Yuni tidak tahu dirinya akan dibawa ke mana. Padahal ia bisa bertanya meski sang suami sedang menyetir. Tapi, suasana hatinya yang masih kesal, digoda Gema tadi membuatnya urung membuka mulut untuk sekedar basa basi.
Toh, tidak mungkin suaminya itu akan membawanya ke tempat aneh-aneh, sebab sejak awal mereka sudah sepakat bahwa hari ini keduanya akan pulang ke rumah mereka. Rumah yang akan ditinggali Yuni dan Gema seterusnya, meski Yuni tidak tahu pasti di mana lokasinya.
Mobil pun melaju keluar tol dan masuk ke sebuah jalanan yang cukup asri. Di kiri kanan juga pembatas jalan tengah, ditumbuhi rumput hijau yang terpangkas pendek dengan pohon palem yang berbaris rapih dan tinggi-tinggi.
Trotoar yang ada di sepanjang jalanan itu tertata baik. Posisinya diapit taman-taman selebar dua meter sehingga pejalan kaki aman dari lalu lintas kendaraan yang lalu lalang.
Dalam komplek perumahan ini juga terdapat fasilitas yang ia lihat. Mulai dari supermarket, sekolah, rumah sakit, bahkan katanya perumahan ini juga memiliki fasilitas olahraga lengkap juga gedung perkantoran serta retail dan resto yang tertata rapih lokasinya.
Yuni tau perumahan elit dengan konsep kota mandiri ini sejak lama. Tapi, baru kali ini ia berkunjung sekaligus akan menjadi salah satu penghuni cluster di mana kediaman mereka berada.
Keduanya pun tiba di sebuah cluster dengan nama Tatar Ratnasasih sekitar belasan menit kemudian.
Dua orang asisten rumah tangga pria dan wanita menyambut mereka dengan wajah sumringah di depan rumah.
“Mang Asep tolong bawakan koper istri saya ke kamar,” ucap Gema setelah turun dari mobil. Sementara Yuni mengekori sang suami menghampiri asisten rumah tangga satunya lagi.
“Bi Yayuk, kenalkan ini istri saya Yuni.” Gema kemudian menatap Yuni.
“Bi Yayuk ini asisten rumah tangga di sini sejak Akang di tinggal di rumah lama. Mang Asep tadi suaminya,” terang Gema pada Yuni.
“Selamat datang Nyonya,” ucap wanita paruh baya itu sambil membungkukkan badan dan mengulurkan kedua tangan untuk menyalimi sang majikan baru.
“Makasih, Bi. Saya Yuni,” sahut perempuan itu ramah sambil tersenyum dan membalasa uluran tangannya.
Gema mengajak Yuni ke dalam sambil menjelaskan bahwa ada satu orang asisten rumah tangga lagi yang biasa membantu namun tidak tinggal di rumah. Namanya, Bi Juju. Yuni pun menanggapinya dengan gumaman saja sambil mengikuti langkah suaminya menuju lantai dua di mana kamar mereka berada.
“Ini kamar kamu. Kamar Akang ada di sebelah.” Yuni mengerutkan kening.
“Jadi, kita nggak akan tidur sekamar?” Gema tersenyum sambil mengangguk pelan.
Langkahnya terayun menghampiri wanita itu kemudian. “Kalau Neng mau tidur dengan Akang, boleh. Akang hanya tidak akan memaksa kalau Neng belum siap,” bisiknya tepat di depan wajah Yuni.
“Jadi kita nggak akan–“
Kalimatnya menganggantung. Kata-katanya tertelan lagi saat ingin membahas sesuatu yang mengganggu pikiran Yuni setelah sang suami mengatakan kalau mereka akan tidur terpisah barusan.
“Nggak akan apa?” lirih Gema dengan suara yang entah kenapa jadi terdengar seperti menggoda Yuni.
“Ehem, nggak usah pura-pura nggak tau deh. Jadi kamu–“
“Akang.” Yuni mendengus.
“Iya. Jadi A-KANG nggak akan minta jatah sampai aku siap?” Gema sampai tertawa. Tawa yang entah kenapa menurut Yuni terlihat lucu apalagi karena perut buncitnya jadi ikut berguncang, membuat Yuni tertegun sejenak hingga tak menyadari jarak mereka sudah terkikis berikutnya.
“Neng?”
Aroma mint dari mulut Gema membuat wanita itu tersadar saat hembusannya menyapu bibir Yuni.
Yuni otomatis mundur saat menyadari posisi mereka, sementara Gema langsung mengulur tangan ke belakang pinggang sang istri guna menahan tubuh Yuni yang akan jatuh ke belakang.
“Hati-hati, Neng Sayang,” ucap lembut Gema dengan senyum menawan.
Jantung Yuni berdegub kencang. Tubuhnya menegang karena panggilan sayang sang suami.
Ini aneh sekali. Karena meskipun kesal atau tak suka, entah kenapa Yuni tak bisa protes saat ini. Sel-sel dalam tubuhnya merespon dengan cara aneh. Dan perasaan Yuni ini lebih kuat daripada saat bersama Dirga.
Buru-buru Yuni mendorong tubuh Gema sedang sang suami langsung merespon dengan menarik lengan istrinya karena takut wanita-nya benar-benar jatuh.
Karena sama-sama tak siap, Yuni yang oleng jatuh ke atas kasur bersama Gema dengan posisi sang suami menindih setengah tubuh Yuni.
Tatapan mereka bertemu. Saling mengunci dalam keterdiaman. Namun, tidak dengan jantung keduanya yang sedang menari lincah di dalam sarangnya.
“Kang?” lirih Yuni gugup. Gema tersenyum karena wanita itu mau memanggilnya dengan panggilan yang sudah ia tentukan tanpa diminta.
Padahal sebelumnya Yuni masih ngotot tak terima dengan wajah ketus.
“A-akang m-mau apa?” gugupnya bertanya.
“Mau apa? Menurut kamu posisi kita seperti ini baiknya melakukan apa?” Yuni menelan ludah. Sikap galak dan juteknya menghilang begitu saja ketika sudah berhadapan dengan pria yang menyandang status suaminya dengan posisi yang intim.
Wajah Gema semakin maju dan maju. Yuni reflek memejamkan mata dan mengernyit, menanti apa yang akan dilakukan suaminya itu.
Hey! Apa? Menanti? Kenapa dia mau menanti apa yang akan dilakukan suaminya? Apa dia berharap hal-hal yang ‘iya-iya’ dengan sang suami?
Sial!
Yuni meruntuk dalam hati apalagi saat sesuatu yang menggembung menekan perutnya.
Matanya langsung terbuka dan turun ke arah perut. Hampir saja ia tertawa karena menyadari kalau perut sang suami lah yang menyadarkannya.
“Minggir!” sentaknya tanpa Gema siap menerima dan akhirnya jatuh di karpet.
“Aduh!”
“Akang!” responnya memekik dan membeliak.
“Dosa loh Neng kasar sama suami,” sahut Gema yang terlihat kesulitan bangun karena perutnya yang buncit.
“Siap suruh tadi nindih-nindih. Nggak tau apa tuh badan kayak beruang kutub. Berat tau,” dumalnya.
“Kok ngatain Akang beruang kutub?” protes Gema sambil berusaha bangun.
Yuni berdecak sambil menarik tangan gema dan membantunya bangun. Tapi, karena tubuh Gema yang tinggi besar, Yuni kehilangan keseimbangan lagi dan berakhir seperti sebelumnya.
“Awww!”
“Ad–hhhmmmpppttt …. ”
Membeliak. Kelopak mata Yuni mengerjap-ngerjap sambil menahan nafas saat merasakan bibirnya ditimpa bibir sang suami yang juga terkejut menimpa tubuh istrinya lagi.
Gema langsung menopang diri dengan kedua tangan memerangkap Yuni dari samping tubuhnya meski posisi mereka tetap saling menindih dan perut Gema yang menekan perut Yuni.
“Kang?”
Sial!
Gema memaki dalam hati karena bibir Yuni yang terbuka oleh sebab memanggilnya.
Rasanya ingin melahap bibir menggodanya sang istri tapi, ditahan sekuat tenaga mengingat ia tidak ingin memaksa dan membuat Yuni berakhir membencinya nanti.
“AKANG BERAT!” teriak Yuni menyadarkan sang suami.
“Maaf ... maaf,” ucap Gema sambil bangun dan membantu Yuni duduk. Suasana canggung kembali menyeruak di antara keduanya.
Gema berdeham untuk mencairkan ketegangan yang dirasakan karena berdekatan dengan sang istri seintim ini setelah bibir mereka saling menubruk.
“Neng kalau mau mandi dulu silahkan. Habis itu kita makan malam. Handuk dan semua keperluan sudah Akang sediakan. Tinggal pakai saja,” tuturnya canggung lalu bangun dan meninggalkan kamar sang istri.
Yuni hanya bisa melongo dengan tingkah sang suami. Wanita itu langsung mendengus setelah pintu kamarnya tertutup.
“Gue kayak perawan yang baru pertama deket sama cowok sih?” gumamnya sambil menepuk-nepuk d**a karena debaran jantung yang tak kunjung tenang.
