Venus menyimpan nomor handphone Ramon dan segera melakukan panggilan, siapa lagi kalau bukan Susan yang memberinya nomor itu. Entah bagaimana caranya wanita itu bisa mendapatkan nomor Ramon dengan mudah?
Susan juga bilang, alasan Ramon menerima panggilan jika dari nomor yang tidak dikenalnya hanya satu, yaitu untuk sebuah pekerjaan. Dia takkan mau melakukan panggilan iseng.
“Halo,” Suara berat di sebrang sana terdengar dengan jelas, Venus menahan nafasnya. Berbicara dengan pria yang disukainya melalui telepon membuat dia merasa bahwa jaraknya sangat dekat.
“Hai, ini Venus. Eittss jangan ditutup!” Seru Venus ketika terdengar Ramon menggeram dan terdengar menjauhkan ponsel dari telinganya.
“Mau apalagi!” ketusnya
“Gw mau nawarin lo kerjaan!”
“Sebagai?” Ramon tampak tertarik, sementara Venus menggigit bibirnya dia tidak menyiapkan hal ini sebelumnya.
“Emmm,, body guard gw! Gimana?”
“Gak, itu bukan keahlian gw!”
“Sopir pribadi?” terlihat sopir Venus memasang tampang melas bersiap jabatannya dicopot.
“Gw gak punya sim A! Udah deh gw gak mau ngeladenin orang iseng. Gw sibuk!”
“Pacar!” telepon pun sukses ditutup Ramon. Susan terkekeh geli melihat tingkah Venus. Sementara artis cantik itu memasang ekspresi ingin menangis. Dan mengerling ke Susan.
Yang ditatap hanya tersenyum semakin lebar.
Mobil itu berhenti di sebuah studio besar di salah satu stasiun TV saingan RanTV. Venus akan melakukan gladi resik sebelum menjadi bintang tamu di sebuah acara award.
Beberapa penonton bayaran yang berpapasan dengannya di lobby, heboh memanggil namanya dan melambai.
“Venus.. ka Venus makin cantik...”
“Ka Venus, i love you ka...”
Suara ramai itu biasa terdengar di telinga Venus, biasanya dia hanya menyikapinya dengan tersenyum dan jika ada waktu luang membiarkan para fans berfoto bersamanya. Tapi tidak untuk saat ini. Dia sedang tidak mood. Venus hanya melambai dan tersenyum tipis. Kemudian memakai kaca mata hitamnya. Dan menghilang di balik ruang make up artis.
Venus mempercepat langkahnya karena acara sudah mau mulai, tiba-tiba seorang pria bertubuh tinggi menanbraknya sehingga membuat tubuhnya lunglai, dengan cepat pria tadi menarik tangan Venus sehingga wanita itu berdiri tegak kembali.
“Sorry,” gumam Pria bertopi itu, Venus memajukkan wajahnya menatap lelaki itu bersamaan dengan pria itu yang melihat Venus
“Elo!”
“Ramon?” Venus mengernyit, Ramon kan bukan karyawan TV ini, tapi mengapa ada disini? Ramon menutup bibir Venus dengan telunjuknya, tapi Venus malah mengecup telunjuk itu, hingga Ramon berdecih dan mengelap telunjuknya seolah terkena benda najis.
“SSSttt!” nada nya seperti mengancam, Venus mengangguk dan mereka berjalan dengan berlawanan arah. Venus ke Stage, sementara Ramon ke ruang control.
***
Venus menatap lelah ke supirnya yang terlihat membetulkan mesin mobil yang tak jua mau menyala. Berkali-kali dia melihat jam yang melingkar di tangannya. Sudah sangat terlambat. Padahal dia harus datang ke suatu tempat. Atau mereka akan kecewa.
Hari sudah semakin siang dan semakin panas. Susan dengan tergopoh menghampiri Venus. Dia membetulkan letak kacamata dan menaikkan tali tasnya.
“Naik motor aja ya,” ucap Susan sementara Venus menghela nafas panjang.
“Ojek Online? Kamu tahu kan aku punya pengalaman buruk.” Venus menatap nanar ke Susan, ya Susan masih mengingat hal itu. Hari dimana Venus terjebak macet sehingga dia memesan ojek online, namun sang pengendara motor itu yang tahu kalau customernya adalah artis terkenal, nekat meminta foto-fotonya dengan setengah memaksa. Bukan itu yang ditakuti Venus. Dia akan senang hati jika hanya ingin minta Foto.
Tetapi pengendara itu memutar jalan hanya untuk memamerkan dirinya ke beberapa temannya di sebuah tempat mangkal paraojekers itu. Padahal Venus sudah sangat terlambat.
Venus menggoyangkan kakinya dengan tubuh yang bersandar pada pintu mobil. Sementara pandangan wajahnya mengarah ke gedung RanTV, dia baru saja selesai program Hits dan sekarang ingin pergi ke acara lainnya.
Ketenarannya membuat dia menjadi artis yang paling sibuk saat ini. Sebuah motor Satria Fu berhenti di hadapannya dan seorang Pria yang dikenalnya menyodorkan helm ke Venus.
“Ramon?”
“Ayok cepet gw anter!” Venus memandang ke Susan yang sudah tersenyum sambil mengangguk-angguk. Venus pun mengucapThanks dan mengambil tasnya di mobil dia segera mengenakan helm itu dan naik di belakang Ramon.
Ramon mengendarakan motornya dengan cepat, beberapa kali dia menyalip kendaraan lain. Venus pun mencari kesempatan dengan memeluk Ramon dari belakang. Udara panas tak dihiraukannya, dia hanya ingin waktu berhenti agar bisa selamanya memeluk lelaki yang disukainya ini.
Ramon sesekali melepaskan tangan Venus, namun dengan cepat pula Venus melingkarkan tangannya lagi. Hingga Ramon pasrah dipeluk wanita yang satu itu.
“Elo kenapa gak punya SIM A sih? Emangnya gak bisa naik mobil?”
“Bisa.”
“Trus kenapa gak bikin?”
“Ngapain? Mobil aja gak punya!” Ramon selalu menjawab dengan ketus.
“Klo elo mau, gw bisa beliin lo mobil, mau Fortuner? Eh jangan deh Fortuner sama tiang listrik aja kalah... mmmhhh Pajero mau? Atau mobil apapun gw bisa beliin.”
“Ogah!” Ramon menghentikan motornya di sebuah panti asuhan.
“Ngapain lo kesini?” tanya Ramon yang memperhatikan panti itu terlihat sepi, dia melihat ke sekeliling tidak ada mobil wartawan atau mobil Van yang biasa mengangkut peralatan syuting.
“Acara rutin, lo mau ikut masuk?” Ramon mengernyitkan keningnya, dia masih menyelidik memastikan apakah ada kamera yang dipasang secara diam-diam. Karena biasanya artis yang datang ke panti asuhan atau tempat lainnya yang seperti ini, hanya berniat memamerkan dirinya. Riya !
Venus membuka pintu depannya dan berjalan keruang tengah, dimana sudah banyak anak-anak kecil yang sebagian besar berkebutuhan khusus sedang duduk melingkar mendengarkan seorang wanita bercerita dengan boneka di tangannya.
Dia berjalan dengan berjingkat agar tak membuat heboh, mencolek seorang wanita tua yang rambutnya sudah penuh dengan uban.
Wanita itu nampak terkejut lalu memeluk Venus erat. Venus pun ikut duduk disampingnya mendengarkan cerita itu. Sementara Ramon hanya berdiri tak jauh dari sana. Memandangi anak-anak yang kurang beruntung itu satu persatu. Hatinya mendadak sakit.
Seorang anak berteriak ke arah Venus dan menunjuknya “Kaka Venusss,,,” hingga semua menengok ke arahnya, dengan ceria Venus melambai. Dan anak-anak itu terlihat senang, beberapa melompat gembira dan bertepuk tangan. Termasuk para perawatnya yang terlihat lega.
Venus pun berjalan ke wanita yang menceritakan dengan boneka tadi dan ikut berinteraksi. Dia ikut memegang boneka tangan dan larut dalam cerita. Anak-anak itu kembali tenang.
Setelah bercerita Venus mengambil Piano dibantu oleh petugas panti tersebut. Dia menyanyikan sebuah lagu beraliran mellow sambil tangannya menekan tuts dengan lincah.
Ramon masih mematung, menyaksikan hal itu. Terlihat Venus sangat menikmati suasana ini. Tak ada kamera, tak ada wartawan, tak ada syuting. Hanya Venus dan sorot mata ketulusannya.
Tak berapa lama, Susan dengan Sopirnya datang membawa banyak makanan dan hadiah untuk anak-anak. Dari pakaian, tas, s**u, diapers maupun mainan.
Venus berjalan ke arah stroller dimana nampak seorang anak yang mulutnya selalu menganga hingga air liur nya menetes, tanpa jijik Venus mengelap liur itu dengan tissue dan mengusap rambutnya. Dia mengambil makanan dari tangan perawat dan menyuapinya.
“Hallo chubbyku.,” ucap Venus, Ramon nampak tertarik dan berjalan menghampirinya.
“Kamu senang?” lelaki yang dipanggil Chubby itu mengangguk dengan sorot mata berbinar, padahal tubuhnya kurus, namun Venus memang memanggilnya Chubby agar anak kecil itu bersemangat dan mau makan banyak.
“Lo sering kesini?” Venus mengangguk dan menyuapi anak itu, sesekali mengusap makanan yang keluar dari mulutnya.
“Sebulan sekali gw kesini.” Ramon mengangguk dan membuang pandangannya ke wajah-wajah yang terlihat senang dengan kedatangan Venus.
“Gak ada wartawan?” dia masih penasaran. Venus menggeleng, diberikan kembali makanan itu ke perawatnya. Dia berjalan ke seorang bayi. Venus menggendongnya sembari menimang-nimang, menina bobokan bayi yang nampak mulai mengantuk itu.
Ibu kepala panti menghampirinya dan mengusap kepala bayi itu, dia mengedikkan bahu ke salah seorang perawat yang segera mengambil bayi itu karena sudah terlelap.
“Saya baru liat mas ini, nama saya Reni. Kepala Panti asuhan.” Bu Reni mengulurkan tangannya dan Ramon membalasnya dengan canggung, “Ramon,” ucapnya pelan.
“Dia teman saya bu,” Venus tersenyum sementara wajah Ramon terlihat datar tak berekpresi.
“Oh, ganteng ya temennya.” Bu Reni nampak menggoda Venus, karena ini pertama kalinya Venus mengajak orang asing.
“Saya sudah menghubungi pihak rumah sakit, dan besok beberapa dokter dan perawat akan melakukan kontrol rutin disini. Dan ini rekening bersama donasi dari temen-temen artis, kami ngadain iuran wajib tiap bulan untuk membantu panti ini.” Venus menyerahkan sebuah amplop berisi buku tabungan ke bu Reni.
Mata bu Reni membulat dan membesar tangannya gemetar menerima amplop dari Venus. Lalu butiran air menetes dari sudutnya. Venus mengusap punggung tangan bu Reni dengan haru. Dia tersenyum lalu menoleh ke dua mata yang sedari tadi memandangnya lekat.
Ramon, yang memilih pergi setelah melihat itu. Mau pamer? cih.
“Kemarin kenapa kamu kerja di TV lain?” Venus mengikuti Ramon yang berjalan ke arah motornya.
“Side job, butuh uang.” Ramon segera naik ke motor dan memakai helmnya.
“Gw bisa bayar berapapun yang lo mau.” Ramon mengangkat sebelah alisnya nampak tertarik. Pembicaraan tentang uang selalu membuatnya tertarik.
“Asal lo mau tidur sama gw!” tantang Venus sambil menopang dagu dengan jemari lentiknya. Ramon mendecih kesal.
“Gw bukan gigolo! Bayar aja cowok laen klo mau!” ucapnya kesal dan segera melajukan motornya dengan kecepatan penuh. Ada rasa sesal dihatinya sempat kagum dengan Venus tadi. Ternyata dia dan golongannya sama saja, seolah bisa membayar apapun, termasuk harga dirinya!
Venus menggeram kesal, tak semestinya dia mengikuti saran Laura. Cewek m***m itu. Kini sepertinya Ramon semakin tak punya feeling ke dia.
***
Susan masuk ke kamar Ramon, dia mengenakan baju santai. Sementara Ramon sedang memetik gitarnya sesekali bersenandung lirih.
“Nih,” sodor Susan memberikan amplop putih. Bayaran untuk Ramon karena tadi sudah mengantar Venus.
“Kasih bunda sana!” Ramon nampak tak tertarik dengan amplop itu, Susan melengos dan berjalan ke ruangan yang lain. Mencari bunda. Dia nampak sangat familiar dengan rumah itu dan hapal setiap seluk beluk yang ada didalamnya.
Matanya menatap tutup botol plastik yang berjajar sepanjang tembok, hingga bermuara ke sebuah pintu kamar yang dalamnya terlihat gelap. Lama Susan berdiri memandang ruangan itu.
Ruangan yang nampak tak berpenghuni, karena satu-satunya yang tanpa pencahayaan. Seolah di dalamnya ada dunia tersendiri yang tak terjamah. Yang membuat senyum Ramon hilang!
***