Walaupun nanti siang ada event basket, bukan berarti jam kosong dan pulang lebih awal. Kepala sekolah yang super tegas itu tidak akan membiarkan jam kosong kecuali dalam keadaan terdesak.
Di depan sana, Bu Endah--guru Pendidikan Kewarganegaaran masih sibuk menerangkan tentang Hak Asasi Manusia.
Alvira mendegus di tempatnya duduk. Dari jaman ia masih duduk di bangku sekolah dasar, pelajaran Pkn tidak pernah berubah. Selalu saja tentang HAM, dan itu membuatnya bosan setengah mati.
Alvira berdiri dari tempat duduknya dengan gusar.
"Lo mau kamana?"
Alvira melirik Griya sekilas. "Kantin lah. Lo ikut gak?"
Sejenak, Griya meragu. Tapi kemudian tersenyum lebar dan ikut berdiri. "Ikut dong. Kapan lagi bisa menuhin kantin lebih awal."
Alvira menyeringai.
Mereka akhirnya berjalan ke depan. Dengan berpasang-pasang mata yang mengamati.
"Bu, izin ke belakang." kata Alvira, dengan nada kelewat lembut.
Guru itu membenarkan letak kacamatanya, kemudian menatap Alvira dan Griya tajam sebelum mengangguk dan kembali menekuri pekerjaannya, menulis sesuatu di lembar kertas.
Jam istirahat masih akan berbunyi sekitar sepuluh menit lagi, tapi memang dasarnya anak SMA, melanggar peraturan adalah hal yang paling indah.
Alvira berjalan santai, diikuti Griya di sebelahnya. Lalu beberapa saat kemudian, terdengar derap langkah dari arah belakang.
"Anjir lo Vir. Biasanya juga gue duluan yang keluar dari jaman kelas sepuluh."
Alvira sangat mengenal suara ini, siapa lagi kalau bukan Rafan? Cewek itu melirik ke samping dan mendapati Rafan telah mensejajari langkahnya.
Alvira hanya menggedikkan bahu tak acuh.
"Gue hampir aja gak diijinin tau. Gara-gara lo udah keluar duluan." Rafan bersungut-sungut, yang dibalas Alvira dengan delikan tajam.
Hingga kemudian, sebuah suara menghentikan langkahnya. "Kak Alvira kan?"
Alvira menooleh, keningnya berkerut saat melihat dua anak cewek tersenyum ramah. "Ya?"
Mereka tersenyum lebar, kemudian menyodorkan sebuah buku terbuka dan pulpen. "Minta tanda tangannya donk Kak. Kita ngefans berat sama Kakak!"
Alvira menerima uluran buku itu dengan ragu, di sebelahnya Griya tak berhenti menyenggol lengannya meminta penjelasan. Sedangkan Rafan sudah ke kantin lebih dulu.
"Kakak hebat banget loh, bisa dapet medali emas kejuaraan tae kwon do tingkat nasional." cewek berkuncir kuda berkata ceria.
Seketika gerakan tangan Alvira berhenti. Matanya membulat.
Siapa yang memberitahu anak kelas sepuluh ini? Alvira tidak pernah mau keberhasilannya itu dipublikasikan di sekolah. Tidak ada yang tahu itu selain Alvira, pihak sekolah, dan sahabat-sahabatnya.
Apa jangan-jangan... Adreno? Tapi kenapa?
***
Event basket tepat di mulai sore ini. Para peserta dari sekolah lain sudah mulai berdatangan memenuhi gedung olahraga, menuju ruang transit masing-masing. Para siswa SMA Pandhawa sudah mulai di bubarkan karena event dimulai pukul 15.00 hingga malam nanti.
Alvira berjalan gontai, sama sekali tidak berminat dengan event yang tengah diadakan sekolahnya. Siswa yang lain sudah mulai memadati area gedung, karena sebelum event dimulai, akan ada sambutan dari sang ketua OSIS, waka kesiswaan, serta pertandingan duel Adreno melawan kapten tim basket sekolah, Akash.
"Alvira!"
Suara teriakan khas itu terdengar dari belakang. Alvira segera mengeluarkan papan skatenya dan mulai meluncur dengan cepat, menghindari kedua sahabatnya, tentu saja.
Alvira malas sekali jika harus dipaksa untuk melihat pertandingan basket hari ini. Lebih baik ia tidur dan malas malasan daripada bertemu kembali dengan cowok menyebalkan semacam Adreno Yudhistira.
Cewek itu mempercepat gerakan kakinya, tak peduli jika lantai koridor yang licin bisa saja membuatnya tergelincir. Alvira bisa mengatasinya dengan mudah.
"Minggir woy!" gadis itu memekik keras saat melihat seseorang tiba-tiba datang dari belokan koridor dan menghalangi jalannya.
Semua terjadi begitu cepat, Alvira membelokkan papan skatenya untuk menghindar dan malah menabrak tong sampah hingga membuat isinya berhamburan. Cewek itu jatuh terduduk tepat di depan sampah, sedang papan skatenya berada sekitar dua meter dari jangkauannya.
Alvira mengumpat sambil menendang bak sampah yang sudah terjatuh itu hingga menggelinding. Lalu meringis saat merasakan pinggangnya berdenyut sakit. Ketika hendak berdiri, ia melihat sebuah tangan terulur ke arahnya.
Cewek bernetra arang itu mendongak, lalu bertatapan dengan sosok tinggi dengan rambut kecokelatan yang terlihat bersinar tertempa sinar matahari yang menyorot tepat dari belakangnya.
"Ayo." cowok yang megulurkan tangannya itu berkata lembut.
Alvira berkedip dua kali sebelum menerima uluran tangannya ragu. Alvira tidak pernah melihat cowok bernetra hazel ini di area SMA Pandhawa sebelumnya, jadi ada kemungkinan jika cowok ini adalah siswa dari sekolah lain.
"Lo gak apa-apa?" suara berat itu membuyarkan lamunan Alvira. Ia memiringkan kepala--mengamati, kemudian mengangguk sebagai jawaban.
Cowok itu mengulas senyum. "Gue Petra. Dari SMA Baladewa."
Alvira hanya mengamati tangan yang terulur itu dalam diam. Dan...sejak kapan seorang Alvira Anindya jadi bisu dan kehilangan kata-kata seperti ini? Seharusnya dia marah karena gara-gara cowok ini, dia jadi terjatuh dan...
"Alvira!"
Ah, ya. Dan kedua sahabatnya akan segera menyeretnya pergi sekarang juga.
Gadis bersurai pendek itu menoleh ke arah sumber suara, kemudian mendesah saat melihat kedua sahabatnya itu sudah berada sekitar lima meter dari tempatnya berdiri.
Alvira mengalihkan tatapannya pada cowok yang hampir ia tabrak itu tajam. "Gak usah sok akrab, bisa?" cewek itu menyentak tangan Petra. "gara-gara lo, mereka bisa ngejar gue!" bentaknya marah.
Tepat setelah itu, Griya dan Ana sudah bergabung dengan kedua makhluk berbeda jenis itu dengan napas terengah.
Griya yang lebih dulu sadar ada mangsa empuk di depannya, segera mengendalikan diri. Senyum lebarnya langsung terbit, cepat-cepat ia mengulurkan tangannya pada cowok bermanik hazel.
"Hallo... gue Griya," sapanya ceria.
Cowok dengan potongan rambut cepak itu balas tersenyum dan menjabat tangan Griya. "Gue Petra, dari SMA Baladewa," ujarnya ramah. Lalu tatapan cowok itu mengarah pada Ana yang masih sibuk megambil napas. "Dan ini?"
Ana hendak menyambut uluran tangan cowok itu sebelum sebuah tubuh melewati mereka begitu saja, menggagalkan kedua jemari yang hampir bertaut.
"Alvira!" Ana menggeram marah, sedangkan cewek yang mengacaukan sesi perkenalan mereka hanya melenggang tak peduli sambil terbahak.
"Gue izin ke toilet dulu ya!" Alvira mengedibkan sebelah matanya menggoda sebelum berlari dan mengambil papan skatenya yang tergolek di lantai koridor.
Ana yang melihat tingkah sahabat anehnya itu melotot tajam sebelum menyambar tangan Griya dan berlari mengerjar Alvira. "Tunggu woy!! Jangan harap lo bisa lari dari gue ya!"
"Aduh Mak, itu cogannya gimana? Sayang kalo dianggurin." Griya mengoceh sambil menoleh ke belakang, tapi masih ikut berlari mengikuti langkah Ana.
"Ada Alvira, atau gue gak jadi lihat event basket!" ucapan tajam Ana membuat bibir Griya mengerucut.
"Oke, gue nyerah," desahnya dengan nada pasrah. Lalu mulai berlari mensejajari langkah Ana.
Sedangkan di ujung sana, Petra menatap kepergian ketiga cewek SMA Pandhawa sambil tersenyum tipis. Ia hendak melanjutkan langkahnya ke ruang transit sebelum sesuatu menghentikan langkahnya.
Cowok itu mengerutkan kening, menatap bercak noda kehitaman yang menempel di lantai bekas Alvira terjatuh. Ia mengedip sekali, "Bukannya ini... bekas kecap?"
****
Di depan sana, terlihat lapangan bola basket nan megah. Di sekelilingnya sudah berdiri bendera berlambang SMA Pandhawa, serta beberapa banner terpasang di dinding untuk memeriahkan event kali ini.
Para pemandu sorak sudah mulai berbaris rapi, siap menunjukkan aksinya di hadapan semua orang. Seluruh penonton tampak antusias dengan acara kali ini, terlihat dari wajah mereka yang ceria dan bersemangat.
Sementara di salah satu kursi penonton, Alvira sibuk menggerutu di tempatnya duduk. Sesekali sengaja menyenggol kedua lengan cewek yang mengapit duduknya.
Ia mendengus, "Jangan terlalu mepet gini bisa gak? Gue susah napas yaelah."
"Diem lo! Acaranya udah mau mulai!" ucapan ketus Ana membuat cewek itu mendesah dan melipat tangannya di depan d**a.
Jika bukan karena gara-gara cowok k*****t tadi, pasti sekarang Alvira tidak akan terperangkap diantara Ana dan Griya, berdesak-desakan dengan banyak orang di tribun lapangan basket indoor SMA Pandhawa.
Alvira menutup telinganya rapat saat mendengar teriakan membahana dari orang-orang di sekelilingnya. Rupanya, sang Ketua OSIS yang paling dipuja itu telah menampakkan diri, diikuti oleh waka kesiswaan sebagai perwakilan dewan guru untuk membuka event basket kali ini.
"Gila! Itu Bang Adreno keren banget." sial, ternyata suara cempreng Griya berhasil tertangkap indra pendengarannya. Usaha Alvira tidak membuahkan hasil sama sekali.
"Berisik!" gerutu Alvira tajam.
Ia ingin cepat pergi dari tempat ini, sungguh. Tubuhnya sudah lengket karena keringat, di tambah Griya dan Ana yang tidak mau bergeser satu senti pun darinya. Padahal sisi di samping mereka masih lengang dan cukup untuk beberapa orang.
"Eh, duelnya udah mulai tuh!" kali ini suara Ana yang terdengar. Alvira memutar bola mata malas. Lalu melirik sekilas pada dua cowok most wanted SMA Pandhawa yang sudah mulai memainkan bola.
Para penonton berteriak riuh kala sang ketua OSIS pujaan mereka berhasil memasukkan bola dengan gerakan mempesona.
Alvira hanya berdecih, kemudian mengeluarkan ponsel dari dalam saku roknya. Dari pada melihat cowok aneh yang selalu membuatnya kesal dari kemarin, lebih baik ia bermain game slither.Io kesukaannya. Permainan ular-ular beraneka warna itu entah kenapa selalu bisa merubah moodnya jadi lebih baik.
Alvira mulai sibuk dengan aktivitasnya hingga suara riuh itupun sudah tak terdengar. Saat ular hijaunya hendak melilit ular-ular lain, tiba-tiba tangan gadis itu tesenggol dan ular hijau miliknya mati.
"k*****t! Uler gue mati nih! Padahal udah sampe 90ribu!" geramnya frustasi.
Ana yang mendengar geraman Alvira kemudian mencubit lengan cewek itu keras. Pasalnya, kini semua mata tengah menyorot ke arah Alvira, dan cewek itu malah masih asyik dengan gamenya.
"Apa sih?" ujarnya jengkel.
"Lo dipanggil Adreno! Udah gue bilangin dari tadi juga!" Ana mendesis kesal dan mengarahkan wajah Alvira ke samping. Tepat ke arah Adreno yang sudah berdiri menjulang di disinya, lengkap dengan senyum khasnya.
Mulut cewek itu terbuka lebar. Kenapa Adreno tiba-tiba ada di sini? Dan... kenapa semua orang memandang ke arahnya?
Seperti orang linglung, Alvira menyambut tangan Adreno yang terulur ke arahnya. Kemudian ia berdiri dan pekikan Ana langsung terdengar setelahnya, di susul oleh beberapa yang lain.
"Apa?" Alvira membalikkan tubuh menghadap Ana. Dan kini, Adreno bisa melihat dengan jelas apa yang membuat sahabat Alvira itu memekik. Ternyata, di belakang rok abu-abu Alvira, terdapat noda berwarna cokelat kehitaman, berbentuk bulat, menyerupai darah mensturasi yang tembus.
Dengan sigap Adreno membuka jas OSIS yang di kenakannya, kemudian melilitkan jas itu ke pinggang Alvira agar menutupi bekas itu.
Alvira yang mendapat perlakuan tiba-tiba itu memekik pelan. Untungnya, tempat Alvira dan teman-temannya duduk berada di tribun paling samping, hampir menyentuh tembok. Jadi tidak banyak yang melihat bercak di rok Alvira.
Adreno menarik lengan cewek itu agar mengikutinya turun ke bawah. Alvira yang masih terlihat linglung hanya mengikuti langkah cowok bermanik kelabu tanpa banyak kata.
"Kenapa jas lo pakein ke gue?" Alvira berbisik sembari mengikuti sang ketua osis menuruni anak tangga.
"Ada noda cokelat di rok kamu," balasnya kalem.
Bola mata itu membulat sempurna. Apa tadi? Noda cokelat? Noda cokelat apa? Benaknya berkecamuk, sibuk menerka-nerka, memindai jawaban.
Saat tiba di bawah, tepukan riuh langsung terdengar dari berbagai sudut. Alvira semakin mengerutkan kening bingung, ekor matanya melirik Adreno meminta jawaban. Dilihatnya bibir cowok itu bergerak pelan. "Senyum," ucapnya tanpa suara.
Alvira yang tidak tahu harus berbuat apa hanya menurut. Setengah paksa ia lebarkan sudut bibirnya agar bisa melengkung dan menyamai senyum sang ketua OSIS.
***
"Tadi maksudnya apa sih?" Alvira langsung menyuarakan isi pikirannya begitu sang Ketua OSIS menyeretnya ke salah satu ruang transit yang kosong.
Adreno mengangkat bahunya tak acuh, kemudian mengambil botol air mineral dan meneguknya perlahan.
Alvira berkacak pinggang, "Eh, lo lama-lama songong juga ya?" cewek itu hendak memukul bahu Adreno sebelum cowok itu berhasil menghindar.
Adreno menutup kembali botolnya, kemudian menaikkan sebelah alis. Sudut bibirnya terangkat--menyeringai.
"Kamu benar-benar tidak tahu ya?" Adreno memiringkan kepala, lalu tersenyum manis. "Saya menjadikan kamu pahlawan di depan semua orang," ujarnya datar.
"Maksudnya?" Alvira masih belum paham dengan semua ini. Tadi tiba-tiba dua orang adik kelas meminta tanda tangannya, lalu tadi--Adreno menariknya turun dan mendapatkan tepuk tangan meriah. Ada apa sebenarnya?
Adreno menyeka keringat di lehernya dengan handuk bersih. Tubuhnya basah sehabis duel dengan Akash dan berakhir dengan kemenangannya, walaupun hanya berbeda satu angka.
Cowok itu membelai rambut hitam Alvira sebelum berucap. "Saya tidak punya waktu untuk menjelaskannya," ia tersenyum manis. "kamu enggak sebodoh itu kan Alvira? Kamu bisa mencari tahu sendiri."
Adreno mengambil cadangan jas OSIS dari dalam loker dan memakainya dengan gerakan anggun. Kemudian ia berbalik, hendak keluar, tapi kemudian, langkahnya terhenti.
"Ah, Alvira, jangan lupa mencuci jas saya jika sudah selesai," ujarnya sebelum benar-benar menghilang dari hadapan Alvira.
Cewek bermanik arang membuka mulutnya, masih sibuk mencerna kata perkata yang dilemparkan Adreno. Kemudian...satu pemahaman muncul di otaknya. Buru-buru ia mengecek bagian belakang roknya yang tertutup jas Adreno dan mendapati noda cokelat kehitaman terpampang jelas di sana.
"Sialan!" ujarnya marah, "siapa yang naruh kecap di rok gue?"
Alvira menepuk dahinya kesal. Pantas saja Ana dan beberapa orang tadi memekik ke arahnya. Mereka salah mengira jika itu adalah darah PMSnya yang tembus.
Dan tadi...Adreno sempat melihatnya bukan?
Sial!
***