Agni - 3

1541 Words
Matahari memang masih malu-malu menampakan wujudnya namun bunyi suara keran wastafel dapur yang mengeluarkan air dan suara khas cletek dari kompor sudah berbunyi sejak beberapa jam yang lalu. Mungkin bagi orang-orang itu adalah hal yang biasa, kadang membuat kesal karena berarti hari akan segera dimulai dan harus meninggalkan tempat ternyaman, kasur. Namun bagi Araka dan Abimanyu yang sedang menuruni tangga dengan seragam kebanggan mereka masing-masing, pagi ini adalah pagi yang berbeda dari pagi sebelumnya yang sunyi.  “Lho kok Mas sama Raka udah pada siap?” Agni mengalihkan pandangannya saat melihat dua laki-laki berbeda usia namun dengan wajah yang hampir sama persis menatapnya dalam, memutar sedikit kepala melirik arah jam yang menujukan pukul enam pagi. “Ini bentar lagi ayamnya siap, Mas sama Raka duduk aja dulu di kursi.” Agni mengusap peluhnya yang cukup banyak membanjiri jidatnya, wanita itu mematikan kompor dan meletakan ayam terakhir ke atas piring yang sudah lebih dulu diisi ayam-ayam yang lain. Jangan mengira Agni lelah ketika harus turun ke dapur saat selesai sholat subuh. Wanita itu bahagia karena berhasil menyiapkan sarapan untuk suami dan anak-anaknya. “Agni—-“ “Mas duduk aja, ini sayur tahu beningnya biar aku yang bawa.” “Tapi Agni——“ “Biar aku aja, Mas. Ini ayam goreng, sayur  tahu bening sama tempe orak-ariknya udah siap.” Meletakan piring terakhir yang berisi ayam goreng lalu tersenyum lebar menatap ke arah suaminya. Peluh yang membasahi jidatnya ia bersihkan dengan ujung lengan dasternya. “Ayo, Raka sama Mas harus buruan makan!” seru Agni sambil menatap kedua lelaki itu yang kini malah diam. Anak laki-laki yang paling mudah itu malah memalingkan wajahnya ke arah sembarang. Wanita itu kembali menatap ke arah masakannya yang telah berada diatas meja. Apakah masakannya terlalu sederhana? Tidak enak? Agni tidak sempat untuk membuat sesuatu yang lebih, bahan-bahan didapur pun juga sudah hampir habis. “Makanan berat tidak bisa disajikan saat sarapan, Agni.” Agni berusaha terus tersenyum ketika mendengar perkataan dari Abimanyu yang entah mengapa membuat hatinya sedikit kecewa. Namun, cepat-cepat ia menepis rasa itu. Makanan berat memang tidak cocok untuk sarapan. Ah, Agni melupakannya. “Enggak papa kalo Mas sama Raka enggak bisa makan nasi.” Agni terus berusaha tersenyum. “Kalian bawa bekal aja, ya? Gimana?” tanya Agni lagi penuh harap sambil berjalan ke arah rak piring untuk mengambil bekal. “Makan siang anak-anak sudah dari sekolah.” Wanita itu menghentikan tangannya yang hendak menurunkan kotak bekal. “Kalo Mas?” tanya Agni menatap Abimanyu berbinar. “Saya makan diluar,” ujar Abimanyu singkat. “Ayah, meja makannya penuh.” Raka menggeser-geser piring yang berisi makanan yang dibuat Agni. Ia ingin mengambil roti tawar dan selainya. “Maafin Ibu ya? Ibu beresin dulu.” “Hem.” Setelah piring-piring berisi makanan itu dipindahkan ke belakang. Agni bergegas membantu mengoleskan selai milik Abimanyu juga Araka. Tak lama kemudian Abian dan Kadaffi turun dari lantai atas secara bersamaan. Bocah lelaki yang mengenakan seragam taman kanak-kanaknya itu berlari memeluk Agni dan meminta duduk dipangkuannya.  “Daffi mau selai coklat! Coklat!” “Baca apa dulu sebelum makan?” “Doa makan!” “Karenaaa?” tanya Agni sambil tersenyum lembut. “Biar makanannya enggak dibagi sama setan!” seru Kadaffi semangat. “Uhukk-uhukk!” Araka dan Abimanyu kompak terbatuk saat mendengar seruan Kadaffi. Cepat-cepat Agni memberika air putih kepada mereka berdua. Keduanya tak bicara hanya saling lirik, jangan ada yang tahu bahwa mereka berdua kompak belum membaca doa. Agni mengecup pipi Kadaffi gemas sebelum mengambilkan selai anak lekaki itu dan mengoleskannya pada roti gandum. Sesekali ia melirik ke arah Abian yang nampak lahap memakan rotinya, beruntung anaknya itu bukan tipe pemilih dalam makan. Setelah mereka selesai sarapan, empat lelaki itu akhirnya berangkat bersama. Agni mengantarkannya hingga ke depan teras rumah. “Ibu jangan lupa jemput aku!” seru Kadaffi saat mobil mulai berjalan. Agni menganggukan kepalanya sambil berjalan menuju dapur dan tidak lupa menutup pintu. Wanita itu menatap sedih ke arah masakan yang telah ia buat untuk sarapan keluarganya. Baiklah, ia akan mengingat untuk tidak menghidangkan makanan berat saat sarapan. Setelah menyimpan masakan-masakannya agar tidak bersentuhan dengan udara bebas langsung. Agni kembali melirik jam besar yang tergantung di ruang itu, pukul enam lewat tiga puluh menit. Wanita itu segera melakukan pekerjaan rumah tangga, seperti mencuci pakaian, menyapu dan mengepel, hal yang biasa ia lakukan. Hingga tak terasa sudah satu jam lebih ia memberaskan rumah.  Agni mendudukan sebentar tubuhnya diatas kursi untuk beristirahat, namun seketika wanita itu bergegas menuju pintu rumah saat mendengar suara tukang sayur berteriak lantang dari arah jalanan. Ia kira di perumahan mewah seperti ini sudah tidak ada lagi tukang sayur. Sebelum pergi ke kantornya, Abimanyu sempat memberikan amplop tebal yang ternyata berisi uang yang begitu banyak. Lelaki itu bilang bahwa itu uang bulanan keperluan dapur. Untuk uang khusus dirinya akan diberikan nanti. “Uang khusus? Uang untuk apa, Mas?” Pria itu hanya mengatakan menggunakan uang itu seterah kemauannya. Dan, ia hanya mengangguk tak ingin membantah Abimanyu. “Sayur! Sayurrr!” Tukang sayur yang Agni cari tadi ternyata berada diujung jalan blok rumahnya. Sudah ada beberapa ibu-ibu yang berada disana sambil belanja dan menggobrol. Yah, jalur dan tempat dimana gosip akan berhenti lalu menyebar kembali. “Pagi ibu-ibu.” “Eh, isteri barunya Abimanyu kan?” Seorang Ibu-ibu yang nampak seusianya menyapa Agni. Total ada tiga ibu-ibu yang berbelanja disana ditambah Kang Sayur. “Iya, nama saya Agni,” ujarnya sambil tersenyum. “Panggil aja saya Mama Fatur. Anak saya temenan kok sama Araka,” ujar wanita yang tadi menyapa Agni, Arista. “Kalo saya panggil aja Bundanya Jijan, Jihan dan Jilan,” kata seorang wanita yang nampak paling muda disana. Jani. “Lho kok begitu, sih, say? Jadi aku harus dipanggil Maminya Reno, Rasha, Fathi, Elsa sama Bila gitu?” Seorang wanita nampak sewot ketika kedua teman seperbelanja sayur memperkenalkan mereka dengan sebutan Ibu dari anak-anaknya. Mereka enak anaknya dua atau satu, yang anaknya lima gimana? “Mangkanya say, tahan dikit,” ujar Arista sambil terkekeh lalu diikuti Jani. “Sekarepmulah. Panggil aja saya Mami Reno,” ujarnya Raisa menyebut nama anak sulungnya. Agni pikir ibu-ibu disana akan menyingung  perihal ia yang berstatus isteri baru dari Abimanyu. Nyatanya tidak sama sekali, mereka malah bercerita tentang kenakalan anak-anaknya, suaminya susah bangun dan hal-hal lain hingga merembes ke masalah ranjang. Buibu namanya. “Suami aku itu tiap hari minta itu terus, capek aku,” ujar Raisa sambil memilih bayam-bayam yang berada di gerobak sayur. Mungkin itu penyebab ia memiliki anak yang banyak. “Yah, baguslah say. Pada nanti naninu-nya sama wanita diluar.” “Duh, amit-amit gusti!”  “Mbak Agni gimana malam pertamanya? Asoy enggak?” tanya Jani selaku yang paling muda disana. Ternyata usia Agni, Raisa dan Arista tak terlalu jauh hanya berbeda dua atau tiga tahun sedangkan pada Jani berbeda lima tahun. Ditanya seperti itu membuat pipi Agni bersemu merah. Ia hanya mengangguk sambil tersenyum. “Vulgar banget, sih, say,” ujar Arista sambil melempar daun kakung yang terlepas dari ikatannya. Jani hanya tertawa yang dibalas senyuman oleh Agni. “Ibu-ibuk saya deluan. Mampir ke rumah sesekali kalo enggak sibuk.” “Siap-siapp!” ujar ibu-ibu disana sambil mengancungkan jempol. Ibu milenial. Agni kemudian membawa belanjaanya yang bisa dibilang sangat banyak. Wanita itu akan memasak setengah jadi makanan ini, seperti ayam, ikan dan lain-lainnya lalu menyimpannya di kulkas. Ini semua ia lakukan agar ketika Araka atau yang lain kelaparan ditengah malam tidak susah untuk mencari makanan keluar. Agni jadi teringat tentang Araka yang kelaparan tadi malam. Sesampainya didepan rumah, dahi Agni langsung mengerinyit ketika melihat mobil milik suaminya yang telah terpakir di garasi rumah. Mungkin ada sesuatu yang tinggal atau hal yang diperlukan Abimanyu. Buru-buru wanita itu masuk kedalam rumah dan melirik jam yang menunjukan pukul sembilan. Ketika Agni hendak menaiki tangga karena mungkin Abimanyu sedang berada disana dan meninggalkan belanjaanya di depan tangga, suara dentingan piring dari arah dapur membuat niat Agni yang ingin menuju kamar mereka terhenti.  Pelan-pelan Agni berjalan menuju dapur. Pemandangannya yang membuat hatinya begitu bahagia terpampang jelas. Ketika Abimanyu, suaminya tengah makan dengan lauk yang Agni buat dengan lahap.  “Mass?” “Uhukk!” panggilan Agni ternyata mengejutkan Abimanyu yang sedang menelan nasi. Lagi, buru-buru Agni menuangkan teko berisi air ke gelas untuk suaminya. “Mas kok sudah pulang?” tanyanya. “Saya lapar,” pendek sekali.  Namun jawaban itu tetap membuat hati Agni bahagia. “Kamu dari mana?”  “Ohh,” Agni tersadar, ia kembali ke depan tangga dan membawa belanjaan yang tadi ia beli. “Aku belanja ini, Mas. Nanti aku buat makanan setengah jadi nanti dimasukin ke kulkas biar kalo mas sama anak-anak lapar tinggal dimasak. Kalo aku enggak ada, Mas juga enggak repot.” “Memangnya kamu mau kemana?” Pertanyaan itu membuat Agni yang sedang mengeluarkan bahan makanan terhenti. Abimanyu menatapnya dalam dari atas bangku meja makan yang terhubung langsung ke dapur. “Aku enggak akan kemana-mana, Mas.” Abimanyu tidak tahu kenapa bibirnya langsung menanyakan pertanyaan seperti itu ketika perkataan Agni yang membuatnya berpikir ia itu akan pergi namun ketika yang wanita yang telah sah menjadi isterinya itu menjawabnya, perasaan lega menghiasi hati Abimanyu. “Ini persiapan untuk tengah malam. Kalo-kalo Araka atau Mas kelaparan di tengah malam.” “Saya tidak pernah kepalaran tengah malam Agni.” Bagi Abimanyu hal itu adalah hal yang aneh. Makan lahap disaat semua orang tertidur nyenyak? “Tapi, malam tadi perut Mas berbunyi walau keadaanya mas sedang tidur.” “Kamu salah dengar, itu mungkin suara gemuruh.” “Mungkin kali, Mas. Soalnya suaranya terdengar jelas dan besar,” ujar Agni kembali ke meja makan dan melihat lauk yang ia buat tadi tinggal setengah. Ah, Agni paling bahagia ketika masakannya dimakan. “Jam dua nanti ada orang yang akan memasang AC dikamar Abian. Kamu tunjukan nanti ya.” “Ac? Untuk apa, Mas? Bian kayaknya enggak suka, bahkan terkena kipas anging pun enggak mau. Bian mudah masuk angin.” “Pasang saja, nanti mungkin akan terpakai.” “Bukannya itu pemborosan Mas?” tanya Agni sambil membawa piring sisa makan Abimanyu ke wasafel dan menyimpan sisa lauk. Lalu wanita itu membuatkan teh untuk suaminya. Omong-omong Abimanyu tidak suka kopi. “Nanti bukannya bisa dipake?” tanya balik Abimanyu. “Saya hanya tidak mau nanti Abian berpikir yang tidak-tidak. Kenapa hanya dikamarnya tidak ada Ac? Sedangkan di kamar saudaranya ada semua walau sekalipun ia tidak meminta. Saya tidak mau Abian berpikir seperti itu. Itu akan membuatnya sedih.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD