PDS 6

1068 Words
Happy Reading! Jangan lupa voted dan komen, ya. . . New York, Pukul 07.00 PM Fahri baru saja pulang dari mengajar. Dia mengempaskan tubuh di atas sofa sambil memijat pelipis mata. Melihat suaminya pulang, Luvina berjalan lalu mencium punggung tangan suaminya. "Akan aku buatkan kopi, Mas," ujar Luvina. "Nggak perlu." "Aku sudah menyiapkan air hangat dan handuk bersih untuk Mas mandi." "Hm," jawab Fahri singkat. "Mas ... Mas?" "Apaan, sih?" Fahri kesal lalu beranjak dari pembaringannya. "Jangan cerewet, deh," ujar Fahri lalu berjalan meninggalkan Luvina yang sedang duduk di atas sofa. Luvina melihat punggung sang suami yang sedang menaiki tangga. Mengangkat sebelah alisnya, karena heran melihat sikap kasar Fahri. Sedangkan selama ini, Fahri benar-benar memperlakukannya dengan manis dan lembut. Luvina menyusul langkah kaki sang suami, lalu masuk ke dalam kamar. Ia melihat suaminya berbaring di atas sofa tanpa membuka sepatunya. Selama menikah Fahri hanya tidur bersamanya sewaktu di hotel, setelah itu Fahri tak pernah lagi tidur di atas ranjang. Selalu tidur di atas sofa. Luvina berlutut di bawah sofa dan membuka sepatu juga kaos kaki sang suami, tanpa disadari ia menitikkan air mata. "Jangan sentuh aku," ujar Fahri, mengempaskan tangan Luvina yang hendak membuka sepatu dan kaos kakinya. "Ada apa denganmu, Mas? Kenapa berubah begini?" tanya Luvina memberanikan diri. Fahri bangun dan beranjak dari duduknya, lalu berjalan menuju kamar mandi. Luvina menghela napas panjang, karena sikap suaminya yang tak bisa dia tebak. Suara ponsel membuatnya tersadar dari lamunan. Luvina beranjak, dan meraih ponselnya di atas nakas. Ia tersenyum simpul lalu mengangkat teleponnya. "Hallo, Git." "Wah ... Lo apaan sih, Vin, gue kangen, tahu! Lo nggak pernah nelepon gue." "Sorry, Bebz. lo kan tahu gue di luar negeri jadi gue abisin waktu aja buat beradaptasi di sini." "What? Lo abisin waktu buat beradaptasi doang? Lo nggak ngabisin waktu sama Pak Fahri?" kekeh Gita. "Apaan sih lo, jangan mulai ngegoda deh." "Ya udah, gimana kabar lo?" "Gue baik, lo gimana? Sekarang gimana kerjaan lo?" "Gue baik dan kerjaan gue juga baik. Vin, lo nggak kerja di situ?" "Kerja apa gue, Git? Gue nggak ada kerjaan di sini." "Lo kan S2, Vin, masa nggak ada kerjaan, apalagi lo lulusan terbaik." "Lo kan juga tahu, jika sudah menikah, pekerjaan itu bukan hal yang utama sekarang." "Iya, sih." "Terus hubungan lo sama Bowo gimana?" "Gue sama berandalan itu baik, lo gimana? Pernikahan lo gimana? Pak Fahri baik kan, sama lo? Dia pasti romantis, kan?" tanya Gita. Luvina menghela napas, ia tak tahu harus mengatakan apa kepada Gita tentang pernikahannya sekarang. Jika ia menceritakan tentang perubahan sikap Fahri, kesannya akan terdengar Fahri jahat, jadi ia tak akan menceritakannya. "Vin? Lo denger, kan? Lo kok diam?" "Hm. Oh ... Pernikahan gue baik, gue juga bahagia." "Wah, gue jadi iri sama lo? Kesannya gue kepengin nikah cepet sama Bowo, tapi gue juga masih kepengin ngejar karir aja." "Baiklah, Git, gue bakal telepon lo lagi nanti. Gue ada kerjaan soalnya, Mas Fahri sudah di rumah," jawab Luvina mencoba menghindari pertanyaan sahabatnya. "Baiklah. Lo harus sering ngebungin gue ya, Assalamualaikum." "Waalaikumsalam," jawab Luvina lalu menaruh ponselnya di atas nakas. Luvina menghela napas panjang, menunduk dan menitikkan air mata. Fahri mendengar semua obrolan itu dan melihat istrinya menangis. Dia berjalan meninggalkan kamar. Luvina berbalik dan melihat suaminya sudah keluar dari kamar. Benar-benar bingung pada kenapa perubahan sikap Fahri, yang membuatnya stress dan sempat