Sudah tiga puluh menit berlalu, namun keheningan masih menyebar di sepanjang perjalanan. Arga hanya fokus menatap jalanan di depannya. Sementara Tata masih merasa jengkel karena harus membolos dua mata kuliah. Hanya bunyi deru mobil dan alunan suara musik lembut yang terdengar. Arga menatap sebuah kafe di sisi sebelah kanan jalan. Akhirnya mobil melambat dan berbelok memasuki area kafe itu
“Kita mau ngapain?” tanya Tata.
Arga tidak menjawab dan menyuruh Tata turun dari mobil dengan mengangkat jarinya. Kemudian Tata pun mengikuti langkah Arga dengan perasaan canggung. Ini adalah pertama kalinya Arga membawanya ke tempat yang seperti ini. Tata tersenyum tipis bersama dengan khayalannya. Dia menatap punggung Arga dengan hati yang mulai kembali berharap.
“Apa dia mau ngajak aku makan bareng?” Tata bertanya-tanya dalam hatinya sendiri. Dia menyembunyikan senyumnya, lalu bergegas menyusul Arga.
Namun, ternyata semua tidak seperti dugaannya. Begitu sampai di dalam, Arga langsung menghampiri seorang lelaki dengan setelan jas hitam yang langsung berdiri menyambut kedatangannya. Mereka berdua kelihatannya sudah saling mengenal. Tata pun mendekat dengan sedikit ragu. Lelaki itu tersenyum dan langsung mengulurkan tangannya kepada Tata.
“Selamat sore, perkenalkan saya Irwan, pengacaranya Arga,” ucapnya.
“P-pengacara?” tanya Tata.
“Iya ... dan maksud kedatangan saya di sini adalah untuk memenuhi keinginan Arga untuk meresmikan kontrak pernikahannya,” jawab sang pengacara.
“A-apa? Kontrak pernikahan?” Tata semakin terkejut.
“Langsung jelasin aja!” ucap Arga kemudian.
Pak Irwan sedikit terkejut karena bentakan Arga.
“Jadi begini ... Arga sudah menceritakan semua kebenaran dibalik pernikahan kalian kepada saya. Tentu saja semua ini tidak baik jika diteruskan terlalu lama. Baik Arga atau pun kamu sendiri tentu ingin kehidupan yang bahagia bukan? Karena itulah Arga menghubungi saya untuk membuat kontrak pernikahan ini,” jelas sang pengacara sambil menyodorkan seberkas dokumen pada Tata.
Tata mengambil lembaran kertas itu dengan perasaan gamang. Pupil matanya bergetar saat membaca baris demi baris yang tertulis di sana. Sesekali dia melirik Arga dengan perasaan yang berkecamuk. Tidak ada bantahan. Tidak ada negosiasi. Tata hanya bisa mengulum semua yang dirasakan saat ini.
“Seperti yang tertulis di sana ... kamu harus melayangkan gugatan cerai setelah enam bulan berlangsung. Penyebab perceraian kalian bisa dipikirkan nanti. Namun yang jelas pihak yang mengajukan perceraian adalah kamu ... Tata,” sambung pak Irwan..
Tata hanya menatap nanar.
“Setelah itu kamu juga akan menerima kompensasi sebanyak 250 juta rupiah. Tentu saja kamu harus merahasiakan semua ini dari kedua orang tua Arga. Kamu bisa menggunakan uang itu untuk melanjutkan biaya kuliah dan juga biaya hidup kamu tentunya,” sambung Pak Irwan.
Tata hanya terdiam.
“Sejauh ini apa ada yang ingin kamu sampaikan sebelum menanda tangani berkas ini?” tanya pak Irwan.
Tata menoleh menatap Arga. Namun yang ditatap acuh tak acuh dan sibuk dengan handphone-nya. Kerongkongannya Tata terasa kering. Saat ini dia tidak bisa berpikir dengan jernih. Tanpa pikir panjang Tata langsung menanda tangani dokumen itu. Mungkin memang inilah jalan terbaik untuk mereka berdua. Karena sejatinya hati dan perasaan memang tidak bisa dipaksakan. Untuk apa bertahan dalam benci? Mengapa harus menangisi dia yang tidak akan mengisi hati? Hidup terlalu berharga untuk dihabiskan dalam kesia-siaan seperti itu.
***
Tata masih membeku menatap Arga yang terus mengacuhkannya. Laju mobil kini terhenti karena kemacetan yang tidak kunjung usai. Sebenarnya Arga mengetahui bahwa Tata sedari tadi terus menatapnya. Akhirnya dia memandang Tata dengan tatapan sinis seperti biasa. Namun kali ini Tata tidak langsung menunduk dan tetap menatapnya lekat-lekat.
“Sial ...! Lama banget sih macetnya, mana hujannya deras lagi,” gerutu Arga.
Tata tidak merespon sama sekali. Dia tetap menatap Arga dengan mulut terkatup rapat. Lama kelamaan kedua matanya mulai memerah. Setetes air matanya menitik pelan. Tata segara menghapusnya agar Arga tidak melihat.
“Kenapa?” tanya Arga.
Tata hanya menggeleng pelan, lalu beralih menatap keluar kaca jendela mobil.
“Apa ada sesuatu yang nggak kamu suka dengan kesepakatan tadi? Apa jumlah uang yang aku berikan itu masih kurang?” tanya Arga.
“Apa?” Tata kembali menoleh mendengar pertanyaan itu.
“Aku rasa jumlah itu udah cukup. Karena sebenarnya aku nggak perlu memberikan uang sebanyak itu sama kamu. Yah ... anggap saja sebagai tunjangan perpisahan kita.” Arga tersenyum sinis.
“Kamu itu bener-bener nggak punya perasaan ya, Ga?” Tata menggeleng tidak percaya.
“Denger ya, Ta! Kamu itu seharusnya bersyukur karena Papa sama Mama aku mau ngebawa kamu dari kampung dan biayain semua kuliah kamu ... tapi apa? Kamu juga setuju untuk nikah sama aku? Bener-bener gila!” ucap Arga.
“Lalu kamu sendiri? Kenapa kamu setuju dengan perjodohan ini? kenapa waktu itu kamu nggak nolak dan mengiyakan semua permintaan orang tua kamu?” Tata bertanya dengan setengah memekik.
Arga terdiam. Dia mengeluarkan rokoknya dan mulai menghisap rokok itu dengan wajah merah padam. Sementara Tata masih menunggu jawaban dengan d**a yang kini terasa sesak. Hujan di luar sana semakin deras. Gemuruh suara petir terdengar bersahutan. Di luar sana semua orang mulai merasa kedinginan, namun tidak bagi mereka. Tata dan Arga tengah dibakar ego dan emosinya masing-masing.
“Kenapa, Ga?” Tata mengulangi pertanyaannya.
Tiba-tiba saja Arga langsung memegang kedua pundak Tata dengan kasar. Tubuh Tata pun sampai terdorong hingga membentur pintu mobil. Tata sangat terkejut sampai bibirnya berubah pucat. Arga kini menatapnya dengan tatapan sangar dan menakutkan. Urat-urat dikening dan lehernya menyembul keluar. Tata belum pernah melihat Arga semarah ini. Tata bahkan bisa mendengar suara gerahamnya yang bergesekan kuat.
“Harusnya kamu yang menolak pernikahan ini! bukan aku ... TAPI KAMU!!!” Arga berteriak keras.
Tata tertegun sejenak lalu mendorong tubuh Arga agar menjauh. Setelah dia langsung turun dari mobil. Tata melangkah pergi dengan gusar. Dia tidak memedulikan suara klakson yang dipencet bertubi-tubi, karena dia berjalan di tengah-tengah jalan raya. Tata terus melangkah bersama air mata dan hujan yang kini sama-sama mengalir di wajahnya.
***Entah sudah berapa lama Tata meringkuk di sana. Duduk berjongkok di bawah sebuah pohon besar dengan sekujur tubuh yang sudah menggigil kedinginan. Sisa hujan masih menetes dari pakaiannya. Tata mencoba untuk berdiri perlahan, namun kakinya terasa kesemutan hingga dia oleng dan hampir saja terjatuh.
“Kamu nggak apa-apa?” tiba-tiba sebuah tangan langsung menopang tubuhnya.
Tata terkejut dan langsung menepis tangan itu dengan wajah malu.
“A-aku nggak apa-apa,” jawab Tata.
“Yakin kamu nggak apa-apa?” pria itu menatap Tata dari ujung kaki hingga kepala.
“Aku harus pergi.” Tata bermaksud segera melangkah, namun pria itu langsung meraih tangannya.
“K-kamu kenapa?” tanya Tata dengan raut wajah cemas.
“Ikut aku sebentar,” ucap pria itu sambil tersenyum.
Tata keluar dari bilik ganti dengan wajah malu-malu. Saat ini dia sudah mengenakan setelan pakaian tidur bermotif warna sapi dengan topi menyerupai kepala sapi yang lucu. Sosok pria itu langsung tersenyum begitu melihat Tata. Dia segera mengacungkan jempolnya dan langsung membayar pakaian itu pada kasir.
“Taksinya udah menunggu di luar,” ucapnya kemudian.
“Ta-tapi—”
“Dan ini pakaian kamu yang tadi.” pria itu memotong pembicaraan dan menyerahkan sebuah kantong berisi pakaian basah milik Tata.
“Aku harus pergi sekarang karena ada keperluan penting,” ucap pria itu lagi.
Dia tersenyum, lalu melangkah mundur sambil melambaikan tangannya pada Tata. Sesaat kemudian barulah dia berbalik lalu berlari menembus perempatan jalan.
Tata pun termenung dengan mulut menganga. Dia bahkan tidak sempat berucap terima kasih. Dia bahkan tidak tahu siapa nama pria itu. Tata masih larut dengan rasa bingung sampai sopir taksi berbicara padanya.
“Ayuk berangkat Neng,” ucap sang sopir.
Oh, iya maaf Pak,” jawab Tata.
***