Alhasil Laras memilih naik angkot untuk sampai ke kantor. Meskipun kantor tersebut berjarak tak jauh dari tempat kecelakaanya Laras tetap membutuhkan kendaraan untuk sampai kesana. Walau sakit di sekujur tubuhnya membabi buta, ia tetap bertekad kuat untuk masuk mengingat ini hari pertama ia bekerja.
Mobil angkot tersebut sampai di depan gedung menjulang tinggi. Laras keluar dari dalam mobil, tak lupa membayar. Susah payah kakinya melangkah, karena harusnya ia beristirahat dirumah bukannya malah masuk bekerja.
Di loby, banyak pasang mata melihatnya yang berjalan pincang. Sampai pada akhirnya salah satu perempuan yang nampak lebih tua dari Laras mendekati.
"Kamu kenapa?"
Laras tergagap, "Tadi aku kecelakaan mbak."
"Kecelakaan?"
Laras mengangguk, wanita didepannya nampak prihatin lalu memberikan bantuan dengan memapahnya berjalan.
"Kenapa masih masuk sih?" Laras hanya tersenyum menanggapi, jelas ia harus masuk kalau tidak ingin di omelin oleh Candra
"Eh, kamu pegawai baru ya?"
Laras mengangguk sopan, "iya mbak, saya sekretaris baru pak Candra." Jawab Laras jujur
"Selamat ya, tapi kamu harus hati-hati." Kalimat itu berubah menjadi bisikan
Laras menoleh kearah wanita itu. "hati-hati kenapa mbak?"
"Pak Candra suka merintah-merintah." Desisnya. Laras terdiam, ternyata dugaannya benar melihat dari tampangnya saja Laras bisa menilai bahwa pria tersebut adalah pria yang diktator. Ia siap menguatkan kesabaran dan mentalnya menghadapi Candra demi duit.
"Gitu ya mbak." Laras hanya menanggapi seperlunya, tak ingin terlalu penasaran dengan kehidupan bos barunya.
Wanita itu mengangguk, "Nama kamu siapa?"
"Angelica Laras mbak."
"Aku Rere."
Laras tersenyum, sepertinya di kantor ini ia akan memiliki teman baru apalagi mbak Rere nampak sangat ramah padanya. Laras menyukai orang yang ramah.
"Aku balik dulu ya, kalau mau temuin aku di divisi keuangan." Katanya, setelah selesai mengantarkan Rere dimeja kerja
"Terima kasih mbak, siap nanti aku main-main kesana."
"Disini gak ada yang boleh main-main."
Kedua wanita itu terkejut, langsung menoleh kebelakang mendapati Candra yang berdiri sembari bersidekap. Tampangnya begitu arogant membuat Rere bergidik negeri dan berpamit pergi. Berbeda lagi dengan Laras yang justru memasang wajah ketusnya. Betapa otaknya masih menyimpan kejadian di trotoar tadi. Bos itu terlalu kejam dan biadab baginya. Harusnya Candra membantunya untuk sampai ke kantor bukannya malah meninggalkan Laras yang kesakitan. Ya walaupun memang benar, status mereka hanyalah atasan dan pegawai.
"Kenapa lihatin saya sampai segitunya, sekarang siapkan saya makanan."
"Ha?" Laras terkejut, mencoba mengecek telinganya yang tidak mengalami masalah
"Siapin saya makanan, rendang adalah favorit saya."
"Kok saya sih pak?" Protesnya, "bukannya disini ada office girl ya?"
"Tidak ada bantahan Angeli!" Katanya penuh penekanan. Laras menelan ludah, kakinya saja masih terasa nyeri belum luka yang ada ditubuhnya begitu perih Laras bahkan belum sempat mengoleskan obat merah. Memang dasar Candra biadab!
Dengan terpaksa Laras mengangguk "baik pak." Jawabnya lalu berpamit pergi dengan tertatih-tatih. Pergerakan itu tak luput dari penglihatan Candra walau sudut hatinya merasa kasihan tetapi sudut perutnya merasa perih. Candra membutuhkan Laras , bukan mengasihani wanita itu.
Dalam hati wanita itu mengumpat, menyumpah serapah lelaki yang tak memiliki hati. Tetapi berikutnya ia seperti mendapat Ilham, bibirnya tersungging senang lalu berjalan dengan susah ke parkiran.