Karina menyesal mengenal Ray. Karina menyesal ikut UKM teater. Karina menyesal mengapa dia tidak belajar lebih giat supaya bisa masuk universitas negeri. Kalau Karina tidak berkuliah di universitas swasta itu, sudah pasti Karina tidak akan pernah mengenal pemuda tampan bernama Ray Simone. Pemuda tampan yang mengajaknya berpacaran dan mengatakan akan bertanggung jawab kalau sampai Karina hamil.
Kenyataannya, sekarang Karina harus menanggung semuanya sendirian. Mulai dari kemarahan orang tuanya, keingintahuan keluarga besarnya, dan bisik-bisik sinis tetangga mengenai kehamilannya. Semua itu dikarenakan Ray menghilang. Karina sama sekali tidak tau di mana keberadaan pria muda itu sekarang. Awalnya Karina masih bisa menghubungi Ray lewat chat, walau saat itu Ray tidak mengizinkan Karina menelepon atau video call dengan Ray, tetapi Karina cukup puas dan tenang karena Ray masih bisa dijangkau olehnya.
Lama-kelamaan, pesan-pesan singkat itu menjadi semakin pendek. Membuat Karina semakin gelisah karenanya. Dan pada akhirnya, tepat pada hari ulang tahunnya yang ke dua puluh satu, Ray benar-benar hilang jejaknya. Karina sudah mencoba menghubungi teman-teman di UKM mereka yang juga mengenal Ray, menghubungi teman-teman satu jurusan Ray, namun tetap tidak hasil. Pemuda tampan ini benar-benar tidak diketahui sedang berada di mana. Karina dan keluarganya mencoba mendatangi apartemen tempat tinggal Ray, tetapi pria itu tidak ada di sana. Petugas apartemen malah mengatakan pria muda yang tinggal di apartemen 271D itu sudah pindah sejak waktu yang lalu.
Karina mendesah. Menuruti saran orang-orang terdekatnya, Karina mencoba tidak memikirkan tentang Ray lagi. Eleazar geram bukan kepalang, karena pria b******k yang menghamili putri kesayangannya lari begitu saja tanpa mau mempertanggungjawabkan perbuatannya. Eleazar juga sangat berharap Karina berhenti mengharapkan Ray dan fokus pada kehamilannya. Eleazar juga berkata pada Karina bahwa mereka masih sanggup membiaya kuliah Karina dan membiayai anak Karina nanti, sampai Karina mendapatkan pekerjaan dan hidup mapan.
Sekarang ini sudah lima bulan berlalu sejak Karina sadar dirinya hamil. Karina masih berharap suatu hari Ray bersama orang tuanya akan muncul ke hadapan orang tua Karina dan Ray akan bertanggung jawab karena telah membuat Karina hamil, lalu mereka akan menikah. Apa yang dikatakan Ray pada Karina saat terakhir kali mereka bertemu di cafe itu hanyalah beberapa kalimat menenangkan yang bertujuan membuat Karina percaya padanya, lalu pria itu meninggalkan Karina bertanggung jawab atas kehamilannya sendirian.
Karina mengaduk sarapan yang sudah susah payah Bik Ijah persiapkan untuk Karina di pagi tanpa berminat memakannya. Ah, jangan salahkan Karina. Salahkan saja pikirannya yang berkelana kemana-mana. Bukan keinginan Karina untuk terus-menerus memikirkan Ray.
"Non Karina," panggil bik Ijah dengan nada suara yang lembut.
“Iya, Bik Ijah?”
"Nyonya kan sudah pesan sama Non Karina untuk jangan terlalu banyak berpikir. Apalagi kalau pikiran-pikiran Non Karina itu akhirnya malah membuat Non Karina stress. Di makan itu sarapannya."
Karina meringis mendengar kalimat yang terakhir di ucapkan bik Ijah, "Iya Bik Ijah, aku tau."
"Baiklah, bibi ke dapur dulu ya. Non Karina jangan sampai tidak menghabiskan sarapan lagi ya."
Karina mengangguk, "Iya Bik Ijah, silahkan."
Karina pun memaksakan dirinya menghabiskan bubur kacang hijau buatan Bik Ijah. Setelah itu, Karina bergegas menuju kamarnya-yang sejak kehamilannya diketahui orangtanya, mereka memindahkan ke kamarnya lantai satu-lalu memutar CD Yiruma. Nada-nada indah yang menyentuh hati itu membuat Karina mengingat kembali kenangan saat pertama kali Ray masuk ke kamar tidurnya.
"Jangan melamun gitu, kesambet loh nanti."
"Kak Lila?"
"Hai, kesayangan. Kangen gak sama aku?" Lilia terkikik geli, "bagaimana kabar kamu, dek?”
“Baik, Kak Lila!”
“Bagaimana juga kabar si kecil yang ada di perut kamu?"
"Puji Tuhan, si kecil juga baik-baik saja, Kak Lila," jawab Karina seraya mengelus perutnya buncitnya, "tumben datang sore, kerjaan Kak Lila bagaimana?"
"Kerjaan kakak baik-baik saja. Sekarang lagi senggang makanya kakak mampir deh. Sorry ya, Kak Lila baru bisa mampir sekarang, belakangan ini agak sibuk."
"Udah lama kak Lila ga pernah main ke sini tau. Sibuk terus alasannya!" ucap Karina sedikit kesal, bibirnya mengerucut tanda tidak suka dengan perkataan Lilia.
"Ih, jangan cemberut dong! Pergi keluar menemani Kak Lila mau enggak?" bujuk Lilia sambil mengedipkan matanya dengan genit ke arah Karina.
"Enggak usah sampai mengedip genit begitu juga kak," cibir Karina.
“Jadi, kamu mau ikut atau enggak?”
"Mau banget lah, Kak Lila! Kayak kak Lila enggak tau aja kalau Karina lagi bosen banget karena terus di rumah."
“Ya sudah, sana kamu siap-siap!”
"Iya, Kak Lila. Kak Lila tunggu di ruang tamu gih," Karina mendorong Lila agar keluar dari kamarnya, "Karina mau ganti baju dulu."
"Okay. Kak Lila tunggu di depan ya."
Karina memutuskan memakai sweater tipis berwarna putih yang di padukan dengan rok berwarna biru. Tidak lupa Karina memasang anting rumbai yang berwarna senada dengan roknya.
"Cantik, Karina!" puji Lilia tulus ketika melihat Karina keluar dari kamarnya.
Mendengar pujian Lilia, Karina pun tersenyum malu-malu, "Thanks, Kak Lila!"
"Berangkat sekarang?"
Karina mengangguk, "Iya, ayo kita pergi sekarang!”
Karina dan Lilia memutuskan untuk pergi ke sebuah mall di daerah Jakarta Barat. Perjalanan ke sana memakan waktu cukup lama karena mereka melewati daerah yang terkenal dengan kemacetannya.
"Kamu sudah menyiapkan nama untuk si kecil?" tanya Lilia.
"Aku sih udah memikirkan beberapa nama, Kak Lila. Tapi belum ada yang cocok di hati aku, lagi pula aku belum tau jenis kelamin si kecil."
"Hm, begitu,” Lilia mengangguk paham, “lalu nama apa saja yang sempat kamu pikirkan?"
"Rahasia! Ada masing-masing satu nama untuk anak laki-laki dan perempuan sih, Kak Lila. Semuanya hasil dari searching di internet.”
“Ya enggak apa-apa sih itu. Teman-teman Kak Lila yang sudah punya anak juga kasih namanya kalau gak cari referensi dari buku, ya dari internet."
"Tapi pastinya aku juga mau tanya ke papa dan mama, apa mereka mau ikut memberi nama untuk si kecil.”
“Kamu benar, wajib itu tanya ke mereka. Nama Kak Lila juga kan pemberian Oma Winda.”
“Oh iya, kita mau ke mana nih, Kak Lila?"
"Bagaimana kalau kita pergi makan camilan? Ada satu tempat yang kakak pingin coba. Dessert ala jepang gitu."
Karina sangat tertarik mendengar tawaran Lilia dan mengangguk setuju, "Boleh kak. Ayo kita coba."
"Kok jadi kamu yang semangat banget sih?"
"Udah lama pingin dessert, tapi karena gak ada yang bisa nemenin pergi jadi ya gitu deh. Abang lagi sibuk sama kuliahnya, mami juga sibuk di toko bunganya."
Lilia tersenyum, memahami situasi Karina. Dalam hati berjanji akan sering mampir ke rumah adik sepupunya itu, agar Karina tidak merasa bosan dan tertekan.
"Sabar ya. Sebentar lagi kita sampai kok."
"Siap!" Karina menganggukkan kepalanya dengan bersemangat.
Berkat Lilia, hari itu Karina merasa gembira. Selain karena dapat mencicipi camilan enak, Karina juga bisa menikmati segarnya kebebasan untuk sesaat, serta Karina dapat melupakan sejenak segala sesuatu hal tentang Ray Simone.
***
Perut Karina terlihat jelas semakin membesar. Sekarang ini kandungannya sudah memasuki usia 7 Bulan. Tetapi tidak ada yang spesial. Rutinitasnya masih sama. Tidak banyak yang berkunjung ke rumah, hanya Albert dan Lilia yang sering mengunjungi Karina.
Nama lengkapnya Albert adalah Albert Danuar. Albert itu teman seangkatan Karina di kampus. Awalnya mereka tidak terlalu satu sama lain. Hanya sebatas menyapa dan mengobrol kalau mereka kebetulan bertemu atau sedang menghadiri kelas yang sama. Karina sendiri juga bingung kenapa Albert jadi sering mampir ke rumah, padahal awalnya mereka hanya tidak sengaja bertemu di sebuah supermarket yang letaknya tidak jauh dari rumah Karina. Ketika mereka bertemu, Karina takut Albert menyebarkan perihal kehamilannya kepada teman-teman mereka, tetapi Albert berjanji tidak akan mengatakan apapun pada teman-temannya. Untungnya Albert menepati janjinya itu, sampai saat ini kondisi kehamilan Karina belum diketahui oleh siapa pun dari pihak kampus.
Albert tertawa kecil, "Tersinggung nih? Seorang Karina tersinggung? Apa kata dunia?"
Karina memutar matanya, "Dunia gak bilang apa-apa kok. Apa urusannya sama dunia?"
Tawa Albert terdengar makin kencang. Albert pun memegangi perutnya. Seperti sudah tidak kuat lagi tertawa.
"Jangan tertawa terus! Kamu berisik, Albert!"
"Jangan ngambek dong, Karina!" Albert membuat tanda Peace dengan jarinya, "kamu jadi mau check up hari ini?"
"Iya, tentu saja jadi. Kenapa memangnya?”
“Perginya sama siapa?” Albert bertanya lagi tanpa menjawab pertanyaan Karina.
“Perginya nanti sama Mami aku. Ini lagi nungguin Mami pulang dari belanja keperluan rumah di supermarket."
Albert mengangguk-angguk. Dia terdiam beberapa saat sebelum bertanya, "Boleh nanya enggak?"
"Itu kan kamu sudah bertanya, Albert. Memangnya kamu mau bertanya apa sih sampai serius begitu?"
"Kok kamu enggak tinggal sama mertua kamu sih? Ini lumayan lama loh sejak kamu pertemuan pertama kita di supermarket waktu itu."
"Memangnya aku enggak boleh tinggal sama orangtua aku sendiri?"
"Ya bukan begitu maksud aku, Karina.”
“Lalu kenapa tanya-tanya begitu sih? Enggak sopan deh kamu!”
“Maaf kalau pertanyaan aku menyingung kamu. Hanya saja menurut aku, kalau suami kamu gak ada di rumah kalian, seenggaknya kamu bisa tinggal di rumah mertua kamu gitu kalau takut di tinggal sendirian di rumah. Lagian kenapa orangtua kamu enggak ada majang foto pernikahan kamu? Atau setidaknya ada album foto pernikahan kalian gitu. Di sini malah enggak ada apapun tentang kamu dan suami kamu."
"Itu..."
Apa yang sebaiknya aku katakan, batin Karina bingung.
"Karina!" terdengar suara seseorang memanggil Karina.
Karina melihat ke samping lalu mengucapkan syukur berkali-kali dalam hatinya atas kedatangan sang mami, "Iya, mami! Kok mami lama?"
"Macet banget tadi di jalan, sayang. Tunggu ya, mami siap-siap dulu!"
"Iya, Mami. Karina tunggu di sini."
"Santai aja ya, Nak Albert. Tante tinggal dulu sebentar."
"Ah iya, tante. Silahkan. Maaf kalau Albert ganggu,” sahut Albert canggung.
Mama hanya balas tersenyum sebelum berbalik menuju kamarnya.
Belum Karina sempat merasa lega, Albert sudah kembali bertanya, "Kamu belom jawab pertanyaan aku, Karina!”
"Eh?" sahut Karina, pura-pura tidak mengingat pembicaraan yang baru saja terjadi sebelum kedatangan mami Karina tadi, "yang mana ya?"
"Karina, aku serius!"
Karina terpaku melihat Albert begitu serius.
"Suami kamu siapa? Kamu beneran nikah ga sih? Kalau masih tinggal sama orang tua kamu gini, aku jadi curiga. Itu accident ya?" tanya Albert sambil menunjuk perut Karina yang membuncit.
Kata accident membuat emosi Karina naik. Dengan geram Karina membalas ucapan Albert, "Bukan urusan kamu!"
Albert terdiam melihat Karina mendadak menjadi begitu emosi. Albert pun paham kali ini dirinya sudah berbicara sesuatu yang melewati batas. Melihat Karina yang terdiam dengan raut wajah marah, Albert menjadi merasa bersalah.
"I'm so sorry," lirih Albert.
Karina tidak menyahuti kata-kata permintaan maaf Albert. Karina berbalik pergi tanpa melirik sedikit pun ke arah Albert.
Albert yang melihat reaksi Karina itu hanya bisa meringis. Ini mulut aku kok gak ada rem-nya sih! Bodoh!
Melihat Karina tidak mungkin mau bicara lagi dengannya sekarang, Albert pun memutuskan untuk pulang ke rumahnya tanpa berpamitan. Merasa ini yang paling baik dilakukan. Albert merasa lebih baik ia membiarkan Karina tenang terlebih dahulu, baru nanti Albert akan mengajak Karina berbicara sekaligus meminta maaf lagi kepada Karina.