Agni - 2

1482 Words
Agni beberapa kali mengusap air matanya yang turun perlahan, cairan hangat yang membuatnya terlihat lemah. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa, ia hanya seseorang yang beruntung bisa tinggal di rumah megah bak istana. Anak laki-laki berusia tujuh belas tahun itu bernama Araka Bimasena. Kafi memanggilnya Kak Raka. Wajahnya yang paling mirip dengan Abimanyu, juga dengan sifat dinginnya. Anak pertama dari pasangan Abimanyu dengan isterinya terdahulu itu memang tidak pernah menyukai Agni. Sejak pertama kali ia membantu membersihkan rumah ini. Ia tidak tahu apa yang menjadi penyebabnya. Ingin rasanya ia bertanya agar jika ia memiliki kesalahan, Agni bisa meminta maaf dan tidak mengulanginya lagi. Namun ia terlalu takut.  Ketika kata sah terdengar lantang, itu artinya ia tidak hanya san menjadi isteri dari Abimanyu namun juga menjadi ibu untuk anak-anak Abimanyu. Apapun sifat anak dari suaminya harus ia terima. Bahkan jika diberi kesempatan Agni ingin bisa berdekatan dengan Araka, menjadi tempatnya untuk berkeluh kesah atau hanya sekedar bercerita tentang wanita yang ia sukai. “Agni?” Segaris senyum ia haturkan pada suaminya yang baru keluar dari kamar mandi. Abimanyu menatapnya sebentar, namun kembali melanjutkan jalanya dengan hanya mengenakan handuk untuk menutupi bagian bawahnya. Jangan harap laki-laki itu bertanya ada apa dengannya, karena memang awal Abimanyu tidak peduli padanya. “Carikan pakaian dalam dan kaos saya.” Pria itu mengucapkannya dengan mudah namun tidak dengan Agni yang merasakan pipinya memerah. Pakaian dalam menurutnya adalah sesuatu yang paling intim. Bahkan saat umur lima tahun, Abian sudah tidak mau memasang pakaiannya dihadapan Agni. Anak lelaki itu berkata ia sudah besar jadi malu. Namun lekaki yang kini sedang duduk diatas sofa kamar ini sambil melihat sesuatu di benda persegi panjang namun berlayar nampak tidak peduli. “Cepat Agni saya bisa masuk angin jika kamu bengong terus.” Sambil meneguk ludahnya pelan, Agni bergerak menuju lemari putih yang berada  dikamar ini. Mengambil kaos berbahan adem dan celana coklat pendek, serta celana dalam milik Abimanyu. “Ini Mas.” Abimanyu meletakan Ipadanya yang menampilkan grafik yang tidak Agni mengerti. Lulusan rendah seperti dia mana mungkin mengerti seperti hal itu menurutnya. Abimanyu mengambil pakaian yang diberikan Agni. Pria itu hendak membuka handuk yang melilit dipingganya, sontak Agni yang melihat itu segera menahan lengan Abimanyu. “Mass..” Pipinya memerah, jantungnya berdegub kencang. Kepalanya menggeleng namun hal itu membuat Abimanyu terkekeh. “Kenapa Agni?” tanyanya. Agni tidak menjawabnya, ia langsung membalikan tubuhnya dan berjalan ke arah mana saja agar tidak melihat hal itu. Ia segera mencari kesibukan lain, memindahkan baju-banunya kedalam lemarin contohnya. Wanita itu segera mengeluarkan baju-bajunya yang kebanyakan daster dan gamis sederhana kesukaannya. Namun ketika ia membuka lemari, tidak ada bagian yang kosong.  Ia berpikir apakah semua ini pakaian milik Abimanyu? Hampir memenuhi lemari besar ini namun saat Agni kembali meneliti pakaian-pakain itu. Itu bukan pakaian Abimanyu. Tepatnya pakaian lelaki itu hanya berada disebelah kiri yang didominasi dengan pakaian berwarna hitam dan putih sedangkan dibagian kanan memiliki warna yang cerah. Jelas itu baju wanita ketika Agni melihatnya lebih dekat. Nampaknya ini baju Melisa, isteri Abimanyu yang telah tiada. Agni baru saja hendak menurunkan baju-baju itu namun tiba-tiba tangannya ditahan erat oleh sebuah lengan kekar. “Kamu mau apa, Agni?” tanya Abimanyu yang ternyata berada didekatnya. Aura yang menguar pada lelaki itu semakin dingin, seolah barang setitik saja disentuhnya dapat membekukan seluruh tubuhnya. “Aku mau menurunkan baju-baju Mbak Melisa, aku mau meletakan bajuku, Mas.” “Jangan.” Agni menggigit bibir bawahnya saat merasakan tangan Abimanyu meremas tangan mungilnya. “Jangan pernah kamu turunkan pakaian isteriku. Seterah jika kamu bilang isteriku sudah meninggal dan untuk-untuk apa bajunya masih disini. Bagiku isteriku masih disini dan pakaian ini adalah buktinya.” “Tap—“ “Letakan pakaianmu disana Agni,” ujar Abimanyu menujuk lemari yang cukup besar berada dipojok ruangan. Nampaknya lelaki itu tidak ingin berbasa-basi lagi. “Saya tidur deluan. Matikan lampunya.” Setelah mengatakan itu, Abimanyu melepaskan tangannya dari Agni. Bibirnya meringis pedih namun ia tahan dengan menggigit bibir bawahnya, tanganya tidak terlalu sakit walau memerah. Namun hatinya lebih sakit. Rasanya organ itu berdarah-darah membuat Agni tak bisa menahan air matanya yang rasanya kembali ingin turun. Sebelum air matanya berembas keluar, wanita itu segera meletakan pakaiannya ke tempat yang ditunjuk Abimanyu. Mematikan lamput sesuai perintah suaminya lalu pamit keluar dengan dalih untuk mengecek anak-anak yang dibalas dehaman dari Abimanyu yang telah menutup matanya. Wanita itu segera melangkah ke dapur yang gelap gulita, namun Agni menyukainya. Itu artinya ia bisa bebas menangis sepuasnya disini dan tidak akan ada yang mengetahuinya namun ia harus tetap menahan agar tangisannya tidak terdengar. “Udah gue bilang lo enggak bisa gantiin Bunda di hatinya Ayah.” Agni dengan cepat menoleh saat mendengar sebuah suara memasuki gendang telinganya. Matanya mengerjap beberap kali kala rasa perih hinggap dimatanya. Menangis terlalu lama dan lampu yang tiba-tiba dihidupkan sungguh bukan kombinasi yang bagus. Araka berjalan santai menuju kulkas kemudian mengambil sebuah botol kaca yang berisi air dingin. Pria itu kemudian meneguknya tanpa menggunakan gelas sebagai wadah.  “Raka butuh apa? Kalo lapar bisa ibu masakin.” Kekerasan dibalas dengan kelembutan. Itu pedomanan Agni. Tidak bisa membalasnya dengan yang sejenis. Maka kau akan mendapatkan hasil yang nihil. Araka mendengus, kesal karena wanita itu malah bersikap baik—-atau pura-pura berbaik hati. Sebelum ia meninggalkan sebuah kalimat terucap dari bibir tampan pemuda itu. “Gue tadinya lapar tapi ngelihat lo disini gue jadi enek.” Remaja itu hendak meninggalkan dapur namun langkahnya tiba-tiba terhenti. “Oh, iya. Lo tanya gue butuh apa? Gue butuh lo pergi dari sini.” Agni termenung mendengar perkataan dari Araka. Haruskah ia meninggalkan rumah ini? Harus ia pergi secepat ini? Dimana Agni tadi yang berteguh untuk membuat Abimanyu yang mencintainya? Wanita itu tidak tahu harus berbuat apa. Lama Agni termenung, hingga tak menyadari Abian masuk kedalam dapur. “Ibuu..” “Bian kok belum tidur?” tanyanya berusaha untk tersenyum menatap anaknya. Anak laki-laki itu tidak menjawab namun bergerak perlahan mendekat ke arah Agni. Menjatuhkan kepalanya dipelukan sang ibu yang kini mengelus-elus punggung anaknya. “Kasurnya terlalu empuk. Bu.” Agni terkekeh mendengar jawaban anaknya. Ia menarik satu kursi bar lagi untuk diduduki Abian. Namun anak itu masih menyandarkan tubuhnya dipelukan sang ibu yang nyaman. Lebih nyaman daripada kasur barunya. “Bian tidur sama Kafi?” tanya Agni sambil mengelus rambut anaknya. Abian mengangkat kepalanya sehingga bisa melihat ibunya. “Enggak. Bian dapat kamar sendiri. Disamping kamar Kafi. Besar banget kamarnya. Bu. Ada meja belajar sama kamar mandinya sendiri lho, buuk. Bian bisa main plesetan di kamar mandinya,” kikik anak itu tidak sabar menunggu besok untuk mandi di kamar mandi barunya. Agni mengira jika Abian tidur sekamar dengan Kafi karena mereka baru sampai di rumah ini tadi sore. Mobil yang membawa anak-anak pergi lebih dulu kemudian baru disusul mobil yang berisinya juga Abimanyu. Perempuan itu tidak menyangka bahwa Abimanyu sudah menyiapkan kamar anaknya. “Udah bilang makasih sama Ayah?”  “Udah,” ujarnya sambil menguap yang segera ditutup olehnya. “Tidur kamar, Bian, yuk, Buk?” ajak anak itu membuat Agni terkekeh. “Enggak bisa dong. Ibukan sekarang udah jadi isteri Ayah. Jadi ibu tidurnya sama Ayah.” “Karena Ayah butuh pelukan ibu yang nyaman?” tanya Abian lugu membuat Agni terdiam beberap saat. “Ya udah, Abian ke kamar dulu ya, Buk. Ibu juga tidur.” Agni memberikan senyuman lebarnya kepada Abian yang dibalas ciuman dipipi oleh bocah lelaki itu sebelum beranjak dari dapur. Wanita itu kembali termenung, anaknya sangat bahagia sekarang. Apa yang dulu belum bisa ia berikan kepada anaknya kini Abimanyu berikan. Termasuk sosok Ayah yang anak itu idam-idamkam.  Wanita itu kemudian bangkit dari duduknya saat melirik jam yang berada di dapur menunjukan pukul sebelas malam. Agni harus segera tidur, ia tidak boleh bangun kesiangan. Sebelum masuk kedalam kamar, Agni menyepatkan untuk melewati kamar Araka. Walau anak itu tidak menyukainya namun Agni tetap menyayanginya. Setelah mendengar tanda-tanda tidak ada suara lagi, Agni bergegas menuju kamar Kadaffi. Agni tidak bisa tidak tersenyum saat melihat Kadafi yang nampak menggemaskan tidur dengan piyama robot favoritnya. Bibir anak itu tersenyum, nampaknya tengah mengalami mimpi yang indah. Diusapnya kepala anak itu yang berkeringat sebelum keluar dari sana. Terakhir menuju kamar Abian. Agni bernafas lega saat melihat Abian yang telah terlelap nyenyak. Geleng-geleng kepala saat melihat Mulut anaknya yang terbuka, kebiasaanya dari balita. Wanita itu tersenyum lebar saat merasa anak-anaknya telah tertidur nyenyak. Akhirnya wanita itu segera melangkahkan kakinya menuju kamarnya yang telah gelap gulita. Namun sinar rembulan yang terang menembus kaca jendala kamar sehingga memberi Agni sedikit pencahayaan. Agni segera merebahkan tubuhnya disamping Abimanyu yang nampaknya telah terlelap tidur deluan. Ketika Agni hendak menarik selimut untuknya, sepasang lengan kekar manarik Agni membuat wanita itu ingin berteriak jika tidak ingat lelaki yang berada disampingnya ini adalah suaminya. “Masss...” “Kenapa lama?” tanya Abimanyu. Pria itu ternyata belum tidur. Menunggu Agni kah? “Ngobrol sama Bian tadi sebentar,” ujar Agni jujur.  “Bian belum tidur?” Wanita itu mengangguk. Agni bisa merasakan nafas Abimanyu yang menerpa lehernya. Posisnya sekarang ia yang membelakangi Abimanyu yang sedang memeluknya. “Katanya kasurnya ke empukan.” “Mau ganti yang baru?” tanya Abimanyu enteng. “Enggak, Mas. Bian belum beradaptasi aja.” Agni merakan Abimanyu yang mengangguk. Lama mereka terdiam hingga Agni dikejutkan ketika Abimanyu semakin memeluknya erat. Lengan pria itu mengelus permukaan lengan Agni yang terbuka karena hanya mengenakan daster selengan. Bisa wanita itu rasakan saat hawa panas menerpa ceruk lehernya yang membuatnya merinding. Tubuh Agni meremang seketika. Ia tahu akan kemana ini. Dan Agni tidak bisa menolak, ia telah berjanji untuk menjadi isteri yang baik dan juga patuh. Termasuk melayani sang suami lahir dan batin. “Mass..” “Tidur Agni. Sudah malam.” “Masss... A—“ “Saya tahu kamu belum siap.” “Aku cuman mau ngingetin baca doa tidur, Mas.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD