Alasan

1403 Words
'Clek'   Bunyi pintu yang terbuka membuat Alvira menoleh, sosok cowok bersurai cepak berdiri di ambang pintu dengan senyum lebar.   "Hai, Alvira kan?" cowok itu menyapa dengan nada ramah, mendekati Alvira yang masih mematung di tempatnya dengan dahi berkerut bingung.   "Ah, lo yang hampir gue tabrak di koridor tadi kan? Siapa nama lo? Eter?" tebak Alvira sembari memicingkan mata menyelidik.   Petra terkekeh pelan sebelum mengangguk. "Ya. Dan nama gue Petra, bukan Eter."   Alvira hanya memutar bola mata. "Terus ngapain lo di sini? Bukannya lagi ada tanding?"   "Giliran tim gue masih nanti," balasnya kalem, sedetik kemudian, ia menaikkan alis menyerigai. "Ah, lo kok tahu sih? Perhatian banget sama gue."   "Songong lo!" Alvira mulai nyolot, kemudian berkacak pinggang. "Gara-gara lo gue jadi terperangkap di sini tau gak?! Dan gara-gara lo juga gue diperdaya sama ketua OSIS sialan itu!" bentaknya marah.   Kening Petra berkerut dalam. "Kenapa malah nyalahin gue?"   "Lo gak paham bahasa manusia ya? Kan gue udah bilang alasannya di koridor tadi, setan!"   Petra hanya terkekeh, kemudian melirik pada jas yang melingkar di pinggang cewek bernetra arang. "Eh, itu kenapa p****t lo? Kok dipakein jas? Biar kelihatan cakep ya?" ucapnya dengan nada polos.   Alvira mendesah pelan sebelum duduk di bangku kayu memanjang di belakangnya. "Ada makhluk iseng yang ngerjain gue pake kecap. Dan parahnya, semua orang ngira kalo ini PMS gue yang tembus. Anjir emang," balasnya blak-blakan.   Petra yang mendengar itu langsung teringat sesuatu, "Eh, tadi gue liat noda kecap di tempat bekas lo jatuh di koridor," cowok itu terdiam sebentar, menerka-nerka, "mungkin itu sebabnya. Hahaha." dan tawa jahanamnya meledak.   Alvira berkedip dua kali sebelum tersadar. "Jadi kesialan gue ini gara-gara lo lagi? Emang setan ya lo!" Alvira segera beranjak dari duduknya, kemudian berlari menerjang si cowok bermanik hazel.   "Aduh. Kok lo bar-bar banget sih jadi cewek?" Petra mengaduh sambil memegangi kepalanya dengan kedua lengan. Sedangkan Alvira memukul dengan membabi buta, tidak ada celah sedikitpun untuk melarikan diri bagi orang yang sudah membuat hari seorang Alvira sial.   "Enyah aja lo, gak usah balik ke Pandhawa lagi!" Alvira membentak marah sambil menendang tulang kering cowok itu.   Tapi setelah berhasil membuat Petra mengaduh kesakitan, kakinya malah kehilangan keseimbangan dan terplanting ke belakang. Ia hampir menyentuh kerasnya lantai jika saja tidak ada sepasang lengan kokoh yang menangkapnya.   Alvira menggerjab, kelopak matanya terbuka sempurna dan mendapati wajah sang ketua OSIS yang begitu dekat dengan wajahnya. "Kok lo..." Sebelum cewek itu selesai berucap, Adreno menyelanya dengan mendorong tubuh Alvira. "Terimakasih sudah menolong saya," balas cowok itu sengaja menyindir.   "Gue gak minta lo tolongin ya!" Alvira membalas tak tau diri.   "Ya sudah, kamu jatuh lagi saja, dan saya tidak akan menolong," balasnya datar.   Alvira melotot. "Otak lo ke mana sih? Dipinjem pokemon? Gila ya lo nyuruh gue jatuh lagi!"   Adreno hanya berdecak menanggapinya, lalu manik kelabunya mengarah pada Petra yang masih meringis kesakitan. "Ah, kamu Kapten tim basket Baladewa?"   Petra yang baru menyadari kehadiran si ketua OSIS segera mendongakkan wajah, kemudian meringis, "Ya, gue Petra."   "Giliran tim kamu lima belas menit lagi dari sekarang," ucapnya datar.   "Oh, oke." Petra mengangguk singkat, berjalan menghampiri Alvira sambil mengedipkan mata jahil, "Gue balik dulu ya? Sampai ketemu lagi."   "Gak sudi gue ketemu siluman sial kayak lo!"   Petra hanya terkekeh menanggapinya. Kemudian berlalu sambil bersiul senang.   Setelah cowok SMA Baladewa sudah tak terlihat, Adreno memandang cewek bersurai pendek tajam. "Kenapa kamu masih di sini?"   "t*i lo!"   Setelah mengucapkan itu dengan marah, Alvira langsung melangkah lebar menuju pintu keluar.   ****   "Jadi? Adreno bilang ke dewan guru kalau gue itu pahlawan? Pahlawan apaan coba? Anak satu itu otaknya lagi miring kayaknya." Alvira menggigit kripik kentangnya rakus, lalu merebahkan tubuhnya, bersandar pada kepala ranjang.   Mereka bertiga sedang berada di kamar Ana. Menikmati seplastik besar camilan yang mereka beli di minimarket tadi. Memang sudah menjadi kebiasaan dari kelas satu SMP mereka berkumpul--bahkan menginap di rumah Ana.   "Tadi sih, Pak Eko bilangnya lo udah bantu nyelesain kekacauan di lapangan basket kemarin." Ana menjawab sambil lalu. Matanya menatap layar televisi dengan hikmat.   "Dia bangga-banggain lo gitu." Griya menimpali dengan pandangan lurus ke ponselnya.   "Padahal gue yang ngrusakin gedungnya kemarin." Alvira mengerutkan kening, kemudian memeluk guling di sampingnya, "ah, gak masuk akal. Masa cuma itu doang alasannya?"   "Adreno suka sama lo kali."   Alvira melempar guling dipelukannya ke arah Ana yang sayangnya meleset karena cewek itu lebih gesit.   "Sembarangan aja kalau ngomong! Najis! Gak sudi gue disukai cowok aneh kayak dia!" Alvira bergedik ngeri sebelum menenggelamkan wajahnya ke bantal.   "Gak usah sok-sok'an ngelak gitu deh. Ntar kalau beneran suka, gue bakal jadi orang pertama yang ngetawain lo," balas Ana sambil terkekeh kejam.   "Anjir lo, monyet." kali ini Alvira melempar bungkus kripik kentangnya yang lagi-lagi meleset.   Ana tertawa lebar, kemudian bangkit dari sofa dan menghampiri Alvira di atas kasur.   "Bercanda kali," ujarnya sambil menggoyangkan kepala Alvira yang tertanam di bantal hingga membuat sang empu menggeram kesal.   "Lepas gak? Pala gue pusing tau."   Ana berdecak. "Manja!" ucapnya sambil menonyor kepala Alvira.   Alvira mengaduh, "Gue juga masih gak ngerti kenapa dia bisa dapet ijin guru buat majang foto di mading." suara Alvira teredam bantal, tetapi masih bisa terdengar jelas.   "Yaelah. Namanya juga ketua OSIS, penyumbang dana paling besar di Pandhawa pula. Ya suka-suka dia lah, gak ada yang bakal ngelarang." Ana menimpali dengan tenang.   "Iya juga sih, kok gue gak kepikiran?" balasnya polos.   "Eh, gue nemu sesuatu tadi." Griya yang sedari tadi hanya fokus pada gadgetnya mulai bicara.   Cewek itu merogoh tasnya dan menyodorkan kertas lecek ke arah Alvira yang sudah bangkit dari posisi berbaringnya.   "Ngapain lo kasihin aib gue?" Alvira melempar kertas itu pada Griya.   "Baca dulu, pe'a. Di sana ada alasannya kenapa dewan guru ngijinin Adreno majang foto lo."   Cewek itu memutar bola matanya sebelum menuruti perkataan Griya. "Alvira Anindya. Gadis keras kepala dan biang onar di Pandhawa ternyata mempunyai bakat terpendam," Alvira meringis saat membaca tulisan selanjutnya. "medali emas kejuaraan taekwondo yang ia sabet kemarin menjadi bukti keberhasilannya."   "Pantes aja guru-guru ngijinin. Orang mereka pada bernapsu buat gembor-gemborin medali lo. Dan saat ada kesempatan, kenapa nggak coba?" Ana menimpali, menyuarakan pendapatnya.   Sedangkan Alvira hanya mematung sambil memandang kosong pada potret dirinya di atas kertas lecek dengan pandangan tak percaya. "Ya tapi enggak usah bilang kalo gue biang onar juga kali."   Ana melemparkan kripiknya pada Alvira. "Ya daripada Adreno bilangnya biang tawuran? Yang ada ntar lo malah jadi contoh enggak baik buat adik kelas."   "Terus kata 'biang onar' bisa jadi contoh yang baik gitu?" Alvira mendelik sinis. Yang dibalas kekehan oleh Ana.   "Ya seenggaknya kan biang onar yang berprestasi. Ya nggak Gri?" Ana mengedip jahil pada Griya yang sibuk mengunyah ciki.   "Iya An. Cogan itu memang selalu benar!" Griya berucap dengan nada riang, sedetik setelahnya, cewek itu mendapat timpukan bantal dari berbagai arah.   ****   Alvira mengayunkan skateboardnya menyusuri trotoar. Bibirnya bersenandung riang, mengikuti alunan musik dari earphone yang tersumpal di telinganya. Ia merapatkan jaket saat udara dingin berhembus mengenai tubuh.   Jarak rumah Alvira dan Ana tidak terlalu jauh, hanya sekitar lima belas menit jika berjalan kaki, dan tujuh menit jika Alvira menggunakan papan skatenya. Jadi ia memutuskan untuk pulang sendiri tanpa menelpon mang Agus.   Suasana malam ini agak sepi, tidak seperti biasanya. Orang-orang enggan keluar rumah karena cuaca mendung dan angin yang berhembus dingin.   Hanya tinggal melewati gang sempit itu dan menuju jalan raya. Alvira berdecak, ia tidak terlalu suka lewat sana. Selain tempatnya yang kotor dan bau, di sana juga gelap dan jarang di lewati orang. Tikus-tikus got juga sering numpang lewat untuk mencari makan.   Alvira membelokkan papan skatenya terpaksa. Hanya lewat sini jalan satu-satunya agar cepat sampai di rumah kalau tidak mau berjalan memutar.   Suara langkah kaki yang mendekat langsung menyapa Alvira pertama kali. Sosok pria dengan tudung jaket yang menutupi kepalanya terlihat berlari kencang menembus kabut tipis ke arah Alvira.   Alvira menghentikan laju skateboardnya. Dadanya berdegup antisipasi, cewek itu membungkuk untuk mengambil papan skatenya supaya lebih leluasa untuk berlari.   Saat sosok itu sudah sekitar satu meter darinya, Alvira berbalik. Tapi baru saja akan melangkah, tubuhnya terdorong ke belakang dan punggungnya langsung menyentuh d**a sosok itu. Alvira bisa merasakan detak jantung itu memompa lebih cepat dengan napas berkejaran menyentuh rambutnya.   Alvira memberontak saat sosok itu membekap mulutnya dengan sebelah tangan dan menariknya ke belakang dengan cepat. Alvira menggenggam papan skatenya erat-erat, dan pasrah saat tubuhnya di seret ke belakang tumpukan kardus dan sampah di ujung gang.   Saat merasa cekalan tubuhnya merenggang, Alvira mulai berontak. Tapi kemudian, sebuah suara merayapi indera pendengarannya.   Pelan dan dengan nada mengancam. Membuat cewek itu terpaksa bungkam untuk sementara waktu dengan tubuh yang menempel erat pada sosok itu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD