“Ada yang mau disampaikan?” tanya Gema sambil membereskan kotak P3K yang selesai digunakan untuk mengobati tangan istrinya yang terluka.
Yuni menggigit bibir. Entah kenapa keberaniannya menciut setelah mendengar suara baritone seksi milik sang suami dengan nada penuh perhatian.
Gema yang tak mendapat jawaban, merasa diperhatikan mengangkat kepala sehingga tatapan mereka bertumbukkan.
Senyum hangat ia berikan lebih dulu untuk sang istri yang terlihat gugup.
“Kenapa? Sakit tangannya?” Yuni menggeleng. Semakin kuat menggigit bawah bibirnya untuk menyalurkan kegugupan yang dirasakannya.
“Lalu? Kenapa ini harus digigit?” tuturnya sambil mencubit dagu wanita-nya agar gigitan itu terlepas sebelum diusapnya dengan jempol si bibir seksi yang akhirnya lepas dari gigitan.
Desiran dalam darah Yuni makin mendidih. Buru-buru ia tepis tangan Gema dari bibirnya.
“Nggak usah modus!” galaknya membuat sang suami malah terkekeh gemas.
“Jangan galak-galak kenapa, Neng. Akang hanya–“
“Stop!” sentaknya membuat Gema terkejut kemudian memasang wajah dingin.
“Tidak bisakah kamu bicara baik-baik dengan suamimu ini?” Yuni berdecih.
“Suami ya? Aku bahkan nggak tau suamiku ini orang seperti apa selain kaya raya dan …. “
“Dan apa?” Yuni tergagap ingin mengatakan tua.
Sial!
Dia tidak boleh membuat masalah meski perjanjian mereka sedang diurus notaris. Jadi sebelum disahkan, ada baiknya Yuni menjaga sikap tak sukanya.
“Dan pemaksa!” desisnya bangun dari duduk. Langkahnya terhenti karena Gema menarik pergelangan tangannya.
“Kalau begitu duduk. Kita bicara baik-baik. Jangan menggunakan emosi. Apa wajah suami kamu ini semenyebalkan itu sampai kamu maunya marah-marah terus?”
Kalah telak.
Jelas saja banyak yang membuat Yuni tak suka pada suaminya ini. Dan lagi, apa suaminya ini tidak sadar, dia bukan wanita yang mau menikah dengan laki-laki tua meski kekayaan yang dimiliki laki-laki-nya melimpah ruah.
Yuni masih ingin menikmati dan menjalani hidup sesuai dengan apa yang diinginkan, tanpa campur tangan dan batasan orang-orang di sekitarnya. Tapi, lihatlah sekarang, wanita ini malah terkurung dalam sebuah rumah mewah bersama laki-laki yang akan sebisa mungkin ia hindari.
Yuni lantas teringat percakapan dengan kedua sahabatnya beberapa hari lalu di apartemen mereka.
Yuni akui di depan kedua sahabatnya wanita ini berbohong akan menjadi istri yang baik, sebab semua lebih sulit dari bayangannya.
Saat berhadapan langsung seperti ini, emosinya malah menggebu-gebu. Inginnya bertengkar, ketus atau nyolot padahal suami yang sudah mengajaknya bicara baik-baik bahkan dengan nada yang lembut. Tapi kenapa emosi Yuni yang maju duluan? Batinnya.
Bagaimana kalau nanti di depan orangtuanya Yuni malah kelepasan karena terbiasa bertengkar seperti ini. Yuni tak bisa pura-pura terus menerus. Lalu apa yang harus dilakukannya sekarang? Wanita ini benar-benar pusing.
“Mau bicara baik-baik atau cukup menurut setelah mendengarkan perintah Akang?” tegas Gema memberi tawaran. Namun, dengan nada yang mulai melembut. Terdengar dari panggilan yang ia gunakan untuk dirinya sendiri.
Selama ini Gema bukan tidak tahu tentang kehidupan Yuni sama sekali, ia tentu tau semua yang terjadi di hidup istrinya sebelum mereka bertemu dan menikah. Tak terkecuali tentang Dirga.
Hanya saja, Gema belum mendapat informasi banyak tentang laki-laki itu karena orang suruhannya masih menyelidiki.
“Apa tidak cukup syarat yang Akang berikan padamu?” Yuni mendongak dengan tatapan yang sulit diterjemahkan.
“Maksudnya?”
“Akang sudah mengikuti keinginan kamu bukan? Tentang perjanjian pra nikah kita. Akang juga tidak memaksa kamu melakukan kewajiban kamu sebagai istri. Apa hanya melayani di meja makan sesulit itu?”
Yuni tertegun. Ada nada memelas yang terselip dalam kalimat yang diucapkan laki-laki di hadapannya ini. Tapi kenapa? Kenapa Gema tampak sefrustasi itu?
“Kenapa syarat yang diajukan harus dengan pernikahan? Apa kalian laki-laki nggak tau, pernikahan bagi seroang wanita itu adalah …. “
Yuni tak kuasa menahan laju air matanya yang jatuh di antara rasa kesal yang menyelimutinya.
Gema mendesah pelan. Duduk bergeser lebih dekat dan mengusap air mata di wajah yang kini menunduk.
“Maafkan Akang. Tapi Akang butuh, Neng.”
Yuni tertegun menatap sang suami dan berucap, “Butuh?” Gema tersenyum hangat. Mengulur tangan hendak menangkup sisi waja Yuni namun urung sebab tak ingin ditepis wanita-nya lagi.
Alih-alih mengusap wajah, Gema memilih mengepalkan tangannya. Dan hal itu tak luput dari penglihatan Yuni. Wanita ini malah berfikir apa mungkin suaminya kesal sekali sampai ingin memukul tapi ditahan sehingga tangannya mengepal kuat.
“Akang sudah berjanji akan menjaga dan membahagiakan kamu.”
Yuni semakin penasaran. Ada bagian degub jantungnya yang entah kenapa tiba-tiba berharap sesuatu.
Hey! Maksudnya apa berharap sesuatu? Memang mereka punya hubungan sedekat apa? Kenapa perasaan yuni jadi seperti bingung?
“Hanya itu? Apa hubungannya.”
“Bagaimana Akang bisa menepati janji pada Abah kalau kamu tidak ada di hidup Akang. Karena itu Akang butuh kamu.”
Yuni sudah geer. Ternyata alasan suaminya itu hanya soal janji setelah ijab qabul.
“Tapi aku nggak bisa. Aku nggak cinta sama–“
“Akang janji akan membuat kamu bahagia. Atau kamu sudah punya pria lain dalam hati kamu.”
Telak lagi. Yuni tak bisa menyangkal. Di hatinya ada Dirga. Tapi kalau ia katakan sekarang, Yuni takut Gema akan menyingkirkan Dirga.
Yuni takut Gema adalah golongan orang berkuasa yang bisa menggunakan cara kejam dan kotor untuk membereskan masalah yang dihadapinya.
“Nggak ada. Aku nggak punya pacar.” Gema tersenyum senang.
“Jadi apa masalahnya kalau begitu? Karena Akang tua?”
“Itu tau,” akunya jujur sambil memutar bola mata malas. Gama terkekeh.
“Tapi tidak ada kata tua untuk pria. Kalau yang kamu cemaskan Akang tidak bisa memuaskan kamu di atas ranjang, ayo kita buktikan sekarang. Akang bisa buktikan kalau kamu bisa hamil.”
Yuni membeliakkan matanya.
“Sinting!”
“Neng! Bahasanya.”
Yuni tertegun.
“Ya emang Akang sinting. Jangan samakan aku sama wanita lain yang mau tidur dengan siapapun.”
“Yang kamu sebut siapapun itu suami sah kamu kalau lupa,” tegasnya lebih dalam.
Yuni ingin berteriak memaki rasanya. Kenapa dari tadi ucapannya selalu kalah.
“Atau kamu yang memang takut karena–“
“Karena apa? Akang mau yang perawan maksudnya? Maaf kalau begitu harus mengecewakan karena–“
“Tidak usah dibahas lagi.”
Gema menggeram dalam hati. Ia yakin Yuni pasti sudah tidur dengan laki-laki bernama Dirga itu. Tapi bukan itu masalah. Gema hanya tidak suka karena hati Yuni juga jadi milik laki-laki itu. Padahal ia ….
Ah, sudahlah. Yang jelas Gema berjanji dalam hati akan membuat Yuni hanya menjeritkan namanya di hati wanita ini.
“Tidurlah.”
Yuni berdiri menghentak kakinya seperti anak kecil. “Jadi dari tadi Akang cuma mau bahas ini? Nggak jel–ahhhhh!”
Yuni memekik kaget karena pria itu langsung menggendong tubuhnya seperti karung beras lantas berjalan menaiki tangga.
“Lepas. Turunin. Aku bisa jalan!” amuknya sambil memukul-mukul bahu dan punggung Gema.
“Umi ngidam apa sih Neng waktu hamil kamu sampai anak cantiknya ini senang teriak-teriak, hm?”
Blush ….
Pukulannya terhenti. Wajahnya merona. Untungnya Gema tidak bisa melihat itu sehingga Yuni tak perlu menutupi wajahnya yang memanas. Dan keterdiaman Yuni membuat Gema ingin tertawa.
Wanitanya ini masih sama lucunya meski galaknya minta ampun tapi gampang dibuat malu.
Malu? Iya, Gema yakin Yuni pasti sedang malu karena pujian tak langsungnya tadi. Tapi tidak dengan Yuni yang sekarang masih tertegun karena sebutan cantik yang diucapkan suaminya.
Jelas saja Yuni cantik. Ia juga selebrgam yang content make tutorialnya digemari banyak followernya.
“Jelas lah aku cantik. Mana ada cewek ganteng.”
“Kalau begitu jangan galak dan teriak-teriak seperti Tarzan. Nanti cantiknya–“
“APA? TARZAN? NYEBELIN! SIAPA YANG–hhhmmmpppttt .... ”
Yuni membeliak karena bibirnya digigit sang suami setelah pria itu mendudukkannya di atas tempat tidur.
“Cerewet!”
“Kamu!”
Gema langsung mendorong bahu Yuni agar perempuan itu berbaring.
“Tidur. Kalau tidak mau Akang tid–“
“Matiin lampunya,” selanya ketus sekaligus dengan salah tingkah sebab gigitan Gema yang entah kenapa membuatnya berdebar.
Yuni langsung membalikkan tubuh memunggungi sang suami yang masih menyelimutinya, dilanjut dengan tepukan pelan di atas kepala juga ucapan selamat tidur sebelum lampu kamarnya benar-benar mati. Menyisakan suasana remang karena lampu nakas yang menyala di kedua sisi tempat tidurnya.
Yuni langsung meraba bibirnya yang dikecup sang suami setelah suara pintu yang ditutup terdengar.
“Kok aneh sih? Ah, udah gila lo Yun. Inget! Dia aki-aki. Bakal cepet die. Tapi dipikir-pikir dia kayaknya sehat deh. Perutnya doang yang buncit. Tapi belum tentu dia sakit juga ‘kan?”
Yuni bangun lagi dari tidurnya setelah menyibak selimut dengan gerakan kasar.
“Gue harus cari tau. Eh tapi buat apa sih? Masa gue mau bikin dia cepet die? Ih, amit-amit Yun. Elo bukan penjahat kali. Nggak usah bunuh-bunuhan.”
Kalau ada yang melihat wanita itu saat ini, sudah dipastikan mereka akan mengatainya gila karena bicara sendiri dengan ekspresifnya. Yuni menjentikkan jari dengan raut sumringah.
“Ah, bikin dia stres dan emosi aja. Nanti kesel dan capek sendiri lo juga pasti dilepasin, Yun. Sesabar-sabarnya cowok pasti nggak tahan kalau disiksa dan digalakin ceweknya terus,” tuturnya sambil mengusap-usap dagu.
“Hm ... bener. Gue galakin dan ketusin terus aja. Hahaha … bener. Ayo, sekarang tidur. Biar besok ada tenaga buat tengkar dan bikin dia sebel sama elo Rahayuningtyasih. Hahahaha,” monolognya seperti orang gila kemudian menguap sebelum akhirnya benar-benar tidur dengan senyum bahagia.
Sementara itu, di ruang kerjanya sana Gema menyibak tirai jendela yang langsung menampilkan pemandangan danau di belakang rumahnya.
Pandangannya menerawang ke atas langit yang sedang menampilkan bulan purnama yang terang benderang dengan sempurna.
“Apa aku bisa membuat kamu mencintaiku, Yun?” lirihnya sambil menengadah dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.
Untuk beberapa jenak, Gema terus menatap ke arah bulan purnama yang pantulan sinarnya mengilau di atas air danau sebelum akhirnya ia kembali berkutat dengan pekerjaannya yang banyak.
Bersambung