Part 9. Putra Kedua, Rhys Victor
Lapangan olah raga itu luasnya lebih besar dari ruangan yang baru saja Ayara tinggalkan. Hanya berupa lokasi terbuka dengan banyak balok berbagai ukuran. Di kanan kiri lokasi ada beberapa pepohonan. Arlo biasa menggunakan tempat tersebut untuk latihan bela diri. Ayara juga melihat ada tempat dan alat latihan memanah. Ia mendekati. Dirabanya peralatan yang tampak jauh lebih bagus dari pada di tempatnya belajar.
"Kamu sepertinya tidak takut sama sekali, Nona," kata pria yang membawanya ke tempat ini.
"Apakah Arlo sekejam itu?" Ayara balas bertanya.
"Kamu akan mengetahuinya nanti," balas pria itu.
"Dia pernah melakukan ini kepada perempuan lain sebelumnya?" Lelaki itu hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Ayara, namun dia tidak mau menjawab. Ia membuka pintu sebuah ruangan, kemudian kembali dengan dua cambuk pesanan Arlo.
Tidak bisa menipu diri sendiri, bulu kuduk Ayara merinding membayangkan benda yang terlihat kokoh itu, akan mencambuk tubuhnya yang selama ini dia rawat secara alami.
"Kesalahan apa yang kamu lakukan?" tanya pria itu lagi.
"Aku tidak melakukan apa-apa,"
"Kalau begitu kamu bisa tenang. Jika benar kamu tidak melakukan kesalahan, dia tidak akan menghukummu."
"Hei, memangnya siapa dia berhak menghukum orang hanya karena ucapan? Ini negara berhukum, setiap manusia berhak memiliki kemerdekaan dan keadilan, Tuanmu itu sangat sombong, saya akan menyeret dia ke polisi kalau berani berbuat jahat!"
"Ohya, kamu sungguh bisa melakukan itu?" Ah, itu bukan suara pria tadi. Ayara memutar tubuhnya. Itu Arlo yang sudah berdiri tidak jauh darinya.
"Kenapa tidak? Saya juga manusia yang memiliki hak untuk bersuara dan peroleh keadilan," balas Ayara. Arlo tidak menggubris, sebagai gantinya, dia berjalan menuju di mana cambuk tadi ditaruh oleh orangnya. Ia mengambil salah satu di antaranya. Mengetes fungsi alat tersebut dengan menghantamkannya pada sebuah guci yang tersedia di sana. Benda tersebut hancur berantakan. Sekali lagi bulu kuduk Ayara merinding menyaksikan itu.
"Kamu tahu, aku tidak suka dibantah," kata Arlo.
"Tetapi Anda juga tidak bisa memaksakan kehendak pada orang lain."
"Kamu pelayanku,"
"Belum diputuskan."
"Gadis keras kepala!" Arlo menghentak cambuknya ke tanah. Ayara bisa melihat, tanah bekas cambukan itu berhamburan dan meninggalkan bekas goresan menganga di sana. Belum lagi berdamai dengan gejolak hatinya, Arlo sudah mengarahkan benda tersebut dengan cepat ke arahnya. Dengan gerakan reflek Ayara menangkap benda tersebut, menggulung dengan tangannya. Kedua matanya tajam menatap Arlo.
Hmmm, ini menarik, gumam Arlo dalam hati. Pria itu menghentak, namun lagi-lagi Ayara mampu mengimbangi. Dari sana Arlo tahu, gadis di depannya benar-benar spesial. Dia tahu Ayara bisa melakukannya.
Serangan demi serangan berikutnya Arlo berikan kepada Ayara, namun gadis itu masih mampu mengelak. Hingga pukulan terakhir, gadis itu terhempas dan tubuhnya menabrak tembok. Ayara memekik kesakitan. Arlo mendekati.
"Lain kali, jangan sok jagoan di kediamanku!" Arlo menegaskan. Ayara meringis sambil memegangi lengannya yang kesakitan.
"Kamu boleh pergi!" Usai berkata begitu, Arlo langsung melangkah meninggalkan tempat tersebut. Ayara berdiri, lalu berjalan keluar.
Baru saja keluar pagar, Ayara hampir menabrak pria yang sedang melintas. Ia mengenalinya, sebagai sosok yang kemarin bersama Birdella masuk ke kamar pelayan karena kegaduhan yang dibuatnya.
"Ouww jadi kamu miliknya Arlo?" kata pria itu. Ayara diam. Dia dapat merasakan aura tidak beres dari pria di depannya. "Apa yang sudah dilakukan si homo itu kepadamu, sehingga kamu tampak berantakan begitu?”
Ayara masih diam.
"Sungguh menyedihkan. Dia menggigitmu?" Pria pemilik wajah tampan itu menyeringai m***m. Alisnya naik, namun senyumannya terasa menjijikkan dan penuh hinaan. Ayara berjalan dengan cepat melintasinya.
"Berhenti!" Teriak pria itu lagi. "Kau belum tahu siapa aku rupanya, makanya berani belagu."
"Apa maumu?" Akhirnya Ayara membuka suara.
"Tawaran kerja sama," pria itu mencondongkan tubuhnya ke arah Ayara.
"Saya tidak tertarik!" Ketus Ayara menjawab. Lalu kembali melangkah.
"Wow, ada yang berani menolak Rhys Victor rupanya." Pria itu mengejar Ayara, dan menghalangi langkahnya.
"Kamu tahu apa konsekwensinya jika berani menolakku? Aku Rhys Victor, putra kedua Nawang Nehan, kamu tahu?”
"Memangnya kenapa kalau Anda putra Nawang Nehan?"
"Ah, ini menarik." kata sosok yang mengaku bernama Rhys Victor itu. Senyumnya mengembang, sambil berjalan pelan mengitari tubuh Ayara, dengan pandangan yang seolah melucuti tubuh. Ayara bernapas dengan berat.
"Mari bertemu kapan-kapan," lanjut Rhys. Ayara bergeming. "jangan menolakku, atau kamu akan tahu akibatnya!" Pria itu melangkah pergi. Ayara menatapnya benci. Jadi namanya Rhys Victor? Aku harus hati-hati.
***
Di depan pintu kamar, Ayara melihat wanita yang mengantarnya ke tempat Arlo sedang berdiri di sana. Wanita itu menatap Ayara dengan rasa iba. Ayara menganggukkan kepala tanda hormat.
"Kamu kembali,” sapa wanita itu. Sekali lagi Ayara mengangguk.
"Kamu pasti mengalami kesulitan." lanjut wanita itu seraya mengulurkan tangan untuk menyentuh sudut bibir Ayara yang mengalirkan darah. Ayara terdiam.
Pintu kamar terbuka dari dalam, seorang wanita keluar. Pakaiannya sangat rapi dengan riasan yang sempurna. Hidung mancung, alis yang tertata rapi, kedua matanya bercelak, meninggalkan kesan bening dan tajam, dengan bulu lentik yang indah, serta bibir yang merah merona. Dari tubuhnya menguar bau wangi yang sensual. Diam-diam Ayara mengagumi totalitas teman sekamarnya itu. Arlo pasti akan nyaman dengan pelayan secantik dia. Di tempat Arlo nanti, wanita itu tinggal mengganti pakaiannya dengan baju seksi pilihan Arlo, maka pria itu tidak akan bisa berpaling. Ayara merasa jijik membayangkan adegan m***m yang akan terjadi di kediaman Arlo.
Mereka berangkat. Ayara masuk ke kamarnya.
"Nicole udah duluan, kita nggak bakal peroleh giliran ini mah." Terdengar celetuk salah seorang dari ketiga teman yang tersisa.
Jadi itu tadi yang namanya Nicole? Batin Ayara.
Melihat Ayara masuk, ketiganya langsung berkerumun, di sekitarnya.
"Apa yang terjadi di sana, Ayara?"
"Tidak ada,"
"Sungguh?” Ayara mengangguk.
"Kamu tidak diapa-apain?" Ayara mengangguk lagi.
“Tapi mengapa kamu terlihat payah begitu?"
“Kamu disiksa?”
"Jangan-jangan benar info yang beredar selama ini?" kata perempuan pertama tadi.
"Apa?" Yang lain bertanya, semua menatap perempuan itu.
"Homo, gay, atau beneran tidak berfungsi." Perempuan itu tampak putus asa. Yang lain tertawa cekikikan. Sementara Ayara memilih berjalan menuju ranjangnya.
"Ayara, namaku, Etta!" Perempuan berwajah manis itu menyerukan namanya. Ayara menoleh, lalu tersenyum.
"Panggil aku, Ratri." Satu lagi ikut mengenalkan diri.
"Dan aku si bungsu Wulan." Wanita terakhir menyebutkan namanya, dengan mata yang berbinar ceria.
Beberapa menit kemudian, ruangan kembali tenang. Semua sudah berada di atas ranjang masing-masing dengan kesibukan sendiri-sendiri. Ayara melanjutkan bacaan yang kemarin tertunda.
Tok! Tok! Tok! Tok!
Pintu langsung terbuka. Semua sigap berdiri. Menatap wanita yang berdiri di ambang pintu. Wanita yang sama. Yang membawanya dan Nicole kepada Arlo.
"Kalian bertiga, bersiaplah ikut denganku," ucapnya.
"Baik, Nyonya." Serentak ketiganya menjawab. Wanita itu keluar lagi untuk memberi kesempatan kepada tiga perempuan itu berhias.
Di dalam kamar, mereka mengeluarkan pakaian terindah yang telah disiapkan oleh pihak Nawang Nehan. Mengeluarkan kotak kosmetik yang lengkap. Ayara hanya memandangi ketiganya dengan bengong. Selama ini dia tidak pernah memakai peralatan tersebut. Sudah delapan belas tahun lebih masa hidupnya, tetapi dia belum pernah memiliki perlengkapan kosmetik sekomplit itu. Kulitnya yang putih bersih dengan bibir agak pink, adalah alami bawaan lahir.
Lima belas menit kemudian ketiganya telah berubah dengan penampilan masing-masing. Ayara seperti melihat tiga bidadari cantik baru turun dari langit. Ketiganya langsung keluar dan pergi bersama wanita di depan pintu.
***
Di kediamannya, Arlo sedang duduk berhadapan dengan pengawal setianya.
“Kamu sudah menyingkirkan perempuan barusan?”
“Ya, Tuan.”
“Aku tidak percaya, mengapa ada wanita menjijikkan seperti dia di bumi ini.”
“Namanya Nicole.”
“Cari tahu, siapa yang mengirim dia kemari.”
“Baik, Tuan.”
Hening beberapa saat. Arlo menyesap teh dari cangkirnya.
“Tolong cari tahu juga, siapa Ayara Hayu. Mengapa dia yatim piatu, bukankah Ayah mengatakan, wanita yang akan datang adalah putrinya kepala pelayan bernama Dihyan?”
“Saya akan melakukannya, Tuan.”
“Panggil namaku saja, saat kita sedang berdua.”
“Baik, Arlo.”
***
Malam semakin larut. Ayara kesulitan memejamkan mata. Dia tidak pernah menduga, rumah besar yang bila siang sangat ramai itu, malamnya terasa begitu sunyi seperti kuburan.
Ayara juga merasa, tidak ada tanda-tanda salah satu dari ketiga teman satu kamarnya itu akan kembali. Tidak juga dengan Nicole yang sudah berangkat lebih dulu sore tadi.
Perlahan Ayara keluar kamar. Ia ingin berjalan-jalan di taman sekitar kamarnya. Ia masih memikirkan, apakah Arlo mengambil semua ke empat pelayan itu? Benaknya bertanya-tanya. Sementara kakinya terus melangkah, hingga tak terasa, ia sampai pada sebuah tembok kokoh yang tinggi. Gadis itu meraba-raba.
"Apa di balik tembok ini?" gumamnya. Ayara mundur beberapa langkah. Menimbang, jika ia melompat ke atas dari jarak sekian meter ini, mampukah ia sampai di atas sana? Atau justru kebanting dan tewas?
"Jadi kamu berniat melarikan diri?" Sebuah suara mengagetkannya. Reflek Ayara menoleh.
"Arlo?" Gumamnya. Pria itu mendekat.
"Keempat temanmu sudah tewas, kamu yang tersisa. Mau bunuh diri dengan melompati pagar setinggi tujuh meter itu?" Kulit Ayara meremang. Pria ini sungguh tidak manusiawi! Bi4dab!