frustasi? . Sesekali Luvina memutar otak, mengingat apakah ada sesuatu yang ia katakan sampai membuat Fahri tersinggung. Setelah ia menelusuri pikiran dan ingatannya, tak ada satu pun yang ia katakan dan lakukan sampai membuat suaminya tersinggung. Terus apa? Luvina masih mengingat jelas, bagaimana Fahri memperlakukannya sewaktu masih di Jakarta. Begitu sampai di New York, semua pun berubah drastis. Luvina membaringkan tubuh dan menatap langit-langit kamar. Suara ponsel Fahri membuatnya tersadar dan bangun menghampiri sofa, nama Mutiara yang kini sedang menelepon Fahri. Luvina yang penasaran, menjawab teleponnya. "Hallo, Sayang, kenapa tak mengangkat teleponmu, sih? Kamu datang atau tidak? Aku menunggumu loh sejak tadi, jangan lupa membeli buah, ya, sebelum kemari." Terdengar suara seorang wanita. "Sayang? Hallo, Sayang. Kamu denger aku, kan? Kenapa tak bersuara, sih. Kamu dengar aku atau tidak? Aku menunggumu, sampai makanan sudah dingin seperti ini." "Aku tak akan makan sampai kamu datang." "Katanya kamu capek, kemarilah ... jika kamu membutuhkan pijatanku," ujar sosok di seberang, yang tak mengetahui jika yang sedang mendengarnya bicara adalah Luvina. "Kenapa mengangkat teleponku?" tanya Fahri dengan tatapan mengintimidasi. Luvina membulatkan matanya karena terkejut. "Mas, ini siapa?" tanya Luvina. "Berikan ponselku." Luvina memberikan ponsel yang di genggamnya. Ia tak dapat menahan air mata yang sejak tadi coba ditahan, ketika mendengar suara kemesraan dari seorang wanita di seberang telepon. "Hallo, Mutiara?" "Kamu tak mendengarku? Sejak tadi aku berbicara, loh." "Aku akan datang, tunggu aku," ujar Fahri, tak memedulikan bagaimana perasaan istrinya yang kini sedang terisak. Ketika hendak berbalik, Luvina menggenggam suaminya. "Siapa dia, Mas?" "Dia teman kerjaku, ada apa?" "Teman kerja? Dia memanggilmu 'sayang', masih bilang teman kerja?" "Kenapa kau berani mengangkat ponselku?" "Jujur saja, dia siapa? Kekasihmu?" "Jika iya, kenapa? Apa itu masalah dan apa hubungannya denganmu jika Mutiara meneleponku?" "Tentu saja, hal itu akan menjadi masalah dan itu akan menggangguku. Aku ini istrimu. Jika kamu memiliki kekasih, kenapa tak menikah dengannya? Kenapa menikah denganku, dan memberikan harapan kebahagiaan padaku? Kenapa? Kenapa kamu tega?" desak Luvina yang kini masih terisak. Air mata yang harus ia keluarkan ketika rumah tangganya baru saja memasuki enam bulan. Selama itu juga Luvina tak pernah tersentuh suaminya. Pria itu tak pernah memberikan kewajibannya sebagai seorang istri. Ia pun tak pernah mendapatkan belaian kasih dari sang suami. Kurang tersiksa bagaimana lagi dia? "Aku menyetujui perjodohan konyol ini, bukan karena kamu menarik atau aku suka sama kamu. Aku melakukannya demi Mami, bukan demi kamu," cerca Fahri. "Tapi, kenapa, Mas? Kenapa aku harus menjadi bayang-bayangmu? Kenapa kamu tak pernah menganggapku sebagai istri?" "Diam ya, Luvina. Aku tak mengajakmu ke New York untuk mengurusi hidup dan urusanku. Aku punya urusan dan privasi. Kamu tak berhak atas itu. Jadi, diamlah ... nikmati saja hidupmu di sini," ujar Fahri melepas genggaman tangan Luvina dan berjalan meninggalkan Luvina yang masih terisak dan terpukul atas sikapnya. 'Ya Allah. Ada apa dengan pernikahanku? Kebahagiaan apa yang aku harapkan? Aku mengerti dan sangat paham bagaimana rasanya menikah dengan seseorang yang tak kita kenali sebelumnya, tapi ... apakah aku pantas menerima semua ini, menerima sikap Mas Fahri seenaknya?' batin Luvina. Sesekali dia memukul d**a dengan keras. Luvina menghela napas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD