Part. 4

1503 Words
“Besok kosongin jadwal, dirumah mau ada acara dan melibatkan banyak pers!” ucap lelaki paruh baya yang kehadirannya seolah sudah tak ada lagi di dunia Venus. Lelaki yang disapa Papa, sosoknya tak pernah menampakkan diri lagi, baik sekedar bertanya tentang keadaan anaknya. Dia lebih suka menyuruh sekretarisnya untuk memberikan kabar Venus, bahkan meskipun serumah mereka hanya bertemu beberapa kali saja dalam sebulan. Karena Papa yang sibuk dengan dunia Politiknya dan Venus yang sengaja menyibukkan diri dengan dunia keartisannya. Seolah dia telah dibuang sepeninggal mama sepuluh tahun lalu. Venus menyuap makanannya yang sepertinya tak bisa ditelan. Diapun mendorong dengan air putih. Diletakannya gelas itu pelan-pelan. Sorot matanya terlihat terluka, sudah hampir setahun ini mereka tak makan bersama, tapi ketika ada kesempatan. Bukan pertanyaan penting layaknya seorang ayah dan anak? Yang keluar justru hal seperti ini. Dia harus bersandiwara lagi, hanya demi pers. Karena papa adalah sosok ayah ideal, didepan media. Dia merasa sangat dibutuhkan jika kamera-kamera itu menyorot padanya dan Papa. Sementara Papa akan berbalik menjadi orang yang acuh jika tak ada yang mengambil gambarnya. “Iya,” jawab Venus kelu, dia mengerjap beberapa kali, berharap air itu tak keluar dari matanya. Karena sesungguhnya dia sangat merindukan papa. Merindukan keluarga hangat yang dulu pernah tercipta. Ketika mama masih hidup, papa terlihat sangat menyayanginya. Mereka selalu menghabiskan waktu liburan bersama. Mama yang mengidap penyakit kanker sedari Venus kecil selalu bisa membuatnya merasa nyaman dan dibutuhkan. “Kenapa papa berubah sekarang?” Venus mengepal, dia tak kuat lagi menahan rasa ini. “Berubah bagaimana? Dari dulu papa seperti ini,” Papa masih terlihat acuh menikmati makanannya. “Enggak! Dulu ketika masih ada mama, Papa gak seperti ini, papa sayang sama aku. Sekarang? Papa nanya kabar aku aja enggak!” nada suara Venus naik dan bergetar, matanya memerah menahan tangis dan marah. “Dari dulu papa seperti ini! Papa terlihat perduli sama kamu karena Mama aja! Setelah dia tidak ada, gak ada lagi kewajiban papa untuk perduli lagi sama kamu! Kamu harus sadar diri kamu bukan darah daging papa! Kamu hanya anak yatim piatu yang beruntung mendapatkan kemewahan yang kamu nikmatin sekarang! Ingat itu. Tanpa papa mungkin kamu masih jadi gembel! Jadi jangan nuntut macam-macam! Siapin diri kamu untuk besok! Papa gak mau ada pembahasan seperti ini lagi. Ngerti!” papa menghabiskan air putih di gelas, mengelap bibir dengan tissue secara kasar dan berjalan ke kamarnya. Sementara Venus tak kuasa menahan tangis. Bolehkah dia melupakan asal usul dirinya? Dia tahu, sangat tahu kalau dia hanya anak angkat, tapi bolehkah dia berharap lebih? Berharap mendapatkan kasih sayang dari orangtua yang mengangkatnya? Susan yang memang masih ada dirumah itu terkesiap, dia dari tadi mendengar pembicaraan ayah anak itu dari dapur. Tak banyak yang tahu bahwa Venus adalah anak angkat. Dia berjalan pelan dan mengusap punggung Venus yang mulai bergerak turun naik menahan sedih, sementara tangan Venus menutupi wajahnya. Venus mendongak dan memeluk pinggang Susan erat. Dia menangis hingga baju Susan basah. “Rahasiakan ini,” ucap Venus di akhir tangisannya. Dia berjalan ke kamar menatap foto dirinya dan kedua orangtuanya ketika berusia delapan tahun, saat pertama kali menjejakkan kaki dirumah besar ini, rumah yang dulu sangat hangat karena ada mama. Rumah yang selalu dia banggakan ketika bertemu dengan ibu panti. Ya Venus memang berasal dari Panti asuhan yang selama ini dia bantu. Ibu Reni lah yang sangat tahu dia seperti apa? *** Papa menebar senyum kepada para anggota dewan lainnya, sementara pers berjalan mondar mandir mengambil gambar-gambar yang dirasa perlu dilaporkan. Rumah besar itu terlihat penuh dengan orang yang lalu lalang. Venus memberikan senyum terindahnya kepada semua yang hadir. Dia memang pandai berakting. Meskipun hatinya menangis, meskipun semalaman tadi dia tidak tidur dan meratapi nasibnya. Tapi siang ini dia telah disulap menjadi boneka cantik yang membahagiakan orang yang dipandangnya, membahagiakan papa! Beberapa Pers mendatanginya ketika Papa mengamit lengannya. Venus tersenyum miring menatap lelaki tua disampingnya yang perutnya sudah membuncit karena usia. Tapi hanya beberapa detik karena detik selanjutnya dia memasang tampang tulus dengan sorot mata berbeda. Mata berbinar dan penuh puja kepada papanya. “Hubungan kalian terlihat harmonis sekali sebagai ayah dan anak? Namun akhir-akhir ini kalian jarang terlihat bersama? Apakah terlalu sibuk?” tanya seorang wartawan sembari menyodorkanmicrophone depan Papa. “Hmm, iya kami sama-sama sibuk. Venus kan sekarang sibuk di program musik sementara saya sedang menyiapkan program-program pemerintah, namun kami masih selalu menyempatkan untuk sarapan atau makan malam bersama” Papa menepuk tangan Venus, Susan yang menyaksikan itu memutar matanya jengah. “Pa, Freddy. Kira-kira ada rencana mau mantu gak nih? Apakah bapak tahu saat ini Venus sedang dekat dengan siapa gitu?” tanya salah seorang wartawan wanita, yang disambut antusias oleh wartawan yang lainnya. Papa menoleh ke Venus dan mengusap kepalanya. Cih! “Saya sebenarnya mau Venus menghabiskan masa mudanya dulu, urusan dia dekat dengan siapa? Saya percaya saja bahwa lelaki itu pasti yang terbaik karena saya tidak mau membatasi pergaulannya.” “Pinter banget akting papa!” sungut Venus dalam hati, namun yang terlihat hanya dia sesekali mengangguk dan tersipu mendengar setiap penuturan papa. Venus, meninggalkan rombongan wartawan dan berjalan kembali ke dapur, disana sudah ada Susan sedang berbincang dengan seorang pembantu rumah yang sepantaran dengannya. “Akhirnya aku tahu bakat akting kamu nurun dari siapa?” Kekeh susan mengedikkan bahu kearah Papa Fredy yang sedang asik ngobrol dengan beberapa orang berpakaian senada dengan dirinya. “Cih!” Decih Venus, dia mengambil teh tarik di botol yang disodorkan Susan. “Eh koq teh tarik bukan kopi?” kernyit Venus sembari memperhatikan botol yang sudah diminum setengah isinya. “Biar sama kayak Ramon,” kerlingan Susan, mampu menyejukkan hati Venus kembali. Ya mengingat pria itu sungguh membuat hatinya kembali berbunga-bunga. Meskipun hingga kini Ramon masih bersikap cuek terhadapnya. Namun Venus tak gentar dia selalu yakin bahwa suatu saat nanti Ramon akan melihatnya dan hanya menatapnya. *** Lain rumah Venus, lain rumah Ramon. Rumah yang besarnya tak sampai seperempat dari rumah Venus. Rumah yang berada di daerah perkampungan di pinggiran kota. Ramon mematung di depan pintu kamar yang tertempel botol plastik tak beraturan. Dia tersenyum tapi kemudian menggeleng dan menarik senyumnya kembali. Memasang wajah datar dengan sorot mata sendu. Tangannya terangkat, berniat mengetuk, namun lagi-lagi diurungkannya hal itu. Diapun menghela nafas dan mendorong pintu dengan pelan. Dilongokannya kepala ke ruangan yang terlihat gelap tanpa pencahayaan tersebut. Matanya terpaku pada sosok anak laki-laki berusia sekitar dua belas tahun yang bersandar pada dinding diatas ranjangnya. Anak laki-laki yang mempunyai wajah hampir serupa dengan dirinya. dialah David. Adik Ramon satu-satunya. “Masuk aja bang,” ucap David parau, namun wajahnya masih menatap kosong pada dinding di hadapannya. Dinding yang menampakkan tutup-tutup botol yang ditempel membentuk lingkaran besar. Ramon menghampirinya dengan langkah pelan, secara tak sengaja kakinya menendang sebuah bola yang langsung dipindahkannya ke pojokkan lemari. Nafasnya tercekat memandang adik yang tidak berdaya di hadapannya. Dahulu dia tak seperti ini? Sebelum sebuah kecelakaan sialan itu merenggut penglihatannya, tak hanya itu dia juga merenggut masa depannya. Dokter sudah menyarankan untuk melakukan donor kornea mata, namun belum ada yang cocok. Sekalipun ada, dia harus mengeluarkan uang ratusan juta. Sementara sekalipun Ramon banting tulang, tetap saja dia belum bisa mencukupi biayanya meskipun hanya setengahnya. Terkadang Ramon marah, marah dengan keadaan. Jika boleh memilih dia ingin bertukar tempat dengan adiknya. Mungkin dia akan lebih lapang d**a. Ramon duduk di ranjang yang sama, matanya sudah berkaca-kaca ingin meneteskan butiran murni itu. Tapi dia tahu, adiknya paling benci dikasihani. “Abang janji Vid, abang akan bikin kamu bisa melihat lagi,” Ramon menepuk lengan David. Sementara David masih mematung tak berekpresi pun tak menoleh ke asal suara Ramon. Dia beringsut tiduran. Dan menarik selimut sampai ke lehernya. “David mau tidur bang, jangan lupa tutup pintu.” David memiringkan badannya, Ramon berjalan pelan keluar matanya terpaku pada deretan tutup botol yang terlihat segaris. Tutup botol yang memandu David untuk beraktifitas dalam rumahnya. Mereka menempelkan tutup itu untuk disentuh David ketika berjalan menuju kamar mandi atau ruang makan. Karena David menolak memakai tongkat. Kenyataan dirinya tak bisa melihat lagi, membuatnya sangat terpukul dan selalu menyalahi takdir. Rumahnya terlihat sepi tidak ada barang-barang, karena memang dipindahkan ke tempat lain, Bunda tak ingin David semakin merasa bersalah dan tak berdaya jika menabrak sesuatu dalam langkahnya. Sepeninggal Ramon, punggung David bergetar. Sekuat tenaga dia menahan tangis. Hal yang selalu membuatnya semakin sakit. Ponsel Ramon berbunyi nyaring, dia segera menekan tombol hijau dan meletakkan di telinga. Sebuah panggilan dari rumah sakit. “Dengan saudara Ramon? Saya dokter yang menangani David. Saat ini saya sudah menemukan donor mata yang cocok. Siapkan saja uang DPnya agar kami bisa mengoperasi David seepatnya. Dan saya akan  mencarikan tim dokter terbaik di Indonesia untuk operasi ini.” “Baik pak dokter, terimakasih banyak. Sore ini saya akan ke rumah sakit bawa adik saya dan membayar Dpnya.” Panggilan diputus Ramon, dia berbalik menatap pintu kamar adiknya. Melihat Saldo dari M banking di ponsel. Jumlahnya bahkan tidak cukup untuk DP operasi itu. Diapun mencari salah satu kontak di handphonya, lalu melakukan panggilan. “Venus,” desah Ramon, dia akan melakukan apapun, asalkan David bisa melihat lagi! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD