Ika dan Lala tersentak semakin kaget setelah mendengar kalau laki-laki yang akan dinikahi Yuni sosoknya sudah tua.
“Yang bener, Oneng? Lo jadi bini ke berapa?” Ika melotot pada Lala. “Sory,” Imbuh Lala lalu nyengir.
“Dia belum kawin. Kata Abah masih bujangan.”
“Kenapa kamu baru cerita sekarang?” Ika bertanya lebih lembut.
“Gue awalnya mau jual yang ada aja tapi tetep nggak cukup. Sampai akhirnya Abah bilang soal perjodohan itu. Kemaren kita baru ketemu dan minggu depan gue bakal nikah sama dia di depan Abah di rumah sakit. Huwaaaa ... huwaaaaaa ....”
Yuni menangis dan meraung sejadi-jadinya lagi. Entah bagaimana perasaan wanita yang hidupnya selama ini bebas dan sekarang dihadapkan dengan kondisi tak menyenangkan seperti sekarang ini. Pastilah frustasi.
“Lo yakin sama keputusan lo sekarang?” Lala mencoba meyakinkan sahabatnya itu.
“Gue nggak punya pilihan. Nyawa Abah taruhannya. Perusahaan collapse dan gue butuh duit yang nggak bisa dikasih kecuali sama investor.”
“Udah coba ke bank?” timpal Ika.
“Nggak bisa. Gue nggak ada jaminan, Minceu. Gue keknya kena azab keseringan mainin berondong sekarang malah dapet aki-aki bangkotan."
Kalimat Yuni membuat kedua sahabatnya seketika terbahak puas, sesaat lalu berdeham saat Ika lebih dulu berhenti dan melotot pada Lala.
“Terus Dirga gimana?” Yuni menggeleng. “Tapi elo harus bilang sama Dirga. Gimanapun Dirga pasti ngerasa kecewa karena keseriusannya dipermaikan. Dan kalau itu laki bangkotan itu masih bujang, gue yakin sih dia pasti suka maen cewek. Masa iya pengusaha tajir nggak pernah icip-icip dikasur.”
“Tapi kenapa sekarang mau nikah sama Nyai, Neng?" polos Ika. Nyai adalah panggilan khusus lain keduanya untuk Yuni.
Lala mengendikkan bahu. “Udah mau die kali. Punya penyakit parah atau ada masalah sama jantungnya. Sibuk kerja sampai lupa kawin dan ngurus hidupnya. Mungkin dia butuh yang mau ngurus dan nemenin aja. Emang umurnya berapa?”
“Katanya seumuran Umi.”
“Masih bisa diajak maen lah walaupun mungkin nggak se-hot Dirga. Yang penting tajir. Biar warisannya jatoh ke tangan lu. Aman dan tuh perusahaan Abah lo kalaupun dia mati.”
“Sialan lo! Tau aja," kelakar Yuni.
Lala terbahak. “Diapain itu cowok?”
“Gue suruh tanda tangan perjanjian. Kalau kita cere, investasi nggak boleh dicabut.”
“Cakep! Tapi kenapa nggak tungguin aja sampai mati? Siapa tau beneran sakit. Kan jadi janda kaya nanti lo.”
“Bener juga, lo Nong. Jadi janda kaya gue,” sahutnya mulai ceria sementara Ika hanya bisa mengelengkan kepalanya melihat kedua sahabat yang mulai ngawur omongannya.
Tapi begitulah kadang ketiganya saat harus menghadapi sesuatu yang menyebalkan. Prinsip hidup mereka juga sederhana. Kalau masih bisa ditertawakan, untuk apa ditangisi.
“Yaudah, mandi gih. Sarapan, terus tidur. Gue juga mau ke kafe,” pungkas Lala.
Yuni pun masuk ke kamarnya. Sedang Lala dan Ika melanjutkan sarapan lalu beraktifitas seperti biasa.
Dan satu minggu kemudian ...
Suasana ruang perawatan kamar VVIP itu sedikit ramai pagi ini. Yuni yang sudah selesai merias tipis wajahnya, mengenakan kebaya brokat pink dan tumpal cokelat karya tulis pengrajin batik di Jogja.
Perempuan yang omongannya selalu nyablak dan doyan dugem itu akhirnya menikah. Meski terpaksa, Yuni melakukannya demi sang Abah yang sedang sakit keras juga perusahaan mereka yang akan bangkrut awalnya.
Selain tua, calon suaminya itu punya perut buncit seperti beruang kutub hamil yang benar-benar ia runtuki dalam hatinya.
