Lagi-lagi Laras kebingungan mencari pakaian yang cocok di pakainya. Bukan karena Laras tak cukup memilik baju, namun seluruh bajunya sudah ia pakai dan lupa untuk di cuci, wanita itu bahkan kadang memakainya sampai beberapa kali.
"Atau pake ini aja ya?" Laras bermonolog di depan cermin sembari tangannya memegangi kaos oblong putih berlengan pendek.
"Ini aja deh, di paduin sama jaket jeans warna hitam." Gumamnya, sembari memakai pakaian yang dipilihnya. Untuk masalah penampilan Laras sangat masa bodoh, menurutnya asalkan nyaman Laras memakainya tak akan menjadi masalah. Lagi pula untuk apa terlihat modis dan cantik namun membuat yang memakai merasa tak nyaman justru kehilangan jati diri.
Srett.. srettt
Botol berisi pewangi ia semprotkan di seluruh badannya. Sebenarnya botol itu sudah kosong, tetapi Laras isi dengan pewangi pakaian yang biasa digunakan saat mencuci. Tersenyum puas merasa segar kembali, Laras melaju pergi.
Ia tak boleh kelihatan buruk di depan bosnya, ini hari pertamanya kerja sekuat mungkin ia harus membuat image yang baik di depan Candra. Dan akan memamerkan pekerjaan barunya kepada para sepupu.
Ponselnya bergetar di saku celana jeans yang ia pakai. Laras mengenryit saat nomor baru masuk menghubunginya.
Iya siapa ya?
Saya, pak Candra
Laras terkejut,
Ada apa ya pak?
Kamu sudah sampai mana, kita ada meeting sekarang jangan lelet Angeli atau kamu saya pecat di hari pertamamu. Saya membutuhkan materi itu secepatnya!
Laras memejamkan mata saat teriakan itu menendang gendang telinganya.
Baik pak saya segera kesana.
Panggilan itu ia putus sepihak, tak begitu memikirkan siapa yang menghubunginya. Urusan Candra memarahinya akan ia terima di belakang nanti. Motor matic itu melaju dengan kecepatan tinggi. Fokusnya hanya satu ia sampai di kantor tepat waktu. Seharusnya ia memberikan materi itu pada Candra tadi sehingga tak membuatnya kerepotan seperti ini.
Laras ngebut, bahkan ia tak memperdulikan nyawanya sendiri. Demi pekerjaan yang akan menaikkan derajat diri Laras rela mati, sampai pada akhirnya
Brakkk.. sih
"Aduh.." Motor Laras menabrak pengendara lain yang juga ingin berbelok dari arah Utara. Sayangnya lelaki tersebut tak memberi kode untuk berbelok, alhasil mereka jatuh tersungkur di atas aspal. Banyak orang dan pengendara lainnya yang berhenti hanya untuk sekedar ingin tahu dan menolong. Walau tak jarang dari mereka merekam kejadian.
"Saya bantu berdiri mbak." Seorang pria membantunya berdiri. Laras mengaduh kesakitan saat rasa nyeri dan perih serta terkejutan bercampur menjadi satu. Sikunya lecet, telapak tangannya berdarah sepertinya kakinya keseleo.
"Aduuuhh pelan-pelan pak." Lirih Laras, saat dipapah oleh pria tersebut untuk menuju ke trotoar jalan.
Laras duduk menselonjorkan kedua kakinya. Ia meniup-niup telapak tangan yang perih. Disampingnya seorang pria yang menabraknya duduk tanpa rasa bersalah. Seakan tak adil lelaki itu tak mengalami luka sedikitpun.
"Maaf mbak saya tadi gak fokus."
Laras menoleh penuh kebencian kearah pria itu. "Kalau gak fokus ngapain naik motor?" Sengitnya,
"Maaf mbak. Saya bakalan ganti rugi, kerusakan motor dan luka yang ada di tubuh mbak." Laras terdiam, mendengar kata motor wanita itu menoleh kearah motornya yang rusak parah. Mata itu melotot sempurna kala melihat lampu motor yang pecah, serta bagian lain yang tergores aspal.
"Saya gak mau tau ya mas, pokoknya harus ganti rugi!"
"Baik mbak, tapi saya baru punya duit 600 ribu di dompet."
Lagi-lagi wanita itu terdiam, enam ratus ribu bahkan tidak cukup untuk memperbaiki lampu dan stiker motor yang tergores apalagi luka ditubuhnya juga perlu diobati. Laras menggeleng kuat, lalu berkata
"Saya gak mau tau, 600 ribu gak bakalan cukup. Kalau kamu tidak bisa menggantinya disini banyak saksi saya bisa tuntut kamu."
"Jangan mbak."
"Makanya.."
"Ini, mbak bawa kartu nama saya dan kunci motor saya sebagai jaminan. Disana ada nomor hape saya bisa mbak hubungi dan alamat rumah saya jika memang saya tidak kunjung menepati." Kata pria itu bersungguh-sungguh. Laras mampu melihat kesungguhan dari sorot mata pria tersebut, akhirnya ia mengangguk dan menerima uang merah berjumlah enam tersebut.
Drrrttt...
Ponselnya bergetar di saku Jeansnya. Laras menghela napas melihat nama yang tertera
Sampai hitungan kesepuluh kamu tidak kembali, saya benar-benar akan..
Saya kecelakaan pak, di perempatan jalan.
Apa?, Tunggu saya segera kesana mengambil materinya.
Panggilan itu terputus, Laras mengernyit kesakitan saat sekujur tubuhnya terasa ngilu. Pria disampingnya itu menatap Laras tanpa kedip, seolah menyadari Laras meringsut menjauh.
"Kenapa lihatin saya?" Ketusnya
"Mbak ada perlu ya? Boleh saya antar sepertinya mbak tidak bisa berjalan."
"Tidak perlu, biar bapak ini saja yang mengantar saya.", Tunjuk Laras kepada bapak yang menolongnya tadi, pria itu terkejut lalu tersenyum
"Maaf mbak, saya ditungguin anak saya tuh." Mata Laras beralih menatap seorang anak kecil yang menunggu di motor, ia menggigit bibirnya merasa malu.
"Oh maaf pak, kalau begitu terima kasih telah menolong saya."
"Sama-sama." Kata bapak itu, lalu pamit untuk mendekati anaknya.
Suasana yang awalnya ramai berubah menjadi sepi, perlahan-lahan orang mulai pergi beraktivitas kembali. Laras yang memang tak ingin di bawa kerumah sakit, memilih menunggu bosnya menjemput dirinya walau masih ditemani oleh lelaki yang menabraknya.
"Yakin mbak?"
"Yakin." Ketusnya
"Kalau begitu saya pergi dulu."
Laras tak merespon, kakinya masih terasa nyeri. Sungguh hari ini adalah hari yang melelahkan dan nestapa baginya. Padahal baru saja kali pertama dirinya bekerja sudah banyak tertimpa masalah. Dari yang bertemu Candra di pagi hari dan dipalak oleh bosnya sendiri, kelupaan jadwal, bau badan yang menyengat, hingga ketabrak motor saat ingin kembali bekerja.
Apa semiris ini jika ingin kaya raya? Rasanya Laras ingin menangis ditempatnya saat ini juga, namun gagal mobil Candra berhenti di depannya.
Lelaki itu keluar dari dalam mobil. Berdiri menjulang di depan Laras, membuat kepala wanita itu mendongak
"Kenapa bisa sih?"
"Musibah gak ada yang tau pak." Jawab Laras, Candra terdiam
"Mana materinya?"
"Ini pak." Laras menyodorkan flashdisk, Candra menerimanya lalu berjalan mendekati mobilnya.
"Loh pak, saya kok ditinggal?"
Candra berbalik, mengamati Laras penuh prihatin
"Saya kesini ingin mengambil materinya, bukan kamu."