“Kamu harus menikah dengan dia.”
“Apa?” Yuni tersentak dari duduk. Tak sadar menepis tangan Abahnya dengan kasar.
“Neng, dengarkan Abah kamu dulu, Sayang,” pinta sang Umi menenangkan putrinya.
“Kok Abah bisa buat keputusan itu tanpa bilang dulu sama Eneng? Abah nggak mikirin perasaan Eneng?”
Air mata ketiganya jatuh bersamaan.
“Maafkan Abah, Neng. Maafkan orangtua payah ini yang tidak bisa bertanggung jawab sebagai kepala keluarga. Maafkan Abah.”
Astra, ayah kandung Yuni itu melirih sambil memegangi d**a di antara isaknya. Rasa nyeri seakan memaku hati pria itu kala menatap wajah sang anak yang terluka.
“Maafkan Umi, Neng.”
Dahlia, perempuan yang sudah melahirkannya itu bahkan sampai rela ikut bersimpuh.
“Umi nggak sanggup kalau perawatan Abah harus dihentikan. Tolong Umi, Nak.”
“Abah sama Umi mau ngejual Eneng?”
“Astagfirullohaladzim, Neng. Jangan bilang begitu. Umi mohon.”
“Abah sama Umi tega!” desis Yuni sambil berlinang air mata.
Yuni segera berlari keluar kamar perawatan abahnya, tak menghiraukan sekitar hingga menabrak seseorang di depannya.
“Maaf,” katanya lalu kembali berlari menuju parkiran. Sosok pria yang ditabrak Yuni itu menatap kepergian Yuni dengan raut yang tak terjemahkan.
“Calon istri Tuan bukan?” kata sang Asisten di sampingnya.
“Iya. Dia Yuni. Ayo!” serunya mengajak sang asisten menuju kamar perawatan.
Pria itu mengetuk pintu lantas mengucapkan salam setelah mendengar seruan izin masuk dari sang empunya kamar.
“Waalaikumsalam. Silahkan masuk, Nak!” Astra mempersilahkan pria yang ditabrak Yuni tadi masuk.
“Duduk, Kang.” Dahlia menunjuk kursi di dekat tempat tidur sang suami.
“Apa kabar? Maaf merepotkan dan mengganggu kesibukannya sampai harus datang ke sini,” imbuhnya.
“Tidak apa, Bu. Kebetulan saya bertemu klien di dekat sini jadi sekalian saja,” jawab pria itu sambil duduk sementara sang asisten berdiri di sampingnya.
"Panggil Umi saja," sahut Dahlia membiasakan.
"Baik," kata pria itu sepakat.
“Saya harus minta maaf Gema. Sepertinya kalian tidak bisa bertemu hari ini,” ucap Astra kali ini.
Pria yang ternyata bernama Gema itu pun tersenyum setelah memperhatikan wajah keduanya yang masih menyisakan rona merah dan basah sebelum menjawab,
“Tidak apa, Bah. Yuni pasti syok. Apalagi kalau dia tau harus menikahi lelaki tua seperti saya.”
“Selagi kamu bisa menerima Yuni kurang lebihnya, sabar dan menyayangi dia sepenuh hati, Abah akan sangat bersyukur. Dia putri kami yang paling baik. Selama ini sudah banyak menanggung beban keluarga,” terang Astra.
“Insha Allah. Saya akan menjaga Yuni dengan baik. Terima kasih sudah mengijinkan saya menikahinya. Kalau begitu saya pamit dulu.”
“Abah usahakan kalian cepat bertemu.”
Gema mengangguk kemudian menyalami keduanya sebelum pergi.
Tapi entah sampai kapan Yuni harus menunggu. Karena nyatanya sudah berbulan-bulan Dirga pergi belum ada kepastian kapan pria yang sangat diinginkannya itu kembali.
Sejak kepulangan Dirga ke negara asalnya, hari-hari Yuni serasa hampa dan sepi.
Beberapa kali untuk melepas rindu, perempuan itu datang ke apartemen Dirga dan tidur di sana sambil mengenakan kaos milik pria itu.
