Sudah beberapa hari rumah kembali sepi seperti tidak berpenghuni. Abangnya masih sibuk dengan kuliahnya, orang tuanya pun sibuk dengan pekerjaan mereka. Sedangkan Albert tidak lagi berkunjung atau mengirimkan pesan pada Karina sejak pertengkaran mereka beberapa hari lalu.
Karina tau seharusnya dirinya seharusnya bersikap berlebihan seperti itu. Hanya saja pertanyaan beruntun dari Albert membuat Karina sangat takut. Kemudian kata accident lah yang memicu kemarahannya. Karina tidak suka kata itu. Kata itu mengingatkannya akan kebodohannya. Kebodohan karena terlalu mempercayai seseorang sampai harus mengorbankan masa depannya seperti ini.
Setelah lama berpikir, Karina memutuskan mengirimkan pesan kepada Albert, memintanya untuk datang ke rumah. Pesan Karina dijawab dengan cepat.
“Aku ke sana sore ini!”
Karina merasa lega, setidaknya Albert membalas pesannya dan setuju untuk datang ke rumah. Karina pun memutuskan untuk mandi dan tampil sedikit rapi. Berharap masalah diantara mereka berdua bisa selesai setelah berbicara empat mata hari ini.
Tepat pukul 5 sore, Albert tiba di rumah Karina. Dengan canggung Karina mengajaknya duduk di ruang tamu setelah meminta tolong bik Ijah untuk membuatkan mereka minuman. Selama beberapa menit Karina dan Albert hanya saling menatap, sampai Albert membuka suaranya, "Maaf, Karin. Aku benar-benar minta maaf untuk yang terakhir itu. Aku nggak bermaksud begitu. Hanya sedikit ingin tau." Albert meringis.
"Kalau kamu nggak mau kasih tau juga nggak apa. Aku cukup tau diri kalau aku dan kamu belum dekat sampai kamu berani cerita tentang hal pribadi ke aku," lanjut Albert kemudian.
Karina mendesah lalu menggelengkan kepalanya pelan, "Aku kayaknya juga harus minta maaf. Tidak seharusnya aku bereaksi sekeras itu. Hanya saja... Aku tidak suka diingatkan kalau kehamilan aku ini terjadi karena kecelakaan." Karina menundukan kepalanya setelah mengucapkan kata kecelakaan.
"Tidak, Karina, itu salahku! Mulutku memang terkadang suka berbicara asal," Albert menggaruk pelan tengkuknya, "maaf, aku benar-benar tidak bermaksud begitu."
Karina mengangkat kepalanya dan kembali menatap Albert lalu tersenyum kecil, "Sudah, hentikan ini. Kita kayak lagi lebaran aja, maaf-maafan segala."
“Jadi, kita baikan nih?” tanya Albert memastikan.
“Tentu saja!”
***
Kehamilan Karina sudah memasuki bulan ke delapan. Dan kebetulan hari ini adalah hari di mana Karina harus memeriksakan kandungannya. Syukurlah bayi dalam kandungan Karina dalam keadaan sehat, hanya saja Karina harus berhenti memakan makanan dan meminum minuman yang dapat membuat bayi dalam kandungannya menjadi terlalu cepat bertambah berat.
Di usia kandungannya yang kedelapan ini, berat bayi Karina sudah mencapai 2,7 kilogram, memang itu masih terbilang normal, tetapi dokternya mengatakan tidak ada salahnya menjaga agar bayinya tidak bertambah banyak berat badannya, karena hal itu akan menyulitkan Karina nantinya ketika ia bersalin.
Karina sedang berada dalam perjalanan pulang sekarang. Seperti saat berangkat tadi, kali ini pun Karina bercakap-cakap dengan Katie, namun Karina sama sekali tidak fokus dengan apa yang Katie bicarakan. Karena pikiran Karina sedang melayang kemana-mana. Penyebabnya apalagi kalau bukan karena memikirkan Ray. Alhasil, Karina sama sekali tidak mendengar apa yang Katie katakan.
"Kamu kenapa, Karina?" tanya Katie.
Karina sedikit tergagap ketika menjawab pertanyaan mami, ia cukup terkejut ketika tau maminya menyadari bahwa dirinya tidak sepenuhnya memperhatikan percakapan mereka.
"Enggak apa-apa kok, Mami. Karina baik-baik aja," jawab Karina menenangkan maminya.
"Kamu yakin?" tanya mami lagi.
"Iya, Mamiku sayang. Memangnya kenapa?"
"Mami cuma ngerasa kamu aneh hari ini. Kamu enggak bersemangat menanggapi obrolan Mami, tidak seperti biasanya."
"Karina agak capek aja, Mami. Kayaknya belakangan ini jadi cepet lelah deh."
Katie menatap Karina tajam sesaat, lalu mendesah, "Iya, Mami tau kalau ibu hamil memang cepat lelah dan sering tidur. Apalagi usia kandungan kamu sudah memasuki trimester ketiga."
Karina mengangguk.
"Oh iya, jangan lupa besok kamu ada senam hamil di rumah sakit. Mami akan meminta Mang Ujang mengantar kamu dan Lastri ke rumah sakit."
"Lastri kenapa ikut, Mami? Aku bisa sendiri kok."
"No, enggak bisa! Lastri harus ikut menemani kamu. Kehamilan kamu sudah memasuki usia delapan bulan, mami khawatir."
Karina mengerutkan dahinya, "Apa yang Mami khawatirkan sih?"
"Kamu bisa saja melahirkan sewaktu di rumah sakit. Mang Ujang kan hanya bisa mengantarkan kamu ke rumah sakit, tidak mungkin mang Ujang menemani kamu sampai ke tempat senam hamil. Tetapi kamu juga tidak boleh pergi sendiri ke tempat kamu senam hamil, sayang. Duh, pokoknya Mami sangat khawatir kalau kamu pergi sendirian. Jadi, kamu harus pergi bersama Lastri!”
Karina mendesah, "Baiklah, Mami. Aku akan meminta Lastri menemani aku besok. Jangan khawatir lagi ya!”
Mami mengangguk senang.
Saat tiba di rumah Karina langsung masuk ke dalam rumah, sedangkan Katie kembali ke toko bunganya dan baru akan pulang ketika sore hari nanti. Sesampainya di kamar, Karina tidak beristirahat, melainkan duduk di meja belajarnya dan membuka laptopnya. Untuk mengusir rasa bosannya, Karina berselancar di sosial media.
Terbersit rasa iri ketika melihat teman-teman di UKM teater berfoto setelah pementasan teater minggu lalu. Karina sangat menikmati melakukan kegiatan di UKM teater. Oleh karena itu, ketika diharuskan cuti kuliah, salah satu hal yang paling Karina rindukan ialah berlatih dialog dan akting untuk pentas teater.
Tiba-tiba kotak chat pada f*******: pun terbuka dan memperlihatkan ada pesan dari Lilia, kakak sepupunya.
“Lagi ngapain kamu?”
“Baru pulang dari periksa kandungan sama mami. Kak Lila sendiri?”
”Baru mau pulang kerja dek. Kak Lila boleh main ke rumah kamu enggak?
Karina mengerutkan dahi dengan bingung lalu melihat ke jam digital di sebelah kasurnya. Jam tersebut menunjukkan pukul tiga lewat sepuluh sore. Baru jam tiga sore. Tumben kak Lila sudah pulang kerja?
“Kok cepet banget!”
“Barusan kak Lila izin ke kantor pulang cepet, alasannya sih sakit. Padahal kak Lila enggak kenapa-kenapa sih. Cuma kakak lagi banyak pikiran aja.
”Aku paham nih. Jadi, Kak Lila ke rumah Karina cuma mau curhat gitu? Kak Lila mau ketemu bukan karena kangen sama aku ya?
“Apaan sih, Dek!” Berasa kita ini pacaran aja deh.”
“Yee! Lagian kak Lila duluan sih tadi.”
“Ih, memangnya Kak Lila kenapa?”
“Ya sudahlah, Kak Lila ke sini aja. Karina siap dengerin semua curhatan Kak Lila, sekalian Karina juga mau cerita sesuatu.”
“Okay! Tunggu Kak Lila ya, Karina. Kak Lila sign off terus langsung berangkat ke rumah kamu dari kantor.”
Tumben sekali seorang Lilia bisa sampai segitunya cuma gara-gara ada masalah. Biasanya Lilia itu walau sedang ada masalah, biasanya tidak pernah tuh dia sampai minta izin segala. Apalagi alasan izin adalah sakit. Masalah yang di hadapi Lilia kali ini sepertinya cukup berat ya?
Karina tidak perlu menunggu kedatang Lilia terlalu lama. Tidak sampai satu jam setelah chat terakhir mereka di f*******: itu, Lilia sudah tiba di depan pintu kamarnya.
"Cepet banget."
"Masa sambutannya begitu sih?" sahut Lilia masam, "ekstra ngebut nih buat ketemu kamu."
"Bisa aja Kak Lila ini," Karina menepuk-nepuk tempat kosong di kasur, “sini duduk di sebelah aku."
Lilia menghempaskan dirinya dengan ke kasur sembari menghela napas berat, "Tau gak dek?"
"Bagaimana mau tau, Kak Lila juga belum cerita apa-apa ke Karina."
"You know, Rein?"
"Rain? Penyanyi korea?" Jawab Karina asal.
"Bukan! Aduh, Kak Lila serius ini!" kata Lilia gemas. Bisa-bisanya Karina bercanda di saat orang sedang serius-seriusnya.
"Iya, Karina tau! Laki-laki yang Kak Lila suka bukan? Dan Rein juga suka sama Kak Lila kan. So why?”
"Rein minta kakak jadi pacarnya tadi. Kak Lila terima. Dan...."
"Dan?" sambung Karina, memancing agar kak Lila cepat melanjutkan perkataannya.
"Dan kakak baru tau kalau Rein itu gak seiman sama kakak."
"Oh."
"Oh doang lagi komentar kamu. Dasar!"
"Memangnya Karina harus komentar apa? Atau Karina harus teriak heboh begitu?"
Lilia memutar matanya, "Ya, enggak begitu juga kali. Bisa kedengaran sama orang rumah kamu nanti."
"Nah, makanya itu Karina hanya komentar singkat aja. Karina juga enggak tau harus berkomentar seperti apa, Kak."
“Menurut kamu, Kak Lila harus bagaimana?”
"Putusin aja Kak Rein, Kak!"
"Hah? Masa begitu? Baru juga Rein nembak Kak Lila tadi."
"Lalu Kak Lila maunya bagaimana? Ini masalahnya sudah beda agama, kalau Kak Lila lanjutin juga percuma. Om sama Tante ga bakal setuju. Kak Lila sebagai anaknya pasti tau sendirilah bagaimana reaksi mereka kalau mereka sampai tau berita ini."
"Kak Lila paham. Tapi masa sih belum sampai sehari jadian Kak Lila sudah minta putus?”
"Tapi kalau kakak gak minta putus juga jadi kesannya seperti mempermainkan perasaan Kak Rein. Karena udah pasti kan orangtua kakak enggak akan setuju kalau Kak Rein berhubungan sama Kak Lila. Kecuali Kak Lila benar-benar sudah yakin mau menjadikan Kak Rein sebagai pendamping hidup Kak Lila selamanya."
"Kak Lila belum memikirkan sejauh itu sih.
“Intinya semua keputusan ada di tangan Kak Lila sekarang. Kalau Kak Lila memang mau melanjutkan hubungan kakak sama Kak Rein, ya Kak Lila harus siapin segalanya buat menghadapi keluarga besar kita. Restunya pasti tidak akan turun dengan mudah, Kak!”
“Kamu benar, Karina. Dan kalau Kak Lila tidak berniat menikah dengan Rein tapi tetap memaksakan hubungan ini. kesannya seperti mempermainkan perasaan Rein.”
Karina mengangguk setuju.
Melihat Karina menganggukkan kepalanya, Lilia pun menghela napas berat lagi, "Sepertinya Kak Lila harus memikirkan baik-baik soal itu. Oh iya, Kak Lila nanti menginap di sini ya?"
Karina terkekeh senang, “Dengan senang hati!"
"Kak Lila minta izin tante Katie dulu ya, sekalian mau telepon Mama Papa buat minta izin juga,” Lilia bangkit dari tempat tidur dan berjalan keluar dari kamar Karina.
Setelah Lilia pergi ke kamar maminya, Karina merasa kamarnya kembali sepi. Karina mendesah. Rasanya Karina ingin cepat-cepat melahirkan anaknya, supaya sesekali bisa pergi refreshing di luar, seperti nonton bioskop atau bernyanyi di tempat karaoke. Soal anaknya, Karina sempat berpikir tidak akan membiarkan siapa pun tau tentang anaknya. Bukan selamanya, karena tidak mungkin Karina menyembunyikan anaknya selamanya dari orang-orang selain keluarganya.
Misalkan, untuk teman-teman kuliahnya, Karina tidak akan memberitahukan kepada mereka perihal anaknya sampai Karina. Bahkan Karina berpikir, walau sudah lulus kuliah nanti Karina tidak akan memberitahukan kepada mereka tentang anaknya, kecuali suatu saat mereka tidak sengaja bertemu Karina dan anaknya di suatu tempat.
Karina kembali membuka laptopnya dan kembali menelusuri tentang nama-nama bayi. Bulan lalu, Karina menjalani USG dan akhirnya Karina mengetahui bahwa anaknya berjenis kelamin laki-laki. Karina sudah mendapatkan beberapa nama hasil berembuk dengan Katie, tapi hanya satu nama yang menarik hati Karina yaitu Daniel. Waktu berembuk dengan Katie, Karina memikirkan nama yang tepat untuk si kecil, Karina tiba-tiba mengingat kisah Daniel dan Babilonia, dan saat membaca deskripsi dari internet, Karina langsung menyukai nama Daniel.
Sepuluh menit kemudian terdengar pintu kamar Karina diketuk, "Masuk aja!" sahut Karina tanpa mengalihkan pandangannya dari laptopnya.
"Karina, ini darurat! Temenin Kak Lila keluar!" Begitu masuk ke kamar Karina, Lilia langsung menodong Karina untuk menemaninya pergi.
"Hah?"
"Ayo cepat kita pergi! Ini darurat."
Dengan cepat Lilia membantu Karina mempersiapkan tasnya lalu membawa Karina ke mobilnya. Dalam perjalanan, Lilia menjelaskan bahwa Rein meminta bertemu, sudah kangen katanya. Lilia yang tak kuasa menolak, memutuskan untuk meminta Karina menemaninya bertemu Rein.
"Jangan bilang..." Karina menoleh ke arah Lilia perlahan, "Kak Lila mau mutusin Rein sekarang?"
"Kamu kan yang bilang kalau nggak boleh mempermainkan perasaan orang," lirih Lilia.
"Ya, memang Karina bilang begitu. Tapi maksudnya ya enggak harus sekarang banget juga kan, Kak Lila?" Karina memiringkan kepalanya sedikit, kedua alisnya mengerut, "dan kenapa aku diajak juga?"
Lilia mendesah tetapi tidak menjawab. Karina pun langsung paham bahwa Lilia membutuhkannya untuk menguatkannya nanti. Karina menepuk bahu Lila sekali dan Lilia membalasnya dengan senyuman tipis.
"Everything will be alright, Kak Lila!" ucap Karina menguatkan Lilia.