraba perutnya yang bahkan sudah tidak besar lagi meski tidak juga bisa di katakan datar dan Yasmin yakin dia sudah melahirkan putranya, hanya saja dia tidak tau apakah putranya selamat atau tidak, karena semalam Yasmin benar-benar tidak sadar saat rasa sakit itu mendera begitu saja.
Ikhlas itu tidak langsung ada begitu saja, ada fase tersiksa, terpaksa, lalu terbiasa, dan itulah yang Yasmin rasakan pada sosok Faiz, terbiasa dengan luka dan kecewa yang laki-laki itu berikan untuknya. Yasmin menghela napas dalam diam, meraih satu air mineral cap yang tersedia lengkap dengan sedotannya di atas meja brangkar samping tempat tidurnya, dan menit berikutnya pintu ruangan itu terbuka dari arah luar, dan Faiz tampak di baliknya. Ada senyum yang turut terbit dari bingkai wajah teduh Yasmin, meski itu nyaris tidak terlihat, karena dia pikir Faiz yang menemani dia semalam.
"Seperti yang kita bicarakan beberapa hari yang lalu, aku ingin menyelesaikan ini secepat mungkin." Ucap Faiz saat baru masuk dan duduk di kursi sebelah ranjang besi yang Yasmin tiduri. Yasmin masih baru mendapatkan kesadarannya, setelah melewati persalinan lewat jalur Cesar semalam. Yasmin melahirkan seorang bayi laki-laki setelah dua tahun lalu melahirkan seorang anak perempuan yang sangat cantik dan menjadi cucu kesayangan kakek dan neneknya, juga kesayangan Mami dan Mamanya, tapi lihatlah Faiz sudah langsung menuntut Yasmin dengan hal yang bahkan bisa di tunda sesaat.
"Aku akan segera mengurus surat perceraian kita, sebelum Lily kembali dari tugasnya dan kau bisa mengambil alih apa yang sudah aku janjikan padamu , sebagai tunjangan ku atas tanggung jawabku setelah kita bercerai. Kau bisa memulai usahamu, dan kau boleh membawa Naima bersamamu, tapi aku akan mengambil hak asuh atas putraku, dan akan aku besarkan sendiri!" Sambung Faiz mengulang percakapan mereka beberapa hari yang lalu, saat dia mengatakan akan menceraikan Yasmin, setelah Yasmin melahirkan putra mereka. Faiz menjanjikan sejumlah uang dan tempat tinggal untuk Yasmin yang sangat jauh dari tempat tinggal dia karena bagaimanapun Faiz tidak lagi mau untuk melihat wanita yang nyaris empat tahun ini menjadi benalu di rumah tangganya bersama Lily. Lebih tepatnya lagi menjadi istri kedua Faiz yang sah secara agama, juga hukum.
"Tidak bisakah aku tetap bersama bayiku. Dia akan membutuhkan ASI dariku, dan aku tidak ingin dia melewatkannya!" Jawab Yasmin dalam ketidak berdayaan nya, menghela nafas kemudian menghembuskannya dengan sangat pelan. Tak ada air mata yang ikut merembes dari tatapan mata rapuhnya, meskipun dia sedang dalam keadaan sangat hancur dan terluka dalam.
"Tidak. Aku tidak ingin Lily menemui mu saat dia kembali nanti. Cukup. Cukup tekanan batin yang aku hadapi hampir empat tahun ini, sungguh aku tidak ingin lebih lama lagi menyiksa hatiku sendiri dengan pernikahan ini. Dan untuk putraku, aku bisa memberikan yang terbaik untuknya nanti. Kau tidak perlu khawatir. Dia adalah putraku, putraku dan Lily!" Tolak Faiz dengan sangat tegas.
"Tapi dia juga putraku. Dan dia tidak akan mendapatkan ASI terbaik kecuali dariku, Mas!" Balas Yasmin terdengar rapuh. "Aku setuju untuk bercerai, tapi bisakah aku merawat putraku untuk enam atau delapan bulan ke depan, paling tidak selama dia butuh ASI eksklusif, dan setelahnya aku benar-benar akan pergi dari kehidupan kalian, dan aku berjanji akan menyerahkan dia pada kalian, sebagai putra kalian!" Balas Yasmin dan kali ini Yasmin berucap dengan sedikit mengiba, berharap Faiz akan mempertimbangkan permintaannya, karena ini murni demi putra mereka.
Faiz tidak menjawab, dia langsung bangkit dari duduknya dengan gawai di tangannya. Ada dering panggilan di ponsel itu dan Faiz berlalu meninggalkan Yasmin dengan ekspresi dingin dan acuh. Yasmin mencoba menghela nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan sangat pelan. Kembali melakukan hal yang sama berharap rasa sesak di dadanya bisa sedikit berkurang karena lagi-lagi Faiz mengabaikannya seperti ini, tanpa menjawab iya ataupun tidak dan itu benar-benar sangat menyakitkan untuk sekedar di terima hati dan logika.
Air mata itu tiba-tiba meluncur tanpa bisa Yasmin cegah lagi. Sekuat hati Yasmin berusaha menahannya, agar tidak terlihat rapuh, tapi nyatanya sisi wanitanya tetap lebih mendominasi, dan ibu mana yang akan sanggup di pisahkan dengan putranya, putra yang bahkan baru semalam dia lahir kan dan belum sempat dia lihat bagaimana wajah dan rupanya.
Yasmin adalah istri kedua dari seorang Faiz Al-Ghazali. Bukan Faiz yang menginginkan pernikahan ini, bukan Faiz yang ingin menjalani rumah tangga dengan dua istri. Bukan. Faiz adalah laki-laki tampan dan mapan. Bahkan lebih dari sekedar mapan. Empat tahun ini semua bisnis Faiz mengalami kemajuan dan kenaikan lima ratus persen. Terhitung sejak Faiz menikahi Yasmin empat tahun lalu, semua bisnis dan usaha Faiz seperti ketiban durian runtuh, terlebih lagi saat Naima Putri lahir dua tahun lalu, bisnis dan usaha Faiz semakin melonjak naik. Namun hal itu justru semakin membuat Yasmin dan Naima jauh dari seorang Faiz Al-Ghazali, ayah biologis juga suami Yasmin.
Selain karena Faiz yang semakin sibuk dengan jadwal pertemuan bisnis, kunjungan kerja , memantau beberapa proyeknya secara langsung yang bahkan berada di luar kota dan itu membuat Faiz lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah. Namun bukan itu masalah dan dilema yang dihadapi oleh Yasmin. Bukan.
Dari awal pernikahan mereka, Yasmin sudah tahu dan sadar diri jika hati dan cinta Faiz memang bukan untuknya, Yasmin tau jika semua itu hanya akan menjadi milik Lily, istri pertama Faiz . Wanita yang sangat Faiz cintai, bahkan Faiz mencintai Lily melebihi rasa cintanya pada dirinya sendiri. Faiz pernah mengatakan hal ini, 'bahkan untuk sekedar bernafas saja, Faiz akan meminta izin pada Lily, dan jika Lily tidak menghendaki hal itu, maka Faiz bersedia untuk tidak bernafas lagi.' Ya begitulah cara seorang Faiz Al-Ghazali mencintai Lily Putri Anastasia, dan Yasmin juga tau jika Lily juga sangat mencintai Faiz. Jadi di sini Yasmin lah yang menjadi duri dari rumah tangga mereka. Oh, pantaskah Yasmin di cap sebagai duri dari hubungan mereka, Faiz dan Lily? Sepertinya tidak juga. Bagaimanapun Yasmin juga tidak pernah merebut Faiz dari Lily, Yasmin tidak pernah menghancurkan rumah tangga Faiz dan Lily. Tidak. Yasmin hanya terperangkap dalam hubungan tanpa rasa yang Faiz bilang hanya pernikahan konyol, karena Faiz memang tidak pernah menghendaki pernikahannya dengan Yasmin.
Lily yang melamar Yasmin untuk Faiz. Lily berasal dari keluarga yang terhormat dan karena didikan kedua orang tuanya Lily tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik juga berbudi baik, tak heran jika seorang Faiz Al-Ghazali sampai tergila-gila pada wanita berparas cantik itu, namun karena satu alasan, Lily memutuskan untuk tidak memiliki anak, meski begitu Lily juga mengerti bahwasannya Faiz suaminya juga keluarga suaminya sangat mendambakan anak sebagai penerus dan keturunan dari Faiz. Maka dari itu Lily menyarankan pada Faiz untuk menikah lagi dan Lily tidak bisa mempercayakan wanita manapun untuk menikah dengan suaminya kecuali Yasmin, sahabat terbaiknya. Dan atas permintaan Lily lah akhirnya Faiz terpaksa menikahi Yasmin, dengan perjanjian Yasmin akan melahirkan putra untuk Faiz dan setelah itu mereka akan bercerai. Bercerai setelah Yasmin memberikan Faiz anak laki-laki, dan tentu perjanjian itu hanya terjadi antara Faiz dan Yasmin saja. Tanpa di ketahui oleh Lily sebagai istri pertama Faiz, juga keluarga Faiz sendiri.
Faiz menggeser layar ponselnya sesegera mungkin karena itu adalah panggilan dari Lily, istri yang sangat dia cintai, dan bisa di bilang separuh dari jiwanya.
"Ya, sayang." Sapa Faiz ramah saat menerima panggilan dari Lily. Laki-laki akan menjadi sosok yang berbeda saat berhadapan dengan wanita yang bertahta indah dalam hatinya, tidak terkecuali dengan Faiz sendiri. Meskipun dia lebih sering terlihat dingin dan acuh di hadapan orang lain, tapi sikap itu akan berbanding terbalik jika Faiz berhadapan dengan Lily.
"Sayang. Bagaimana kondisi Yasmin dan putranya?" Tanya Lily di seberang telpon dengan nada yang terdengar khawatir. Lily kesulitan menghubungi nomer ponsel Yasmin dari semalam setelah drama Ambu yang kesulitan untuk menghubungi Faiz guna menandatangani surat persetujuan operasi, sementara Patan sama sekali tidak mau menerima panggilan darinya.
Lily tau jika Faiz sangat memimpikan seorang anak laki-laki dan dari lima bulan lalu mereka sudah mengetahui jika Yasmin mengandung janin berjenis kelamin laki-laki.
"Mereka baik-baik saja. Dia lahir dengan bobot 3,2 ons . Gemuk, sehat dan sempurna." Jawab Faiz bahagian dan Lily tersenyum lega di seberang telpon. Ada senyum yang tidak bisa surut dari kedua sudut bibir Faiz meski hanya mendengar suara lembut wanita itu.
"Wah. Selamat ya sayang. Selamat atas kelahiran putra kalian. Akhirnya apa yang Mas inginkan bisa Mas dapatkan. Aku turut bahagia untuk kelahiran putra Mas!" Imbuh Lily dengan perasan tulus.
"Putra kita, sayang. Putra kita!" Kutip Faiz meluruskan ucapan Lily yang hanya menggunakan putra mas, seolah-olah bayi laki-laki itu hanya lah anak Faiz seorang.
"Ya. Dia juga putraku sekarang. Putra kita bertiga." Ralat Lily tanpa ingin menghilangkan sosok Yasmin di antara mereka, karena bagaimanapun Yasmin adalah ibu kandung dari kedua anak Faiz, jadi bagaimanapun Yasmin adalah sumber dari kebahagiaan yang tengah di dapatkan keluarga Al-Ghazali. "Lalu di mana putraku sekarang? Bisakah aku melihatnya. Apa dia mirip sama Mas atau malah mirip dengan Yasmin, Mamanya?" Sambung Lily setelahnya dan Faiz langsung mengalihkan panggilan itu ke mode video agar Lily bisa melihat langsung putranya, dan Lily langsung menerima pengalihan mode panggilan itu , lalu menatap layar ponselnya, saat Faiz mengarahkan kamera ponselnya ke arah bok incubator di mana bayi itu berada, karena semalam bayi itu sempat kehabisan oksigen.
"Tentu saja dia akan mirip dengan ku, sayang. Anak laki-laki memang selalu mirip dengan Papanya!" Jawab Faiz dan Lily semakin terlihat sumringah saat melihat pipi gembul bayi yang masih terlihat merah dengan bedong biru yang menutup tubuhnya. Semua perlengkapan bayi untuk putra Faiz itu, Lily sendiri yang memesan dan menyiapkannya. Bahkan kemarin saat Faiz mengatakan sudah merenovasi satu kamar untuk putranya, Lily juga yang merekomendasikan warna dan pernak pernik untuk kamar bayi yang kala itu masih belum lahir.
"Oh,,, dia tampan sekali Mas. Dia benar-benar mirip sama Mas. Aku tidak sabar untuk segera pulang dan menggendongnya." Seru Lily sembari mendaratkan beberapa kecupan di layar ponselnya untuk putra Faiz dan Yasmin.
"Aku yakin dia akan betah di gendongan mu sayang. Karena kau adalah Mamanya yang sesungguhnya!" Ucap Faiz lagi.
"Aku harap juga begitu, Mas. Agar aku bisa meringankan sedikit beban Yasmin. Bagaimanapun Yasmin pasti sangat lelah, sembilan bulan ini mengandungnya. Jadi sedikit tidak Yasmin akan punya banyak waktu untuk istirahat nantinya!" Balas Lily tapi Faiz hanya terlihat menghela nafas dalam diam.
"Jadi kapan kau akan pulang? Bukankah kemarin kau mengatakan sudah akan kembali ke Indonesia?" Tanya Faiz setelahnya, membalik layar kameranya agar Lily bisa melihat wajah tampannya.
"Mungkin Minggu ini aku sudah berada di Indonesia. Kali ini aku dapat cuti hanya dua bulan Mas, dan setelahnya aku ada penerbangan ke Ukraina dan Francis." Jawab Lily sambil menghela nafas dengan sangat kasar. Karier pramugari Lily sedang sangat-sangat baik, dan itulah alasan kenapa Lily memutuskan untuk tidak memiliki anak dulu, meski begitu Faiz sudah bersedia untuk tidak punya anak, hanya agar dia bisa hidup dan menikah dengan Lily, wanita yang sudah dia cintai dari sejak mereka duduk di bangku SMA hingga sekarang, rasa cinta itu bertambah besar dan semakin kuat. Pikir Faiz, menikah itu adalah keputusan untuk hidup bersama dengan orang yang kita kasihi dan cintai, sebagai ibadah sementara harta bisa mereka cari bersama, sedangkan setia adalah tujuannya. Ada atau tidaknya anak di antara mereka tidak akan jadi masalah, selama hati mereka tetap saling terpaut satu sama lain. Tapi tentu tidak untuk keluarga Faiz, terutama ibu dan ayah Faiz. Mereka tetap menginginkan cucu dari Faiz sebagai penerus keluarga mereka, maka saat Lily mengatakan ingin melamar Yasmin untuk menjadi istri kedua Faiz, kedua orang tua Faiz langsung setuju karena mereka juga sudah sama-sama mengenal Yasmin dan keluarganya.
"Baiklah. Tetap hubungi aku jika kau tidak cukup sibuk. Karena aku akan selalu merindukanmu, setiap waktu!" Jawab Faiz setelahnya.
"Mas suka berlebihan. Bukankah ada Yasmin yang selalu menemani Mas. Lagi pula aku yakin Yasmin tau bagaimana cara membuat Mas senang. Ingat aku dan Yasmin adalah dua orang yang punya prinsip dan pikiran yang sama. Kami sama-sama mencintai Mas, dan Mas harusnya bersyukur karena selain memiliki aku, Mas juga memiliki Yasmin." Balas. Lily lagi dan dengan sangat terpaksa Faiz menarik kedua sudut bibirnya untuk membentuk sebuah senyuman karena bagaimanapun Faiz tidak mau jika Lily tau apa yang saat ini sedang dia dan Yasmin rencanakan.
Lily dan Yasmin memang dua orang berbeda, tapi keduanya memang benar-benar memiliki prinsip dan kepribadian yang sama. Mereka sama-sama cantik, dan berpendidikan baik, hanya saja takdir dan keberuntungan mereka yang berbeda. Jika Lily terlahir dari keluarga kaya dan mapan, Yasmin tidak seberuntung itu, Yasmin hanya putri dari keluarga sederhana. Jika Lily bisa mendapatkan cinta yang begitu besar dari seorang Faiz Al-Ghazali berbanding terbalik dengan Yasmin yang meski hanya setitik pun sampai saat ini Faiz tak pernah sudi untuk membagi cintanya pada Yasmin. Yang membuat Yasmin lebih dari Lily hanyalah, Yasmin bersedia melahirkan anak untuk Faiz. Meski itu harus melalui perantara medis. Tidak lebih.
Di lain tempat.
Yasmin masih terus menghapus benih air mata di kedua sudut matanya saat tiba-tiba pintu ruang rawat inap itu terbuka, tampak kedua mertuanya datang berkunjung dengan Naima di gendongan sang nenek, dan baby sitter putrinya yang menenteng beberapa paper bag juga tas pakaian untuk Naima. Buru-buru Yasmin menyelesaikan sisa air mata di pipinya, lalu menarik nafas sedalam mungkin untuk menormalkan degup jantungnya yang terasa semakin bergemuruh agar tidak terlihat bersedih di harapkan kedua mertuanya.
"Yasmin. Bagaimana keadaanmu sayang. Apa semua baik-baik saja?" Tanya Lia Dharma, ibu Faiz, ibu mertua Yasmin saat berjalan mendekati ranjang di mana Yasmin berbaring.
"Ya. Yasmin baik-baik saja, Ma. Tapi Yasmin belum bisa melihat cucu laki-laki Mama." Jawab Yasmin dengan senyum yang dia buat semanis mungkin.
"Di mana Faiz?" Tanya pak Aga, ayah mertuanya.
"Mas Faiz baru saja keluar, sepertinya dia sedang berada di ruang khusus bayi. Tapi tadi Yasmin memintanya untuk membawa bayi kami kemari!" Jawab Yasmin sedikit berdusta. Dia tidak tau kemana Faiz, suaminya pergi, tapi Yasmin hanya menebak jika Faiz pasti sedang menunggu putranya.
"Oh." Hanya kata oh yang Lia ucapkan lalu menurunkan Naima di gendongannya, karena bocah perempuan itu langsung merengek saat melihat ibunya.
"Lalu di mana Ambu kamu?" Tanya Lia setelahnya.
"Ambu, Yasmin suruh pulang untuk membuat bubur dan katanya Ambu juga akan membuat sayur bening agar ASI Yasmin banyak!" Alasan yang Yasmin berikan meskipun dia juga belum melihat Ambu Fatimah dari tadi. Selain baby sitter, Faiz juga menggunakan dua jasa asisten rumah tangga untuk membantu Yasmin mengurus rumah dan putrinya, termasuk Ambu Fatimah, saudari dari mendiang ayah Yasmin. Yasmin menerima tubuh mungil putrinya yang langsung bermanja, mencium pipi Yasmin dan mengusap pipi hangat sang ibu.
"Oh baiklah. Mama juga ingin melihat cucu Mama. Apa kau tidak apa-apa jika Mama tinggal sebentar? Mama tidak akan lama." Imbuh Lia lagi dan Yasmin kembali hanya memamerkan senyum terbaiknya saat ibu dan ayah mertuanya keluar dari ruangan itu, ingin segera melihat cucu kedua mereka.
Lagi-lagi Yasmin hanya bisa menarik nafas saat melihat punggung kedua mertuanya berlalu dari ruangan itu , dan kini hanya ada Yasmin dan putrinya juga baby sitter putrinya di ruangan tersebut. Entah untuk apa lagi air asin itu merembes seperti pencuri yang tidak punya sopan santun saat lagi dan lagi air itu harus menyusuri sela tulang hidung Yasmin sebagai isyarat jika hatinya sedang tidak baik-baik saja.
"Apa Nyonya ingin makan buah? Aku akan mengupasnya untuk Nyonya!" Tanya baby sitter itu dan Yasmin hanya menggeleng karena saat ini dia benar-benar sedang tidak berselera untuk sekedar makan. Ucapan Faiz tadi benar-benar memenuhi otak dan pikiran Yasmin. Ini jauh dari perkiraan Yasmin sebelumnya. Yasmin memang sudah setuju untuk bercerai, tapi pikir Yasmin kemarin, Faiz tidak mungkin akan melakukan ini secepat ini, memisahkan dia dan bayinya. Setidaknya Faiz bisa menunggu beberapa bulan dulu agar bayinya bisa mendapatkan ASI eksklusif. Bukan seperti ini.
"Tuhan. Begini kah cara mu mengabulkan doa ku. Kau membiarkan aku berjodoh dengan laki-laki yang sangat aku cinta meski harus menjadi istri kedua. Aku ikhlas Tuhan. Sungguh aku ikhlas, tapi kenapa kali ini kau seolah ingin menghukum ku atas serakah ku karena terlalu mencintainya! Rasanya ini tidak adil Tuhan. Dia baru lahir dan sekarang aku juga harus merelakan dia untuk terpisah dariku? Tidak. Aku tidak sanggup Tuhan. Putusnya jodoh aku dan dia mungkin masih bisa aku tanggung, tapi tidak untuk yang satu ini. Aku tau semua yang terjadi atas kehendak mu, kau yang maha membolak-balikkan hati dan pikiran seseorang. Serakah kah aku jika kali ini aku kembali memohon untuk keadilan putraku." Batin Yasmin sembari memejamkan matanya dan meremas dadanya yang ikut nyeri, saat Naima di ambil alih oleh pengasuhnya.