Apapun yang dibanggakan dari Gema, nyatanya bagi Yuni tetap saja tak bisa mengubah kenyataan kalau pria itu tua. Sudah tua dan dia pun tak cinta. Lengkaplah nestapanya.
Meski otak Yuni menolak terutama karena ia juga masih menanti Dirga, tapi tidak dengan hatinya. Yuni menyerah dengan permintaan sang Abah. Ia tak ingin membuat kondisi Abahnya semakin memburuk kalau ia membangkang.
Dokter sudah mewanti-wanti jangan sampai stres dan kondisinya menurun karena bisa saja tubuh tua itu menyerah sewaktu-waktu akibat sakit ginjal yang sudah berimbas ke organ yang lain.
Stres memang sumber penyakit. Tapi kebahagian juga salah satu obat mujarab yang bisa membuat seseorang bertahan lebih lama. Dan Yuni ingin membuat Abahnya bahagia. Semua, semata demi keluarganya.
“Udah, jangan sedih. Entar malam pertamanya merem aja. Bayangin aja si Dirga yang masukin tapi jangan kelepasan salah nyebut nama. Dipecat langsung bisa-bisa lo jadi janda nggak pake kaya,” bisik Lala berkelakar.
“Pura-pura lagi dapet aja gimana, Nyai? Alasan keramatnya perempuan,” saran kuno Ika.
Yuni tampak berdecih pada kedua sahabat yang kini terkekeh lalu memeluknya.
“Lo selalu bilang kalau keputusan yang udah diambil itu pantang disesali 'kan?” ujarnya pada Lala.
“Hm. Karena penyesalan itu cuma akan bikin lo jalan di tempat. Sedang kebahagiaan itu harus dikejar dan diperjuangkan,” balas sang sahabat bijak.
“Senyum orangtua kamu mungkin harganya mahal di dunia ini. Tapi siapa tau dosa kamu yang doyan dugem dan nyicipin berondong-berondong itu langsung ilang selesai ijab qabul,” timpal Ika kali ini.
“Bangke lo berdua emang. Sobat gada akhlak!” umpatnya sambil mendelik.
Meski menyebalkan, kedua sahabatnya inilah yang menguatkannya selama seminggu ini.
Ya, setelah pertemuan Yuni dan Gema kala itu, Yuni tak pernah mengunjungi orangtuanya sampai tadi malam mereka akhirnya menghabisakan waktu bersama sebelum Yuni diserahkan pada suaminya nanti.
Begitulah Yuni. Meski hidupnya tertekan dan menyedihkan, ia selalu bisa menghadapinya dengan sedikit candaan.
“Lo berdua bantu doa aja biar tuh aki-aki cepet mati. Jadi gue bisa cepet kawin lagi sama Dirga.”
“Jangan nyuruh gue dong! lo berdoa sendirilah. Gue ikutan dosa nanti," sahut Lala.
“Sok ngomongin dosa lo, Nong. Giliran mendesah sama Banyu doyan.”
Lala terkekeh dan membalas, “Masalahnya Dirga masih mau nerima lo apa ga setelah nanti jadi janda?”
“Nerima dong! janda seksi, milyarder lagi. Siapa yang mau nolak coba?" ledek Ika.
Ketiganya pun tertawa setelah puas saling mengejek dan dorong-dorongan kecil. Astra dan Dahlia yang sedari tadi memperhatikan, tersenyum kecil sambil mengusap ekor mata mereka yang basah.
Rasa bersalah menggenang di relung hati mereka. Namun apa mau dikata, hanya ini jalan satu-satunya terutama karena pria yang akan menjadi menantu mereka adalah orang yang mereka percaya bisa membahagiakan putrinya. Pun begitu dengan sang adik yang juga merasakan perasaan yang sama karena tak mampu berbuat banyak untuk menghentikan kebangkrutan keluarga mereka.
Ketiganya melantunkan doa dalam hati untuk perempuan kuat itu agar Gusti Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang memberinya kehidupan pernikahan yang baik dan bahagia.
Tak lama kemudian pintu kamar ruang VVIP itu dibuka. Semua yang ada di sana serentak menoleh ke arah pintu yang kini sudah menampilkan sosok Gema, Si Pria tua yang katanya tajir melintir.
Rombongannya tidak banyak. Hanya ada dua pasang laki-laki dan perempuan yang juga sudah berusia lanjut selain si pengantin pria juga Asisten pribadi dan ajudannya.
Detak jantung wanita itu tiba-tiba saja menari lantang. Yuni terpana karena pagi ini Gema mencukur rapih janggut dan kumisnya. Tidak seperti saat mereka bertemu pertama kali.
Rambut klimis hasil dicukur pendeknya disisir rapih ke belakang. Khas pria eksekutif kelas atas. Meski tetap terlihat tua, entah kenapa perempuan nyablak itu sedikit merasa terintimidasi dengan auranya.
'Kenapa rasanya dia gagah, ya? Padahal udah tua 'kan dia tuh.’
Gema Cahya Mangunkarta. Pria yang usianya ditaksir hampir setengah abad itu tersenyum hangat padanya. Ada gelenyar aneh yang dirasakan Yuni seketika.
Ika dan Lala yang mengapit di sebelah perempuan itu tampak mengernyit dengan penampilan Gema.
'Dih, udah tua kok pake behel segala, sih. Alay!'
Yuni bergegas bangun dari duduknya. Menyapa mereka lalu mempersilahkan duduk di kursi yang sudah disediakan. Kedua keluarga itu tampak berbincang ringan hingga penghulu yang diundang datang.
Pagi ini Abahnya Yuni terlihat lebih segar. Sesuai keinginannya, ia akan menikahkah sendiri putri pertama dari istri keduanya itu sebagai wali.
Dengan suara lemah tapi masih terdengar tegas, Astra mengulurkan tangan yang disambut calon menantunya, kemudian mengucap kalimat ikrar yang dibantu sang penghulu.
“Saya nikahkan dan kawinkan engkau Gema Cahya Mangunkarta dengan putri kandung saya Rahyauningtyasih binti Astra Juanda dengan mas kawin perhiasan seberat sembilan puluh gram dan tabungan di bank sebesar dua belas milyar dibayar tunai,” ucapnya lalu menggoyangkan tangan Gema.
Ika dan Lala saling tatap membeliak tak percaya mendengar jumlah mas kawin yang diberikan. Persis dengan tanggal dan tahun lahir sahabatnya itu. Tapi tidak dengan Yuni yang bergeming. Baginya semua harta itu tak sebanding dengan pengorbanan yang harus dijalaninya.
Dan dalam satu tarikan nafas serta suara yang berat Gema pun melafalkan kalimat balasan sakral yang diikuti seruan ‘SAH’ dari beberapa orang di sana sebelum akhirnya dilanjutkan dengan alunan doa dari sang penghulu.
Yuni memeluk Umi-nya yang sudah bercucuran air mata pun dengan kedua sahabatnya yang ikut merangkul erat. Lala dan Ika melantunkan doa dalam hati masing-masing. Berharap kebahagaian senantiasa menaungi Yuni selamanya.
Kini, resmi sudah Yuni menyandang status sebagai istri pengusaha batu bara yang lingkup bisnisnya berada di Kalimantan. Hanya saja ia masih harus menghadapi lagi satu rintangan. Yaitu malam pertamanya nanti.
'Welcome to the hell, Yun,' lirihnya dalam hati.
“Ehem.”
Gema menoleh saat Yuni mengantarkannya sampai lobi rumah sakit. Tatapannya seperti mengunci Yuni yang jadi kesulitan menelan ludah.
“Mau pergi?” katanya memecah kecanggungan.
“Iya. Ada yang mau kamu sampaikan?”
“Gue–emm maksudnya saya harus panggil apa setelah ini?”
“Kamu sukanya apa?”
Alis perempuan itu naik ke atas satu sebelum mebalas, “Maksudnya?”
“Bukankah kamu yang akan memanggil saya dengan sebutan itu? Jadi kalau tidak nyaman bagaimana kamu suka saat memanggil saya nantinya?”
Yuni memilih acuh dengan ucapan pria yang kini sudah resmi jadi suaminya. Gema melihat jam di pergelangan tangan karena harus buru-buru pergi.
“Maaf, kalau malam pertama kita harus ditunda. Saya ada urusan yang tidak bisa dikesampingkan sama sekali karena pernikahan kita–“
“Mendadak,” sela Yuni. Dengusan itu terlihat sinis di wajahnya. “Nggak masalah. Nanti kabari saja kalau udah pulang.”
Gema tersenyum hangat. Yuni langsung meninggalkannya. Tapi, wanita itu kembali berbalik setelah beberapa langkah dan berkata, “Hati-hati,” kemudian melanjutkan langkahnya menuju ruang perawatan Abah-nya.
Tanpa Yuni tau kalau Gema sudah menarik kedua ujung bibirnya ke atas sambil memperhatikan punggung wanita yang kini sudah resmi jadi miliknya itu.
Bersambung