Yuni rindu belaian Dirga, sentuhan Dirga, ciuman Dirga dan pelukan hangat nan menenangkan yang selalu mampu Dirga berikan di saat-saat seperti ini. Saat dunia seperti mengabaikannya.
‘I miss you, Ga. Miss you so much.’
‘Me too, Hon. Tunggu aku, ya!’
Begitulah kalimat yang selalu Dirga katakan di ujung sambungan telpon mereka sebelum berakhir.
Tapi hari ini harapan itu seperti dirampas darinya. Yuni yang kehilangan Dirga karena jarak kini harus kehilangan Dirga karena keadaan keluarganya setelah apa yang didengarnya dari sang ayah.
“Abah sama Umi jahat!” makinya sambil tancap gas.
Yuni hanya bisa menangis sesenggukan di kamar di rumah orangtuanya. Ia tak pernah menyangka kalau kedua orangtuanya akan melakukan perjodohan tanpa sepengetahuan dirinya.
Yuni pun menelpon Dirga. Rasanya hanya Dirga obat kesedihannya saat ini.
“Kamu menangis, Hon?” tanya pria itu dari seberang telepon sana.
“Nggak. Gue lagi pilek, Ga,” dustanya. “Lo kapan balik sih, Ga? Gue udah kangen banget.”
“I miss you too, Hon. Aku punya kabar baik. Dua bulan lagi aku akan pulang.”
“Really?” Dirga bergumam mengiyakan. “Can’t wait to see you again, Beb.”
“I want you so badly, Beb.”
“Me too, Dirga.”
Percakapan itupun berlangsung hingga satu jam dan Yuni ketiduran saking lelahnya.
“Sleep tight, Baby. I love you,” ucap Dirga sebelum menutup telponnya lebih dulu karena Yuni yang sudah tak merespon lagi.
Keesokannya, Yuni yang sudah lebih tenang, memutuskan kembali ke rumah sakit. Namun sebelum itu, ia membuka sebuah kotak yang berisi jepit rambut berbentuk kupu-kupu warna perak lantas membawanya menuju pohon mangga di belakang rumah.
Sambil berjongkok, dipandanginya jepit rambut itu sebelum menatap bagian bawah pohon mangganya. Mengantarkan Yuni pada ingatan masa kecilnya puluhan tahun lalu.
Pikiran perempuan itu menerawang ke masa 23 tahun yang lalu. Saat …
“Neng, aku harus pergi. Kamu jangan nangis ya kalau kita nggak bisa main lagi. Kalau kamu mau cerita, cerita aja sama Boy dan Ciput.” kata Lele. Tetangga sekaligus teman bermain Yuni selama dua bulan terakhir sejak mereka pindah ke sebelah rumahnya.
Yuni tidak tau nama asli Lele. Dia hanya sering mendengar keluarga Lele memanggilanya dengan sebutan ‘Le’ hingga Yuni membuat panggilan sendiri dari nama itu.
Lele punya anjing dan kucing yang diberi nama Boy dan Ciput yang kemudian dititipkan pada Yuni karena tak bisa membawa turut serta dalam kepindahannya kali ini.
“Kamu mau ke mana, Le? Kenapa pergi? Kalau kamu pergi aku nggak ada temen main. Boy sama Ciput juga pasti sedih.”
“Aku harus pergi. Papa pindah kerja ke luar negeri. Titip Boy dan Ciput, ya?”
“Kamu nggak akan balik lagi, Le?” Yuni mulai menangis.
“Jangan nangis, Neng.” Lele mengusap pipi Yuni yang basah kemudian menepuk-nepuk bahunya. “Ini buat kamu. Disimpan baik-baik ya kenangan dari aku. Kamu tetap teman aku yang cantik dan baik hati. Kalau kamu kangen aku, liat aja jepit ini.”
Namun saat ini …
Anjing dan kucing yang Lele titipkan itu sudah meninggal saat Yuni saat masih SMP. Keduanya dikuburkan di dekat pohon mangga di belakang rumah Yuni.
Setiap kali Yuni rindu dengan sahabat masa kecilnya itu, ia akan membawa jepit rambut itu dan duduk di sana sambil memandangi kuburan anjing dan kucing milik Lele yang dititipkan padanya.
“Le, Boy, Put, aku harus gimana?” monolognya sebelum wanita itu akhirnya pergi ke rumah sakit.
“Maafkan Abah dan Umi, Neng,” ucap Astra setibanya Yuni di kamar perawatannya.
Perempuan itu merasakan sakit karena melihat kedua orangtuanya sampai memohon seperti itu padanya.
Perawatan Abahnya, keberlangsungan hidup keluarganya, bahkan pernikahan adiknya yang juga harus dilaksanakan segera tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Perusahaan hasil rintisan dari nol ayahnya itu sudah di ujung jurang kehancuran beberapa waktu lalu dan bakal dipastikan collapse jika tidak bisa mendapatkan suntikan dana segar. Untunglah ada pria bernama Gema yang mau menolong mereka.
Umi yang biasanya tak pernah mengekang putrinya itu pun rela bersimpuh di depannya. Hancur sudah hati Yuni. Berat tapi takdir harus dipilihnya.
Yuni menyerah. Ia sendiri tidak bisa melakukan apapun untuk mencegah kebangkrutan keluarganya. Yuni takut kalau ini adalah permintaan terakhir sang Abah. Sehingga ia tak mau mengecewakan orangtua karena penolakannya.
“Kapan Neng bisa ketemu sama calonnya?” jawab wanita itu seketika.
“Neng beneran mau?” tanya kedua orangtuanya tak percaya. Yuni menganggukan kepalanya. “Alhamdulillah. Tapi ada yang Neng harus tau.”
Yuni bergeming karena rasa hidup yang sudah tak ada gairahnya lagi sambil berucap,
“Apa, Bah?”
“Gema sudah tua. Tapi dia bujangan.”
Yuni tak merespon. Dia sudah tak peduli. Saat menerima perjodohan ini bagi Yuni dunianya sudah runtuh. Apapun yang terjadi yang penting Abahnya tetap bisa dirawat dan keluarganya tidak kesusahan.
Perempuan itu hanya tersenyum sebagai respon seraya memaklumi apa yang dikatakan Abahnya.
Tok tok tok….
Pintu terbuka. Masuk dua orang berperawakan tinggi. Satunya berjanggut panjang dan berambut gondrong diikat. Sedang satunya terlihat lebih muda dengan pakaian kantor yang fit di tubuhnya.
“Halo Yuni. Saya Gema.”
Pria berambut gondrong itu mengulur tangan setelah diperkenankan menghampiri.
“Yuni,” balasnya acuh.
“Maaf sebelumnya tapi saya tidak punya banyak waktu. Apa bisa kita langsung ke inti pembicaraan?”
Kedua orangtua Yuni mengangguk sementara Yuni masih diam. Tatapan pria itu kemudian beralih padanya.
“Kamu ingin pernikahan kita dibuat seperti apa konsepnya? Katakan saja. Biar Asisten saya yang urus semuanya,” terang Gema sambil menyerahkan beberapa brosur dari wedding organizer.
‘Gila! Sombong amat ini aki-aki. Tapi siapa yang mau hajat. Ogah banget gue kalau orang-orang sampai tau gue kawin sama aki-aki,’ desisnya dalam hati.
“Sederhana aja. Ijab qabul di sini. Abah ‘kan nggak bisa ke mana-mana,” sahutnya.
Gema tersenyum. Entah kenapa senyum itu membuat Yuni sedikit merasakan desiran aneh di hatinya.
“Baiklah. Apa ada persyaratan atau keinginan lain yang kamu inginkan?”
“Ada.” Tanpa pikir perempun itu kembali berkata, “Kalau suatu hari kita bercerai, gue … ehm … maksudnya, saya nggak mau investasinya diambil lagi.”
Bukannya marah atau menolak, Gema justru menyetujuinya tanpa pikir. Bahkan tak menolak ketika Yuni menyerahkan sebuah perjanjian hitam di atas putih bermaterai yang ia siapkan tadi pagi dan akan disahkan di hadapan notaris.
‘Apapun, Yun. Karena saya akan membuat kamu jatuh cinta pada saya,’ gumam Gema dalam hatinya.
Yuni mengerutkan kening. Janggal dengan respon Gema tapi kemudian memilih abai.
“Kalau begitu saya pamit dulu. Dokumen dan syarat pernikahan kita akan diurus Asisten saya nanti. Kamu tenang saja persiapkan diri," tutur pria itu kemudian pamit dan bersalaman dengan mereka.
“Neng?” panggil Astra lembut pada sang anak.
“Tolong, Bah. Neng akan berusaha jadi istri yang baik nantinya walaupun ini akan sulit karena Neng nggak cinta sama sekali. Tapi kalau pernikahan Neng nantinya gagal, setidaknya Neng nggak mau nyusahin Abah dan Umi dengan membuat keluarga kita bangkrut untuk yang kedua kalinya. Maafin sikap Neng kalau bikin Abah dan Umi sakit hati,” ucapnya bergetar.
“Umi dan Abah yang harusnya minta maaf. Karena kami hidup kamu jadi susah.”
Yuni tersenyum memeluk Uminya. “Umi udah susah payah ngurus Neng. Ini nggak ada apa-apanya dibanding pengorbanan Umi dan Abah selama ini.”
Ketiganya lalu berpelukan erat. Yuni pamit pergi ke kantor meski nyatanya perempuan itu kembali ke apartemennya.
Tnit tnit tnit ....
Bunyi passcode apartemennya terdengar ditekan.
Ceklek ....
“Tumben balik pa–”
Belum Lala menyelesaikan kalimatnya, Yuni langsung berhambur memeluk sambil menangis meraung.
Lala dan Ika saling pandang dengan segala keterkejutan mereka.
“Lo kenapa, Oneng?” imbuh sang sahabat.
“Duduk dulu, yuk!” ajak Ika lantas mengambilkan air minum. Mereka membiarkan Yuni menangis sepuasnya dulu sebelum bertanya lagi.
“Gimana? Udah bisa cerita sekarang?” buka Lala.
“Ada masalah apa?” imbuh Ika.
“Hidup gue ancur sekarang, huwwaaa ... hiks ... huwaaaa ...”
“Ancur? Ancur kenapa? Perusahaan lo bangkrut?” Pertanyaan Lala pun diangguki Yuni dengan cepat.
“WHAT?” Kedunya kompak memekik tak percaya.
“Si Minyak Jelantah bau nyuri surat aset perusahaan dan ngejualnya. Dia berhasil dapet tanda tangan Abah dengan cara ngejebak. Rumah, tanah sampai ruko, aset perusahaan dia jual. Belum lagi nyuri duit di brangkas sama nyairin cek di bank sampe miliyaran terus kabur. Ada duit proyek juga. Cewek LAKNAT!” Yuni mengumpat lepas.
“Terus udah lapor polisi?” kejar Lala.
Yuni menggeleng. “Nggak mungkin lah, Nong. Bokap nggak akan mau masukin anaknya ke penjara.”
“Tapi tetep aja Yun kakak tiri elo salah. Dan itu kriminal. Lima ratus rebu mah bisa diikhlasin, ini milyaran. Anak durhaka gitu mah nggak usah dikasihanin.” Emosi Lala lolos.
“Gue nggak bisa apa-apa. Dua bulan lalu gue bingung. Proyek mundur terus. Klien mulai curiga. Akhirnya sebulan lalu Abah nyerah. Ada pengusaha tajir yang mau nyuntikin dana segar ke perusahaan dengan syarat gue harus nikah sama dia."
“Terus?”
“Tapi ... huwaaaaaa ... huwaaaaaa....”
“Tapi apa, Oneng? Ngomong dulu! Meweknya ntar,” gemas Lala dengan panggilan khususnya pada Yuni.
“Dia bangkotan, Beb. Aki-aki."
Bersambung