“Nggak bisa dibiarin ini. Jantung gue bisa anfal. Yang ada gue die duluan dibanding Ab–“
Plakkk ….
“Astaga naga! Gue ngomong apa sih? Kok malah mikirin Abah yang jelek-jelek? Anak durhaka lo, Yun.”
Yuni menampar-nampar lagi pipinya sambil berucap, “Waras Yun, waras. Lo ngelakuin ini semua buat Abah sama Umi. Jadi, nggak boleh ngeluh.”
Seorang diri Yuni pun berjalan menuju walk-in closet dan mencari bathrobe mandi.
Tak lama pintu kamarnya diketuk tepat setelah Yuni selesai mengeringkan rambut.
“Siapa?”
“Saya, Nyonya. Bi Yayuk,” seru sang pemilik suara dari luar.
“Iya, Bi. Kenapa?” tanya Yuni setelah membukakan pintu.
“Tuan sudah menunggu di meja makan, katanya Nyonya diminta ke sana kalau sudah selesai.”
“Oh, iya,” sahutnya kemudian berjalan mengikuti dari belakang.
Tampak Gema sudah menunggu dan tersenyum menyambutnya. Pria itu memberi isyarat pada asisten rumah tangganya untuk membiarkan mereka berdua di ruang makan.
Yuni pun menuangkan nasi dan lauk pauk untuknya sendiri sementara Gema memperhatikan sambil menunggu apakah dirinya akan dilayani atau tidak.
Wanita itu lantas menutup mata seraya berdoa sebelum mengambil sendok dan garpu untuk menyantap makanannya.
“Ehem!” batuk rejan itu menghentikan suapan pertama Yuni tepat di depan mulut yang sudah terbuka.
Yuni menoleh ke samping dan mendapati sang suami sedang menopang dagu sambil menatap lembut padanya.
“Nggak makan?” Gema tersenyum.
“Akang nunggu Neng mengambilkan nasi dan lauknya.”
Yuni meletakkan sendok makannya.
“Harus ya diambilin? Tangannya lumpuh?” sindirnya ketus namun tetap menarik piring yang ada di depan Gema dan melakukan apa yang diinginkan suaminya.
“Tidak. Hanya ingin saja merasakan saja dilayani istri.”
Yuni berdecih dalam hati. Istri dari Hongkong? Bagaimana bisa ia melakukan semua hal itu dengan natural sementara pernikahan mereka saja mendadak dan terpaksa.
Keduanya menikmati makan malam mereka tanpa pembicaraan. Bi Yayuk menghampiri untuk membantu Yuni membereskan sisa makanan yang ada setelahnya.
“Bibi sama Mang Asep sudah makan?”
“Setelah ini Nyonya. Biar Bibi yang bereskan saja.”
“Nggak papa. Saya udah biasa kok. Bibi sama Mang Asep makan aja. Saya juga mau cuci piring,” tuturnya kemudian membawa piring kotor ke dalam bowl sink.
Gema yang memperhatikan memberi isyarat sang asisten rumah tangga untuk mengikuti mau Nyonya-nya saja. Gema pun mengikuti ke mana sang istri membawa piring-piringnya.
“Kamu mau–“
Prakkk ….
“Astaga naga!” pekik Yuni kaget setelah menjatuhkan piring yang dibawanya.
“AKANG!”
Gema menciut dengan teriakan nyaring wanita itu ditambah delikan sadisnya yang menghujam ngeri.
Yuni langsung berjongkok memunguti pecahan piring yang jatuh.
“Jangan!”
Srettt ….
“Awww! Sssshhhh!”
Gema langsung menarik jemari Yuni yang terkena pecahan piring dan mengeluarkan darah lalu menghisapnya dengan cepat.
Gema bahkan menelan darah itu tanpa terlihat jijik. Yuni tertegun sampai tak bisa berkata-kata. Dan hisapan itu seakan memberi rasa aneh yang membuat Yuni seketika mendamba sesuatu.
“Kang, kenapa darahnya–“
“Kamu ini ceroboh sekali sih?” tuturnya lantas memanggil Bi Yayuk untuk membereskan kekacauan yang terjadi.
Gema menarik sang istri ke ruang tengah dan mengobati lukanya.
“Seharusnya kamu tidak perlu–“
“Akang yang ngagetin tau nggak! Dan itu kenapa tadi darahnya–aduhhh Akang!”
“Ssssttttt! Akang obati dulu. Baru nanti protes,” potongnya sambil meletakkan jari di bibir wanita itu.
Yuni membeku dengan gerakan sang suami. Tanpa ia sadari, hatinya tersentuh dengan apa yang dilakukan Gema untuknya.
Bersambung