BAB 1 - Sebuah Rahasia
Suara helaan napas lega terdengar bersahutan. Kelas yang tadinya hening kini terdengar berisik. Sebagian mahasiswa mulai sibuk mengemasi buku-buku mereka. Sebagian meregangkan tubuhnya yang terasa kaku. Sebagian lagi asyik berbisik dengan teman-teman di samping mereka. Setelah kurang lebih selama dua jam memeras otak, akhirnya perkuliahan yang diajar oleh bu Siska itu selesai juga.
“Pokoknya nanti kalau ada satu orang saja dari kelompok kalian yang mangkir dari tugasnya, maka keseluruhan kelompok dinyatakan gagal.”
“Yah... Ibuuuk!” seisi kelas kompak bersahutan.
“Jangan gitu dong, Buk!”
“Ganas!”
“Tugas kelompok bukan kaleng-kaleng!”
Seketika kelas menjadi riuh setelah bu Siska menyampaikan pesan terakhirnya. Suara protes silih berganti terdengar. Semua saling pandang dengan raut wajah cemas. Namun di antara semuanya ada satu wajah yang terlihat paling gelisah.
Gadis itu terus menggaruk-garuk kepalanya meski tidak terasa gatal. Sesekali dia melirik sosok pria yang duduk di pojokan kelas. Pria itu memasang raut wajah cuek. Dia tidak peduli dengan situasi kelas yang sudah heboh dan memandang keluar jendela sambil melipat tangan. Sikap tubuhnya yang arogan itu membuat si gadis menelan ludah.
“Kenapa Arga harus masuk kelompok kita sih, Ta?” Helena yang duduk di sebelah gadis itu menyenggolnya pelan.
“Aku juga nggak tahu sekarang harus gimana,” jawab Tata lirih.
Tata kembali melirik ke arah Arga dengan mata sayu, namun tiba-tiba Arga balas menatapnya dengan mata tajam. Tata pun terkejut dan menelan ludah. Napasnya sejenak tertahan seiring gerakan kepalanya yang mulai bergerak menghindari tatapan Arga.
“Oke semuanya, sampai ketemu di perkuliahan minggu depan.” tutup bu Siska sambil berjalan keluar kelas.
Selepas kepergian bu Siska, Arga yang dari tadi hanya diam langsung bangun dari kursinya. Dia berjalan santai ke depan kelas, lalu menatap papan tulis yang berisi daftar nama-nama kelompok itu sambil tersenyum miring. Tanpa basa-basi Arga pun langsung menghapus namanya dari daftar itu.
“Uwaaa ... dia berulah lagi!”
“Aku sudah menduga dia akan seperti itu lagi!”
“Untung kita nggak satu kelompok sama mahluk sombong itu!”
Suasana kelas kembali ricuh karena aksi mengejutkan Arga. Mereka beramai-ramai menghujat tingkah Arga yang terlalu angkuh. Tata yang satu kelompok dengan Arga pun hanya bisa menghela napas. Sementara, Helena yang duduk di sebelahnya kini mulai mengatupkan gerahamnya kuat-kuat.
“Eh...! kamu apa-apaan sih, Ga?” Helena naik pitam dan berdiri sambil memukul meja di depannya dengan keras.
“Sorry... tapi aku nggak mau gabung sama kelompok pecundang,” jawab Arga datar.
“A-apa ...? pecundang? dasar cowok b******k ***@&^$$%$**.” Helena murka dan mengeluarkan sumpah serapahnya.
“Udah Len, udah! malu dilihatin sama anak-anak yang lain.” Tata segera menarik Helena untuk kembali duduk.
Tata menatap Arga perlahan. Pria arogan itu hanya memasang wajah datar, lalu berjalan keluar kelas.
“Pokoknya kita coba omongin dulu situasinya sama Bu Siska, siapa tahu kita masih bisa mengganti anggota kelompok,” bujuk Tata.
Helena menatap Tata lekat-lekat. “Ta, kadang aku heran deh sama kamu... kenapa kesannya kamu itu selalu ngalah setiap berurusan sama si b******k itu?”
“Bukannya gitu Len, kamu tahu sendiri kan, gimana dia...” Tata menghela napas sejenak. “sekarang gini deh, daripada kita pusing mikirin dia, gimana kalau hari ini kita jalan-jalan ke mal dan karaokean di tempat biasa.” Tata tersenyum genit merayu Helena.
Raut wajah Helena pun perlahan melunak. Gadis cantik berambut panjang itu melingkarkan tangannya di pundak Tata, lalu tersenyum penuh arti. “Aku punya ide yang lebih baik,” bisiknya pelan.
***
Tata menjinjit langkah pelan menaiki anak tangga dalam kegelapan. Dia begitu berhati-hati agar tidak mengeluarkan suara sekecil apapun. Suasana rumah sudah sangat sepi. Semua orang di rumah sudah terlelap. Wajar saja, jarum jam sekaramg sudaj menunjukkan pukul 11.00 malam.
Tata tidak menyangka kalau Helena akan membawanya ke sebuah klub malam. Dia tidak bisa menolak dan terpaksa ikut bergabung bersama teman-teman Helena yang tidak dikenalnya sama sekali. Setelah sekian lama merasa terjebak dalam situasi yang canggung, akhirnya pesta itu usai dan Tata pun bisa segera pulang.
Setiba di depan pintu kamarnya, Tata kembali menghirup napas dalam, kemudian mengembuskannya perlahan. Dia merapikan tatanan rambutnya dan juga menyeka bulir peluh yang masih melekat di lehernya. Setelah itu barulah dia mendorong pintu kamarnya perlahan sambil menggigit bibir.
Suasana di balik pintu itu begitu hening dan gelap. Tata pun masuk dengan menjinjit langkah. Dia meletakkan tasnya dengan hati-hati, membuka jaket denimnya tanpa suara, lalu mengambil sebuah bantal dan selimut dengan menariknya lambat-lambat. Setelah mendapatkan apa yang diperlukannya, Tata bermaksud untuk keluar dari kamar itu. Namun ketika baru hendak melangkah, tiba-tiba lampu kamar itu langsung menyala.
Tata pun tersenyum lega setelah mendapatkan apa yang diperlukannya. Dia pun bergegas pergi dengan membawa bantal dan selimut itu dipangkuannya.
Deg.
Tata terkejut dan mematung di tempatnya. Matanya terbelalak dengan detak jantung yang memompa kencang. Di belakangnya terdengar suara tarikan napas berat dan bunyi gesekan kain selimut yang dibuka. Tata menelan ludah, kemudian memberanikan dirinya untuk berbalik badan.
Terlihat seorang pria duduk terpekur di pinggir ranjang. Matanya masih terpejam dengan rambut yang kusut. Suara helaan napasnya terdengar berat. Tata yang masih gugup memaksakan bibirnya untuk tersenyum, sementara kedua tungkai kakinya kini terasa lemah.
Pria itu pun membuka matanya pelan, kemudian langsung menatap sadis. “Dari mana kamu?”
Tata menelan ludah. “A-aku....”
Pria itu tersenyum kecut seraya bangun dari duduknya. “Cih... udahlah, aku juga nggak peduli.”
“Arga ... tadi itu aku pergi sama Hel—” ucapan Tata terhenti begitu Arga mendelik tajam.
Arga meneliti penampilan Tata dari ujung kaki hingga kepala. Gerakan lehernya pun terhenti begitu menatap pakaian yang dikenakan Tata.
Tata lekas menatap pakaiannya dengan alis mengernyit. Matanya langsung membulat saat menyadari kancing kemejanya sudah terlepas dan hampir menampakkan bagian sensitifnya. Tata pun bergegas mengaitkan kembali kancing kemejanya itu dengan tangan bergetar. Setelah itu dia memberanikan diri untuk menatap Arga.
“T-tadi itu aku pergi sama Helena,” ucap Tata dengan suara bergetar.
“Kenapa kamu sekalian nggak pulang aja?” Arga menyelipkan sebatang rokok di bibirnya.
“A-aku—”
Arga menyalakan pematik rokoknya, lalu melangkah pelan mendekati Tata. Dia tidak berbicara dan hanya menatap Tata lekat-lekat dengan asap rokok yang mengepul di wajahnya.
Tata langsung tertunduk dan tidak berani menatap mata itu. Dia reflek mundur selangkah saat Arga berdiri sangat dekat di depannya. Tata hanya terpekur dengan jemari saling berpilin. Jarak antara mereka berdua kini sangat dekat. Tata bahkan bisa merasakan hangatnya hembusan napas Arga di aats kepalanya.
Dengan perasaan kalut, akhirnya Tata memberanikan diri untuk mendongakkan wajah. Sesaat pandangan mata mereka bertemu, namun setelah itu Arga langsung membuang muka.
“Dasar perempuan murahan.” Arga menatap tajam, kemudian melangkah pergi seraya menyenggol lengan Tata dengan kasar.
Tata pun terhenyak dengan rasa sesak yang mulai menghimpit d**a. Tak lama kemudian terdengar suara bantingan pintu yang cukup keras di belakangnya. Tata terkejut dan memejamkan mata. Tak lama kemudian aliran bening meluncur di pipinya pelan.
Kedua tungkai kaki Tata melemah. Tubuhnya pun merosot dan terduduk di lantai. Jemarinya kini mengepal kuat seiring dengan suara isak tangis yang tertahan. Pilu itu datang lagi. Tata benar-benar sudah tidak sanggup lagi. Sampai kapan dia harus bersabar...? Sejauh mana dia harus berpura-pura...? dan berapa lama lagi dia harus menyembunyikan fakta.. Tentang pernikahan mereka berdua...?
***