BAB 7 - Kecewa

1113 Words
Tata hanya terpekur diam. Sementara Helena mengepalkan tinjunya menahan amarah yang memuncak. Saat ini keduanya tengah dipermalukan oleh bu Siska karena dianggap tidak becus mengerjakan tugas kelompok. Penyebab kekacauan ini tentu saja Arga. Padahal Tata dan Helena sudah mengalah untuk mengerjakan bagian Arga. Namun nyatanya saat ini dia malah tidak masuk ke kelas. Tata tidak mampu menahan air matanya yang tergenang. Bagaimana tidak, dia sudah berjuang mati-matian untuk tugas kelompok ini. Hamdi yang duduk di pojok ruangan bahkan turut prihatin melihat Tata yang sedang kesulitan. Bahkan diam-diam dia mengirimi Arga pesan untuk menanyakan di mana keberadaannya.   “Sesuai kesepakatan kita sebelumnya, kelompok kalian dinyatakan gagal,” ucap bu Siska. “Nggak bisa gitu dong, Buk,” protes Helena. “Saya kan, sudah mewanti-wanti dari awal. Jadi jangan salahkan saya jika nilai mata kuliah kalian semester ini berakhir jelek,” jawab Bu Siska. “T-tapi Buk,” Helena memijit keningnya dengan wajah panik. “Saya mohon kasih saya kesempatan Buk! Saya akan membawa Arga ke sini.” Tata tiba-tiba memohon pada Bu Siska. “Saya mohon Buk ... beri saya waktu sebentar untuk mencari Arga,” ulang Tata.  Bu Siska terdiam sejenak. Disatu sisi dia merasa bersalah karena Tata merupakan salah satu mahasiswa favoritnya. Sejauh ini Tata belum pernah membuat dia kecewa. Namun disisi lain dia juga tidak suka pada mahasiswa yang tidak disiplin.  “Yasudah ... saya kasih kalian waktu untuk menjemput Arga. Kelompok kalian akan saya tempatkan pada urutan tampil terakhir. Tapi kalau kalian tidak juga kembali, maka tidak ada lagi kesempatan untuk kalian, mengerti!” ucap bu Siska. “B-baik buk!”   Tata dan Helena menjawab kompak. “Terima kasih Buk ... sekali lagi terima kasih banyak.” Tata terus berulang-ulang berterima kasih sampai dia diseret Helena keluar kelas.  ***  “Kita nyari dia kemana coba?” tanya Helena. Tata tidak menjawab dan langsung mengeluarkan handphone-nya. “Kamu punya nomor kontak dia?” tanya Helena heran.  Tata tidak menjawab dan terus mencoba menelepon Arga. Sayangnya Arga langsung menolak panggilan itu. Tata segera mengetik sebuah pesan, mengirimkannya, lalu mencoba meneleponnya kembali.  “Udahlah Ta,” ucap Helena pelan. “Nggak Len, aku nggak mau gagal di mata kuliah ini,” jawab Tata. “Terus sekarang bagaimana? Kita nggak tau Arga ada di mana.”  “Pokoknya aku nggak mau gagal di mata kuliah ini,” ucap Tata dengan air mata berlinang.  Helena memegang kedua lututnya. Saat ini dia benar-benar kesal pada Arga. Namun dia juga bingung harus berbuat apa untuk membantu Tata. Helena bisa saja bersikap cuek terhadap nilai mata kuliahnya. Tetapi tidak bagi Tata. Dia benar-benar menjadikan setiap harinya di kampus sebagai momen untuk melakukan yang terbaik demi masa depannya.  “Hei!” tiba-tiba seseorang memanggil mereka. “Hamdi?” ucap Helena pelan. Hamdi segera bergegas mendekati mereka berdua. “Aku tau Arga ada di mana,” ucapnya kemudian. “Benaran ...? kamu serius?” tanya Helena. “Iya, di ada di sebuah galeri deket dari kampus,” jawab Hamdi.  “Ka-kamu yakin?” tanya Tata. Hamdi mengangguk mantap. “Aku bisa nganter salah satu kalian ke sana pake motor,” tawar Hamdi. Tata dan Helena saling pandang. “Lebih baik kamu aja yang pergi deh, Ta. Soalnya kalau aku yang jemput dia ... bisa-bisa dia aku bawa udah jadi mayat,” ucap Helena.  “Gimana, Ta?” tanya Hamdi.  “Baiklah, biar aku yang pergi,” jawab Tata. Sesampainya di parkiran, Tata langsung tertegun melihat motor milik Hamdi. Matanya menyipit sambil coba mengingat-ingat. Tata jadi teringat kejadian aneh saat ada seorang pengendara motor yang sibuk melambai-lambaikan tangannya. Hamdi pun tersenyum seakan mampu membaca pikiran Tata. “Benar! Itu aku. Kita bisa membahasnya nanti. Sekarang kita pergi ke tempat Arga dulu,” ucap Hamdi.  ***  Ternyata lokasi yang dikatakan Hamdi cukup dekat dari kampus. Tata dan Hamdi segera bergegas masuk mencari Arga. Galeri seni itu cukup ramai di padati pengunjung. Setelah cukup lama mencari, akhirnya Tata mengenali seseorang yang sedang serius menatap sebuah lukisan. “Arga!” panggilnya. Arga terkejut begitu melihat Tata. Dia baru saja hendak bersuara, namun terhenti disaat melihat ada Hamdi di belakang Tata.  “Ada apa?” tanya Arga datar. “Ada apa? Kamu nanya ada apa?” Tata balik bertanya. Arga mendesah pendek, “Aku udah bilang kalau aku nggak mau masuk kelompok itu,” ujar Arga.  “Tapi Ga, aku udah susah payah untuk menyelesaikan tugas itu. Kamu cuma perlu hadir dan diam aja,” jawab Tata. “Apaan sih, nggak penting,” dengus Arga.  “Apa? nggak penting? Mungkin bagi kamu itu nggak penting, tapi bagi aku ini sangat penting!” pekik Tata.  “Sampah!” ucap Arga ketus. Tata tidak bisa menahan emosinya lagi. Sekujur tubuhnya kini bergetar menahan amarah yang memuncak. Tata menatap Arga lekat-lekat dengan sorot mata penuh kebencian. “Iya, bagi kamu kehidupan orang lain memang seperti sampah. Bahkan kamu memperlakukan orang lain seperti sampah. Anak yang tumbuh dengan sendok perak dimulutnya memang begitu,” ucap Tata tajam. “Jaga omongan kamu!” Arga menunjuk wajah Tata dengan wajah merah padam.  “Aku mohon!” ucap Tata. “Apaan sih, udah ah ... aku mau pergi,” Arga bermaksud segera pergi, namun Tata langsung bersimpuh di kakinya. “Aku mohon sekali ini aja dengerin aku!” pinta Tata. Arga terkejut melihat Tata yang kini memohon-mohon padanya. Sebesar apa pun masalahnya, sekasar apa pun dia pada Tata, sehebat apa pun mereka bertengkar, namun tidak  pernah membuat Tata sampai memohon dan bersujud seperti ini.  Hamdi yang berdiri di belakang Tata juga tak kalah tertegun. Dia merasa bimbang harus berbuat apa. Disatu sisi dia ingin membantu Tata. Namun dilain sisi Arga adalah sahabatnya. “Udahlah Ga, tampil dengan kelompok sebentar kan, nggak ada salahnya,” bujuk Hamdi. Arga beralih menatap Hamdi. “Aku harap lain kali kamu nggak ikut campur lagi untuk urusan seperti ini!” Arga berkata lunak lalu segera pergi.  “Arga ...!!!” “Arga ...!!!” Tata berusaha memanggil Arga kembali. Namun dia bergeming dan terus melangkah keluar. Seluruh sendi tubuh Tata melemah. Tata menopang tubuhnya dengan menekan dinding menggunakan telapak tangannya. Tata pun kembali menangis. Dia terisak sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan. Hamdi menatap Tata dengan nanar. Entah kenapa dia merasa marah melihat perlakuan Arga kepada Tata. Namun semuanya terasa ganjil bagi Hamdi. Dia sudah lama mengenal Arga. Dia tahu betul bagaimana kepribadian Arga. Hamdi tahu bahwa Arga bukanlah tipe orang yang kasar seperti itu. Begitu juga dengan Tata. Hamdi merasa ada yang aneh dengan Tata. Dia menangkap ada yang lain dari sorot mata Tata ketika menatap Arga.  Hamdi pun segera mendekati Tata, mengeluarkan selembar sapu tangan lalu mulai menyeka air mata Tata dengan lembut. “Udah,Ta! Aku kan, udah bilang ... jangan nangis lagi!” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD