Part 10. Bulan Purnama

1254 Words
PART 10. Bulan Purnama “Kemarilah,” panggil Arlo. “Kenapa? Anda juga akan menghabisi saya?” sinis Ayara balas bertanya. “Kamu sungguh menyukai tantangan. Pantas malam-malam menjadi buronan, kayak maling!” Ayara geram mendengar ucapan Arlo itu. Kapan aku menjadi buronan? Seketika Ayara ingat, ketika kali pertama bertemu dengan Arlo, di belakang gedung kosong di pinggir jalan. Dia benar, Ayara memang sempat diburu oleh dua orang suruhan Birdella. “Ayo,” ajak Arlo lagi, menyadarkan Ayara dari lamunannya. Ragu Ayara melangkah mengikuti pria itu. “Anda akan membawa saya ke mana?” tanya Ayara mulai merasa tidak nyaman, karena mereka berjalan menuju kediaman Arlo lagi. “Ke tempat latihan,” balas Arlo, “Anda benar-benar akan membunuh saya?” Ayara ragu. Arlo tersenyum samar mendengar pertanyaan itu. Ia berhenti. Kemudian memutar tubuhnya kembali menatap Ayara. “Kamu takut mati?” tanyanya. “Tidak,” tegas Ayara. “Kalau begitu, jangan cerewet.” Arlo melanjutkan langkahnya. Ayara mengikuti. Sesampainya di tujuan, suasana tampak sangat sepi, namun tidak terlalu gelap karena ada sinar rembulan yang sempurna. “Wow,” gumam Ayara. Selama ini dia sudah terbiasa dengan sinar rembulan, namun tidak lebih terang dari cahaya lampu yang ada di mana-mana. Malam itu Ayara bisa melihat cahaya rembulan dengan begitu sempurna, karena sama sekali tidak ada perlawanan dari sinar lampu. Arlo benar-benar mematikan semua lampu di sana, sehingga hanya mengandalkan penerangan dari sinar rembulan yang indah. Sejenak Ayara lupa bahwa ia bisa berada di sana, karena dibawa monster yang sewaktu-waktu bisa membahayakan jiwanya. “Kemarilah,” panggil Arlo lagi saat melihat Ayara masih mendongak ke langit, namun kakinya tidak bergerak maju. Ayara menunduk memerhatikan tanah yang akan ia lewati. Arlo masih terus berjalan. Kali ini melewati samping rumahnya, melintasi rerimbunan pohon-pohon. Meskipun mulai ketakutan, Ayara tetap berjalan mengikuti. Kemana lagi ini? Batinnya. “Kita sampai,” kata Arlo. Kini, sebuah hamparan kosong berwarna hijau ada di hadapan mereka. Lebih mirip lapangan futsal, namun dipenuhi oleh rumput Jepang. Di sisi kanan-kirinya ada beberapa pohon berdaun lebar. Sementara di dekat pintu masuk, ada sebuah balai-balai besar, setinggi tubuh orang dewasa, terbuat dari kayu yang kokoh. “Apakah ini altar persembahan?" Ayara membatin. "Persembahan di malam bulan purnama." Pikiran Ayara melayang ke mana-mana. Kekayaan keluarga Nawang Nehan yang tak terhitung nilainya, lima gadis yang dikumpulkan jelang malam purnama, lalu lenyap tepat di malam purnama. Apakah mereka sudah dikorbankan? Menjadi tumbal pesugihan keluarga kaya raya ini? Belum selesai bayangan-banyangan mengerikan berseliweran di kepala Ayara, ia dikejutkan dengan tubuh Arlo yang melesat ke atas balai-balai tadi. Hah? Bagaimana dia bisa memiliki tubuh seringan itu? Batin Ayara. “Naiklah,” kata Arlo begitu ia sudah berada di atas. “Mengapa saya harus naik ke sana?” Ayara ragu. “Kamu akan melihat keindahan dari sini,” balas Arlo. Keindahan atau kematian? Batin Ayara lagi. Tangannya meraba ikatan rambutnya, dan menemukan benda kecil yang selalu ia selipkan di sana. Masih aman. “Naiklah,” Arlo mengulang perintahnya. Ayara mengangguk, lalu mundur beberapa langkah, mengambil ancang-ancang untuk melompat ke atas. Kalaupun harus mati di sini, setidaknya aku sudah tidak membawa hutang budi, pikir Ayara lagi. “Hap!” Ayara menghentakkan kakinya. Tubuhnya melayang ke atas balai-balai. Namun begitu kakinya menyentuh permukaan kayu, dia kehilangan keseimbangan. Tubuhnya menubruk tubuh Arlo. Pria itu tertindih tubuh Ayara. Sejenak Ayara terkesima. Pandangan keduanya beradu. Dia sungguh tampan, jika saja bukan b******n. "Bangun!" perintah Arlo. Ayara langsung melompat berdiri. Arlo membetulkan pakaiannya, lalu duduk dengan tegak. "Duduk!" perintah Arlo. Lagi-lagi Ayara menuruti. "Bukan kah di sini indah?" tanya Arlo. Pandangannya menatap langit yang cerah. "Ya," balas Ayara datar. Namun diam-diam dia mengagumi keindahan yang belum pernah ia nikmati itu. Tiba-tiba ia teringat seseorang. Andai yang duduk di sampingnya adalah Fusena … "Kamu menyukainya?" tanya Arlo. Ayara mengangguk pelan. "Mulai besok kamu akan resmi menjadi pelayan kamarku," kata Arlo. "A, apa?" Ayara terkejut. "Ayah akan mengumumkan. Jadi bersiaplah untuk selalu ada ketika kubutuhkan." Hati Ayara gamang. Mengapa begitu cepat? "Lalu di mana ke empat teman sekamarku?" tanya Ayara ingin menuntaskan rasa gelisah yang sejak tadi mengganggunya. "Bukan kah sudah kukatakan sejak tadi?" "Anda benar-benar melakukannya?" "Aku benci para wanita norak seperti mereka. Apalagi terlalu berani menawarkan diri kepada pria. Terlalu murahan!” Ayara kembali meraba simpanannya di balik ikatan rambutnya. Sebuah pisau kecil. Masih aman. "Anda bisa membebaskan mereka jika mau berbaik hati," kata Ayara. "Ayahku sudah menghabiskan banyak biaya untuk mendatangkan mereka." "Bukan berarti kalian boleh melakukan apapun kepada mereka!" tandas Ayara. Arlo tersenyum kecut. "p********n memang telah tiada, tetapi, sejak melangkah masuk ke rumah ini, kalian adalah b***k kami." Ayara meremas pakaian di atas pahanya, mendengar pengakuan Arlo itu. Rahangnya mengeras. Tinjunya mengepal dengan kuat. Ingin rasanya ia menghantam pria di sampingnya itu dengan sekuat tenaga. Namun pria itu tampak selalu waspada. Bisa-bisa dia sendiri yang akan jadi bulan-bulanan dia. "Kamu sepertinya marah," gumam Arlo. "Ya." Ayara menjawab dengan jujur. "Walau begitu, kamu salah satu dari gadis yang beruntung, karena kamu aman bersamaku." "Saya tersanjung untuk itu, tetapi saya harus menangis jika benar ke empat teman saya telah tewas di tangan Anda. Jadi katakan, di mana mereka?" "Kamu akan segera tahu, bahwa mereka tidak pantas kamu sebut sebagai teman," jelas Arlo. Seketika Ayara ingat, sejak kemunculannya di kamar, mereka sudah memusuhinya. Namun bukan berarti Ayara boleh bahagia mendengar nasib buruk dialami oleh mereka. Apalagi ketiga temannya yang terakhir, sudah mulai ramah dengan memperkenalkan diri kepadanya. "Katakan di mana mereka!" Ayara tak mampu lagi menahan diri. Ia keluarkan belati yang selama ini ia sembunyikan di rambutnya, lalu menempelkan benda tersebut di leher Arlo. "Kamu bilang ini negara hukum, kamu berani melakukannya?" gertak Arlo. "Hukumanku akan jauh lebih ringan dari pelaku pembunuhan yang sebenarnya," desis Ayara, "cepat katakan di mana mereka berada." Ayara mulai menekan pisaunya. Dia sendiri sangsi, benarkah dia akan melakukannya? Jika dia dipenjara, bagaimana dengan kuliahnya? "Setidaknya, kamu harus memikirkan kedua orang tua yang telah membesarkanmu, sebelum bertindak,” kata Arlo tenang, tetapi berhasil menggoyahkan. Tangan Ayara gemetar. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Arlo untuk menepis tangan Ayara, kemudian memuntirnya ke belakang tubuhnya, dan mengunci di sana. Ayara berusaha berontak, namun cengkeraman tangan Arlo sangat kuat. "Berjanjilah tidak akan macam-macam, maka aku akan melepaskanmu," kata Arlo. Ayara tidak menjawab. "Dasar keras kepala!" Arlo mendorong tubuh Ayara, hingga ia tersungkur. Untung saja balai-balai tersebut lumayan lebar sehingga Ayara tidak terjatuh. "Katakan, kenapa kamu menjadi Ayara Hayu?" "Maksud, Tuan?" "Bukankah seharusnya, Kyra Arundati?" "Oh itu …" Ayara tidak melanjutkan ucapannya. Dia khawatir, sepupunya itu lagi-lagi diminta oleh keluarga Nawang Nehan untuk menjadi pembantu di sana. Jika itu terjadi, Om dan bibinya tidak akan bisa berbuat apa-apa lagi, karena surat perjanjian yang mereka tanda tangani Sembilan belas tahun lalu mengandung poin, "Dihyan dan keluarga tidak boleh mangkir, apabila keluarga Nawang Nehan meminta tenaganya untuk bekerja pada keluarganya". "Katakan yang sebenarnya." desak Arlo. "Saya… "Kamu dipaksa untuk menggantikan Kyra Arundati sepupumu itu?" "Bagaimana Tuan Muda bisa tahu?" tanya Ayara cemas. Arlo tersenyum miring. "Tidak sulit bagiku mencari informasi apa pun mengenai siapapun!" kata Arlo. "Saya sudah menggantikannya. tolong, jangan usik lagi keluarga paman saya. Biarkan Kyra bahagia memilih jalannya." Ayara memohon. "Lalu kamu sendiri?" "Saya akan menuruti semua perintah Anda, jika Anda berjanji tidak akan mengusik keluarga Dihyan." "Sungguh?" Ayara mengangguk pasrah. Arlo tersenyum puas, penuh kemenangan. "Silakan bersiap, dan nantikan apa yang akan kulakukan kepadamu esok," kata Arlo. Ayara tidak menjawab. Otaknya tidak sanggup untuk sekadar membayangkan besok. Tiba-tiba Arlo meraih pinggangnya yang tipis, kemudian membawa tubuh itu melompat turun. Meskipun terkejut Ayara tidak memprotes. "Malam ini, tidurlah di rumahku," kata Arlo seraya menarik tangan Ayara menuju rumahnya. "A, apa?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD