Pukul 22.00 wib.
Alvira menenteng papan skatenya mendekati parkiran dengan muka masam. Gara-gara si songong Adreno, dirinya jadi malas bermain skate dan memilih untuk pulang lebih awal. Apalagi Reyhan malah membuatnya semakin kesal karena enggak berhenti menggodanya tentang Adreno.
Saat tiba di pintu parkir, suasana terlihat sepi, hening, sekaligus mencekam. Tanpa sadar, Alvira bergidik. Biasanya Alvira selalu pulang bersama Reyhan, dengan cowok itu yang memboncengnya. Tapi dirinya sudah terlalu kesal hingga nekat pulang sendiri tanpa pamit.
Bagaimana jika nanti ada begal? Alvira kan cewek, sendirian pula. Ya walaupum dia jago bela diri, tapi jika lawannya preman-preman dengan jumlah banyak, Alvira pasti kalah telak.
Alvira menghela napas. Memasukkan papan skatenya ke dalam ransel dan mendekati sepedanya di ujung parkiran. Dalam hati meyakinkan diri sendiri bahwa enggak akan ada hal buruk yang akan menimpanya. Lagian, siapa coba yang mau begal cewek tomboy macam dirinya? Yang ada malah dia dikira anak cowok karena jeans belel dan kaus longgar yang ia kenakan. Rambutnya juga tertutup topi.
"Kamu pulang sendiri?"
Alvira hampir menjatuhkan sepedanya karena kaget. Ia menoleh, ada Adreno yang tengah bersandar dengan kedua tangan bersedekap.
Sejak kapan cowok itu berada di sana? Dan kenapa Alvira tidak sadar?
Alvira menatap Adreno tajam,"Ngapain lo di sini?"
Adreno menggedikkan bahu, kemudian melirik pada sepeda yang di pegang Alvira. "Menunggu pemilik sepeda butut itu menyingkirkan sepedanya, biar saya bisa pulang."
Alvira segera mengamati sekitar, sepedanya ternyata menghalangi mobil putih di sebelahnya. "Kan lo bisa singkirin sepeda gue dulu. Gitu aja kok susah banget, hidup lo kebanyakan drama sih."
"Lalu sepeda itu saya taruh mana?" Adreno mengalihkan tatapannya pada gerobak sampah di depan Alvira, "saya tidak sejahat itu dengan menaruh sepeda kamu di tempat sampah. Menaruhnya sembarangan juga tidak mungkin kan?"
Alvira mendengus jengkel, tapi dalam hati ia mengiyakan pernyataan Adreno. Di tempat parkir ini sudah penuh sesak, menaruhnya sembarangan sama saja mengganggu pengguna parkir lain.
"Oke, gue salah. Sekarang, silahkan lo pergi. Sepeda gue udah gak ngalangin lagi kan?" bersamaan dengan itu, Alvira menaiki sepedanya dan menyingkir dari sana, memberi jalan pada mobil Adreno.
Adreno masuk ke celah yang ditinggalkan Alvira, membuka pintu mobilnya. "Kamu pulang sendiri?"
"Bukan urusan lo."
"Kemana pacar kamu? Gak nganter?"
"Kepo banget sih lo! Gak usah sok peduli bisa?" Alvira membalas sinis, ia hendak mengayuh sepedanya sebelum suara berat Adreno menginterupsi,
"Kenapa kamu membenci saya?"
Alvira mematung. Kenapa dia membenci Adreno? Alvira juga tidak tahu jawabannya. Yang pasti, dia tidak suka melihat wajah tampan Adreno, tidak suka ketika teman-temannya memuji Adreno. Tidak suka dengan Adreno yang terlihat sempurna di mata semua orang. Alvira menganggap jika kesempurnaan yang cowok itu tunjukkan selama ini tidak pernah tulus. Dia benci kepura-puraan. Dia juga benci saat cowok itu sok mengurusi hidup Alvira.
"Karena cowok manipulatif dan sok tahu kayak lo, gak pantes untuk disukai." akhirnya kata itu yang berhasil keluar. Lalu tanpa membiarkan Adreno bertanya lagi, ia mengayuh sepedanya cepat. Membiarkan Adreno yang bergeming di tempatnya.
***
Pagi ini Alvira dikejutkan oleh foto memalukan dirinya selepas tawuran kemarin, telah tersebar diseluruh mading SMA Pandhawa. Suhu wajah Alvira meningkat drastis, kemarahnnya membakar hingga ke ubun-ubun.
Ya Tuhan, Alvira benar-benar terlihat jelek dan memalukan di sana. Dengan rambut acak-acakan, wajah kucel dan seragam bekas tanah dan bercak darah. Raut wajahnya seperti habis mabuk, menggelikan. Hah. Dirinya nyaris menyerupai pengemis berkedok anak sekolah.
Alvira mengepalkan tangannya. Mengambil kertas itu dari mading dan meremasnya kuat. Dia bahkan enggak peduli dengan anak Pandhawa yang menatapnya terang-terangan. Penuh tatapan jijik dan penghakiman.
Oke, bukannya Alvira takut jika nama baiknya tercemar. Dia sudah punya predikat jelek sejak kelas sepuluh. Bahkan dewan guru sudah tahu tingkah buruknya yang satu ini. Itu sebabnya kan Alvira kena skors kemarin? Ah, dan jangan lupakan andil Adreno juga di dalamnya.
Bagaimana jika karena masalah ini, Alvira jadi di drop out dari sekolah?
Sialan.
Jika hal itu sampai terjadi, Alvira tidak akan memaafkan cowok itu seumur hidup.
Alvira berjalan cepat menyusuri koridor. Tatapannya menghujam pada tiap pasang mata yang tak sengaja bersinggungan dengannya. Tujuannya adalah satu; lapangan basket. Karena Alvira tahu jika cowok itu sedang ada jam olahraga hari ini.
Dan, senyum sinis Alvira tersungging saat melihat keberadaan cowok itu, sedang mendddible bola sambil membelakanginya.
Dan, seolah tahu ada yang memperhatikan, Adreno berbalik.
Dua kelereng beda warna itu saling menatap, yang satu menguarkan aura permusuhan, sedang satunya lagi menatap hangat dan tenang. Saling berbanding terbalik.
Adreno melempar bolanya pada Radit. Bercakap sebentar dengan guru olahraga sebelum berjalan menghampiri Alvira di samping lapangan. Ketika jarak mereka tinggal dua langkah, Adreno mengulum senyum. "Kenapa menemui saya pagi-pagi? Kamu rindu?"
Alvira melotot marah. Dia memang sengaja menyindir ya?
"Licik banget sih cara lo buat bales dendam. Lo pengen gue di drop out dari sekolah, iya? Kenapa nggak seklian foto muka gue pas tawuran, hah?"
Alvira bahkan tidak peduli jika dirinya menjadi pusat perhatian. Kemarahannya sudah membutakan logika, menelan kewarasan yang tersisa. Dan kenapa pula Adreno tetap terlihat terkendali dan tenang? Dasar iblis bunglon!
"Siswi SMA Pandhawa yang paling jago tawuran, pembangkang keras kepala yang tidak takut apapun. Bukankah itu kata-kata yang bagus?"
Adreno membacakan kata-kata yang tertulis di bawah foto Alvira dengan tenang, sengaja memancing amarahnya.
Alvira menahan diri untuk tidak segera melayangkan pukulan. "Sialan. Iblis kayak lo itu gak pantes buat di agung-agungkan sama seluruh siswa di sini. Tingkah lo kekanakan tahu gak!"
Sebelah alis Adreno terangkat. Wajahnya tanpa ekspresi. "Lalu bagaimana dengan kamu sendiri? Cobalah bercermin. Siapa yang kemarin menuduh saya dan menyebarkan nya ke anak-anak?" Adreno menyeringai sebelum melanjutkan, "setidaknya apa yang saya katakan memang kebenaran."
Alvira mengangkat jari tengahnya. Wajahnya berubah merah padam. Mungkin sekarang tanduk imajinasi sudah keluar dari kepalanya. "Maksud lo, berita yang gue sebarin kemaren itu bohong? Gue lihat sendiri kemarin! Pisau itu lo taruh saku dengan santainya."
"Apa kamu punya bukti, Alvira Anindya? Bukannya saya sudah memberitahu kamu kalau itu bukan pisau?" balasnya tenang, tanpa riak.
Alvira memutar bola mata. "Gue gak percaya sama omongan lo! Dan gue emang gak bisa buktiin itu sekarang. Tapi nanti... gue bakal bongkar kebusukan lo di depan semua orang! Lo tunggu aja, Adreno Yudhistira."
Adreno tersenyum tipis, lalu sedikit membungkukkan punggungnya, sengaja mengejek.
"Dengan senang hati, Nona." persis setelah mengatakan itu, Adreno menegakkan tubuh dan berjalan menuju teman-temannya yang sedang menunggu dengan raut penasaran.
Tapi langkah cowok itu terhenti ketika Alvira berseru keras. "Lo pikir, lo siapa bisa perlakuin gue kayak gini?"
Adreno membalas ucapannya tanpa berbalik. "Bukankah saya adalah iblis manipulatif? Harusnya kamu sudah tahu kelakuan saya."
Persis setelah itu, Adreno berjalan semakin menjauh. Lalu mengukir senyum tipis saat telah mencapai lapangan basket. Seolah-olah, kejadian tadi tidak pernah ada artinya untuk Adreno.
***
Ana tertawa keras saat melihat gambar di i********:. "Parah gila. Lo harus lihat ini Gri."
Ana menyerahkan gadgetnya pada Griya yang sedang menatapnya malas, sedangkan Ana masih cekikikan hingga membuat bahunya bergetar.
Bola mata Griya melotot sempurna saat melihat sebuah foto yang terpampang di layar gadget keluaran terbaru milik Ana. "Ini Pak Jaka?" bisiknya tak percaya. "Ganteng banget, parah."
Dalam layar itu terlihat jelas foto seorang pria berusia sekitar 25 tahun, sedang bersender pada bodi mobil antik berwarna hitam legam, lalu di belakangnya terlihat pantai berpasir putih dengan cahaya matahari yang memerah jingga, menimbulkan siluet menggoda.
"Pak Jaka, lop u..." Griya memajukan bibirnya sambil menatap foto guru bahasa inggrisnya dengan binar.
"Alay lo. Raja mau dikemanain coba?"
Griya mendesah malas, "Gue abis ditolak Raja kemarin. Gak usah ngingetin, bisa?"
Ana tergelak, "Muka lo gak usah melas deh Gri. Lupain Raja, mending sama Pak Jaka aja."
"Pak Jaka mau merit bulan depan, anjiir."
Kening Griya berkerut dalam saat mengenali foto cewek dengan seragam dan rambut berantakan di bawah foto Pak Jaka. "Eh, ini bukannya foto si Vira?"
Ana segera mengambil gadgetnya. Kemudian menggerjabkan mata tak percaya. "Gila! Ini Adreno yang upload fotonya Vira di i********:? Parah. Tu anak emang gak punya otak ya?"
Bersamaan dengan itu, suara berdemum keras terdengar dari arah pintu terdenga, disusul dengan u*****n dan makian marah setelahnya.
Griya dan Ana segera menoleh dan mendapati wajah marah Alvira di ambang pintu. Mereka refleks berlari panik saat melihat tangan cewek itu berdarah.
"Alvira lo kenapa?" Ana menyentuh tangan Alvira yang terluka, rautnya berubah cemas. Sedangkan Griya sudah berlari ke luar kelas untuk mengambil kotak P3K di UKS.
"Gak papa kok, cuma kegores giginya Rafan barusan," balasnya sambil memamerkan cengiran lebar, kemudian melepaskan lengannya dari tangan Ana.
Yeah. Setidaknya bukan itu yang terjadi. Alvira hanya terlalu marah pada perlakuan Adreno dan tanpa sadar tangannya tergores ketika menggenggam batang ranting terlalu erat.
Ana menggeleng, kemudian menghela Alvira untuk duduk di bangku mereka."Gue tau lo gak lagi baik-baik aja Vir, lo bisa cerita sama gue."
Alvira menggerling jahil, "Apaan sih. Kok jadi mellow drama gini."ia terkekeh sambil menyandarkan punggung.
Ana menghembuskan napas, sudah hafal dengan sifat Alvira yang selalu menyepelekan masalahnya sendiri. "Nih, jelasin. Kenapa Adreno bisa upload foto lo di i********:?"
Ana menyerahkan gadgetnya ke hadapan Alvira, membuat dirinya mengusap wajah saat melirik foto dilayar itu.
"Lo belum mading? Semua penuh sama foto gue. Lo pasti tau kan siapa pelakunya?" Alvira menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangan yang ia buat di meja. Sudah merasa malas dengan semua ini.
Ana menggerjabkan mata seolah tersadar, "Jadi? Foto lo udah kesebar se SMA Pandhawa?" bisiknya tak percaya.
Bukan, Ana tidak takut jika nama baik Alvira tercemar, karena memang sebelumnya nama Alvira sudah dikenal sebagai anak nakal sejak kelas sepuluh.
Dia hanya tidak menyangka jika Adreno yang terkenal sempurna dengan segala sikapnya, bisa berbuat hal sepicik ini. Apa cowok itu enggak memikirkan dampak yang akan terjadi pada Alvira?
"Alvira! Kenapa ada banyak foto lo di mading?" Griya datang dengan napas memburu, sedang di kedua tangannya terdapat sekotak obat dan kertas lecek berisi foto Alvira.
"Duduk dulu Gri."
Ana mengambil kotak obat dari tangan Griya, kemudian mulai membersikan luka di tangan Alvira, menghiraukan Griya dengan tatapan ingin tahunya.
"Ana. Jawab gue..."
Ana melirik Vira yang tertidur dengan tenang sebelum menjawab pertanyaan Griya.
"Adreno yang nyebarin Gri." Ana memelototi Griya saat cewek itu hendak protes, "gak usah bantah dan bilang cogan gak pernah ngelakuin hal sepicik itu." tambahnya lagi sebelum bersandar pada kepala kursi.
Griya hanya terdiam di tempatnya. Ya, Ana benar. Griya sudah membuktikannya sendiri, dengan seseorang yang ia pikir selalu bisa ia percayai dan selalu sempurna dalam segala hal.
Terkadang, kita memang baru bisa mengerti setelah mengalaminya sendiri. Bahwa mungkin, orang yang terlihat sempurna belum tentu baik seutuhnya. Akan ada beberapa hal yang tersembunyi, yang tidak orang lain tahu.
***
Adreno melangkah pelan menyusuri koridor, jam sekolah telah berakhir satu jam yang lalu. Kelereng abunya menatap awas sekitar, sedang tangannya mencengkram erat gulungan kertas berwarna emas.
Raditya dan Raja sudah lebih dulu ke gedung olahraga sekolah. Adreno terpaksa tertahan karena harus menyelesaikan tugasnya sebagai ketua OSIS.
Ancaman yang ia terima kemarin semakin bertambah parah saja. Mereka seolah sengaja mencari gara-gara dengan Adreno, sengaja membuatnya merasa terancam. Tapi bukan Adreno namanya jika tidak bisa bersikap tenang.
Dan kini... pekerjaan Adreno semakin bertambah karena harus mengurus kekacauan yang dibuat oleh cewek keras kepala itu. Dia masih belum puas bermain-main ternyata. Dan Adreno, pasti akan dengan senang hati melayaninya. Sebab, melihat wajah angkuh cewek itu berubah marah adalah hiburan paling menyenangkan baginya.
Dan, Adreno terpaku saat telah mencapai pintu gedung olahraga yang terbuka lebar. Menampilkan dengan jelas kekacauan apa yang sebenarnya terjadi.
"Apa dia sudah gila?"
***