Another Side

1470 Words
Sinar keperakan dari sang rembulan menemani perjalanan Alvira dengan sepeda bututnya. Dikayuhnya sepeda itu cepat saat melirik jam tangan; pukul 9 malam. Ia sudah telat setengah jam dari perjanjian yang disepakati.   Sudut bibir Alvira terangkat kala melihat keramaian di ujung jalan. Ia membelokkan sepedanya ke tempat parkir yang sudah terlihat penuh.   Alvira mendengus pelan saat tak melihat ruang yang cukup untuk memarkirkan sepedanya. Manik itu mengedar, lalu bebinar cerah saat melihat sedikit celah antara motor sport hijau terang dan mobil putih itu. Agak mempet dikit enggak apa-apa kali ya, pikir Alvira.   Setalah memarkirkan sepedanya, Alvira melangkah mantap ke lapangan yang sudah terlihat ramai dengan d******i anak cowok yang terlihat sibuk dengan papan skateboardnya masing-masing.   Tetapi ada yang berbeda di sana. Mereka terlihat mengerumuni sesuatu dengan sorak berderai dan decakan kagum. Alvira mengeluarkan papan skatenya sendiri dan meluncur mendekati mereka.   "Woy!"   Alvira mengangkat papan skatenya dan menepuk bahu cowok pertama yang ia temui.   Ketika cowok itu berbalik, barulah Alvira sadar jika dia adalah Aldo; teman satu komunitasnya.   "Eh, elo Vir, tumben baru dateng?"   Alvira nyengir, "Biasa, disuruh emak beli kecap tadi," balasnya asal. Kemudian matanya melirik kearah kerumunan di balik punggung Aldo."ada apaan sih?"   "Ada anak baru. Gila gayanya keren banget." ada sinar di mata Aldo saat mengatakannya.   Alvira mendengus jijik. "Lo ngomong kayak seolah-olah lo naksir sama dia Do, geli gue."   Aldo melotot, wajahnya terlihat merah padam. "Sialan. Gue masih normal kali."   Alvira terbahak sambil memegang perut. Wajah Aldo yang memerah terlihat benar-benar lucu di matanya. "Alah, ngeles aja terus."   Aldo dengan sigap menjitak kepala Alvira hingga membuat cewek itu meringis. "Capek gue ngomong sama lo, gak bakalan selesai sampe negara air menyerang."   Alvira mendengus sembari mengusap dahinya. "Emangnya gue nggak capek apa ngomong sama lo."   Aldo adalah teman baik Alvira di skater's jake, sebuah komunitas skateboard terbesar di Jakarta. Masuk ke komunitas ini berarti harus mempunyai kemampuan yang mumpuni dan patut diperhitungkan. Karena itulah seorang anggota baru yang akan masuk harus di seleksi terlebih dahulu. Dan Alvira termasuk beruntung bisa tergabung di sini.   "Eh, lo liat Reyhan gak? Bocah songong itu katanya udah nunggu gue diparkiran, tapi gue udah sampe sini malah gak nemu idungnya sama sekali. Tukang ngibul dasar." nada suara Alvira terdengar jengkel, matanya masih mengedar, berharap menemukan Reyhan.   "Liat ekspresi lo gini, kayaknya bentar lagi si Reyhan bakalan dapet kejutan deh." ada senyum menyeringai di sudut bibir Aldo sebelum ia melirik ke arah kerumunan. "Dia lagi sama cewek-cewek noh, sebelah selatan."   "Anjiirr, tuh anak emang gak pernah berubah ya?" Alvira menggeleng pelan. "awas aja kalau ketemu, gue pites."   Manik Alvira berkilat kejam, pun dengan bibirnya yang menipis marah. Aldo yang melihat itu hanya terkekeh geli.   "Gue kesana dulu ya." Alvira menepuk bahu Aldo sekilas sebelum menyelinap ke arah kerumunan di depannya. Tubuhnya yang mungil ini ternyata memudahkan cewek itu untuk cepat sampai di posisi depan.   Alvira mengamati sosok cowok yang menjadi bintang lapangan hari ini dengan saksama. Cowok itu terlihat santai saat meliukkan papan skatenya melewati lintasan yang menjulang tinggi, mengundang decak kagum dari puluhan pasang mata di sini.   Alvira tidak bisa melihat wajah cowok itu dengan jelas, jaket abu-abu yang dikenakannya menutupi hingga kepala, sedang posisinya sedang memunggungi Alvira saat ini.   Sorak sorai kembali terdengar saat cowok itu melompat dengan mudah dan memutar papan skatenya. Alvira mengalihkan pandangan pada kubu bagian selatan, mencari keberadaan Reyhan. Tetapi yang Alvira temukan hanya sekumpulan cewek dengan pakaian minim yang melompat-lompat mendukung, sedang di sekelilingnya ada cowok-cowok tinggi menjulang.   Kemudian... bukannya menemukan Reyhan, tatapan Alvira malah terpaku pada sosok yang terlihat sangat mencolok di sana. Tingginya yang lebih menjulang dari yang lain memudahkan Alvira melihatnya.   Alvira mengerutkan kening. Bukankah itu... Rajawali? Salah satu antek-anteknya si songong Adreno?   Suara tepuk tangan riuh mengalihkan tatapan Alvira. Ternyata sang bintang lapangan malam ini telah menyelesaikan permainannya.   Cowok itu berdiri menjulang di tengah lapangan, lalu seperti gerakan slow motion, dia membuka tudung jaketnya. Menampakkan rambut sehitam malam yang terlihat memukau di bawah pantulan lampu.   Alvira terbelalak saat cowok itu berbalik. Mata mereka kembali bertemu untuk ketiga kalinya hari ini. Abu-abu dan hitam arang saling menatap, memancarkan keterkejutan yang sama besarnya.   Dia~ Adreno Yudhistira. Kenapa dari sekian banyak tempat di dunia ini, Alvira bertemu lagi dengan cowok sialan itu? Kayak enggak ada tempat lain saja.   Lagi-lagi, Adreno yang lebih dulu sadar. Ia tersenyum menyerigai, kemudian mengangkat skatenya dan berjalan santai ke arah Alvira yang masih terpaku di tempat.   Semua mata terpaku pada gerakan Adreno, pun dengan bisik-bisik yang mulai terdengar dari seluruh penjuru, penasaran. Memangnya~ siapa orang yang sudah berani merebut perhatian seorang Adreno?   Alvira yang mulai sadar jika Adreno berjalan ke arahnya segera berbalik, hendak menjauh. Tetapi ia kalah cepat dengan tangan Adreno yang sudah mencekal lengannya lebih dulu. Ia berdecak dan melayangkan sorot tajam.   Adreno hanya mengangkat alis. Bibirnya mengulum senyum. "Hallo... Bukankah ini sebuah kebetulan yang menyenangkan?"   Alvira segera menepis kasar tangan Adreno yang mencekal lengannya. "Ngapain lo di sini?"   Adreno terkekeh pelan. Kemudian mengambil topi yang menutupi rambut Alvira dan mengamati pelipisnya. Ada seutas seringai saat melihat plester yang telah melekat di sana. "Ini tempat umum. Saya juga berhak ada di sini."   Alvira menatap marah pada topi kesayangannya yang berada di tangan Adreno. Ia mendesis, "Topi gue. Balikin,"   Alvira bukannya tidak tahu jika dirinya tengah menjadi pusat perhatian. Ia mengepalkan tangan kuat-kuat. Menahan segala makian dan amarahnya biar enggak keluar. Sebab, Alvira tahu jika salah langkah sedikit akan membuatnya jadi bahan pembicaraan. Dan Adreno, ya Tuhan, kenapa cowok itu malah diam saja?   Adreno mengerutkan kening saat melihat bahasa tubuh Alvira yang terlihat tidak nyaman. "Kamu kenapa?"   Belum sempat Alvira membalas perkataannya, seseorang dari arah belakang menyela. Diikuti oleh teriakan membahana yang mulai kembali bersahutan.   "Kalian gak sadar jadi pusat perhatian tadi?"   Adreno membalikkan tubuh dan mendapati Raditya telah berada di dekat mereka, sedang bersedekap sembari menangkat alis, dengan seringai mengejek.   Orang-orang yang sedari tadi mengamati Adreno kini telah berganti bahan pengamatan, karena di atas lintasan telah melaju seseorang dengan tak kalah hebatnya. Sorakan pun kembali berderai melihat aksi makhluk paling dingin di seluruh penjuru SMA Pandhawa; Rajawali Kusumadilaga.   Karena tak kunjung mendapat respon, Radit kembali berucap, "Mending kita ke belakang deh," ucapnya sambil melirik sekitar.   Mereka masih berada dalam kerumunan meskipun perhatian sudah tak lagi tertuju pada mereka. Dan berbicara di tempat seperti ini pasti tidak akan mudah. Alvira yang lebih dulu menyelinap di balik kerumunan, diikuti Adreno dan Raditya di belakangnya.   Saat mereka telah berada di tempat sepi, Radit kembali melanjutkan perkataannya. "Untung Bang Raja udah ngambil alih perhatian tadi. Kalau gak... mungkin besok gebetan lo ini bakalan babak belur dikerubutin fans lo Ren." kemudian ia menyerigai menatap Alvira.   "Sembarangan aja lo kalau ngomong!" suara Alvira terdengar marah, kemudian ia maju selangkah dan menginjak kaki Radit kuat, "gue gak sudi jadi gebetan cowok manipulatif kayak dia. Dan asal lo tahu..." Alvira menunjuk wajah Radit yang meringis kesakitan. "Gue gak lemah! Gue gak bakalan babak belur cuma karena kejadian ini."   Raditya mengangkat tangannya tanda menyerah. Ternyata melihat kemarahan seorang Alvira dari jarak sedekat ini terasa sedikit menakutkan, yang anehnya tidak membuat Adreno terimidasi sedikitpun.   "Santai Vir, mata lo gak usah kayak mau makan gue gitu kali." Radit berusaha bersikap santai, kemudian berjalan mendekat ke samping Adreno.   Alvira hanya melotot menanggapi perkataan Radit. Lalu mengalihkan tatapannya pada Adreno, mengulurkan tangannya.   "Topi gue."   Adreno tersenyum tipis, memamerkan lesung pipinya yang menawan. Kemudian... bukannya memberikan topi itu, Adreno malah membalas uluran tangan Alvira. Menggenggam telapak tangan itu erat.   Alvira menatap tautan tangan mereka dengan pandangan tak percaya, kemudian menyentak pegangan tangan itu kasar.   "Lo gila?" bentaknya sambil melotot tajam.   Adreno terkekeh. Tangannya terangkat untuk merapikan helaian rambut Alvira yang mencuat nakal. Kemudian... saat jemari itu sampai di pelipis Alvira, Adreno mengelus permukaan plester yang membalut luka cewek itu pelan, takut menyakiti. Lalu setelah berhasil menyelipkan helain rambut itu ke belakang telinga, Adreno memakaikan topi itu.   "Saya yang tadi mengambil topi kamu, jadi saya juga yang harus memakaikannya."   Alvira menggerjabkan mata tidak percaya, mematung di tempatnya berdiri. Kenapa sikap cowok itu berubah-ubah? Bukannya tadi sore ia baru saja melayangkan ancaman? Tapi kenapa sekarang...   "Dya. Itu lo?"   Suara familiar itu membuyarkan lamunan Alvira. Refleks ia dorong bahu Adreno yang terlalu dekat dengannya. Kemudian menoleh dan mendapati Reyhan tengah menatapnya sambil menaikkan alis.   "Reyhan!" Alvira segera menghambur ke sisi Reyhan, tak lupa dengan sorot tajam yang ia layangkan pada cowok itu.   Rey memekik pelan saat cubitan maut dari Alvira tertanam di pinggangnya. "Sakit Nyet."   "Salah lo sendiri ninggalin gue. Ayo pergi." Vira berbisik sambil melirik Adreno dan Radit yang tengah menatap mereka penasaran. Sedang tangannya telah menyeret lengan Rey agar segera pergi dari sini.   "Loh. Gak sopan dong ninggalin temen lo gitu aja?" balas Rey berbisik.   "Berisik lo. Ikut gue aja kenapa sih?" Alvira mulai menyeret cowok itu menjauh. Reyhan yang tidak tahu apa-apa hanya menurut dengan pasrah.   Saat mereka telah berbalik dan berjalan beberapa langkah, suara khas Adreno terdengar.   "Jangan lupa dengan kejutan besok...Alvira."   ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD