BAB 10

1111 Words
Beberapa jam berlalu. Emily masih tersungkur di kamar Jean. Jean enggan melepas tangan Emily. Saat ini Jean tertidur di sampingnya. Emily membelai Jean dengan lembut, bukan karena Emily hanya melakukan tugasnya sebagai seorang Ibu pengganti, namun ia benar-benar menyayangi Jean. Dylan hendak ke kamar Jean putranya sebelum memasuki kamar, ia melihat Emily dan putranya sangat dekat satu sama lain, Emily membelai lembut pria kecil itu, begitu pun Jean yang enggan melepas genggaman tangannya dari wanita yang ia anggap Ibu kandungnya. Dylan memandangi Emily. Ia bersyukur jika Emily bisa melakukan perannya di depan Jean, walaupun hal itu tak benar tapi Dylan tak memiliki pilihan lain selain melakukan hal seperti ini agar Jean merasa terpenuhi sebagai seorang anak yang merindukan ibunya. Suara hentakkan kaki terdengar sedikit sangar, Emily tau jika Dylan baru saja mengintip dirinya dan putranya. Dylan menaiki tangga dan bertemu Paulina. "Apa Jean sudah tidur?" tanya Paulina. "Iya." "Apa wanita itu masih di kamar Jean?" "Iya." "Oke, Mommy suka sama wanita itu, karena ia terlihat seperti Ibu bagi Jean walaupun penampilannya membosankan." "Yeah," ujar Dylan melanjutkan langkah kakinya. *** Esok paginya Jean terbangun dan sudah tak melihat Emily berada disampingnya. "Mommy? Mommy. " panggil Jean. "Ada apa, Sayang? " tanya Paulina. "Grandma, semalam Jean tidur bersama Mommy, lantas sekarang tidak ada. Kemana Mommy, Grandma? Apa mommy pergi lagi?" tanya Jean terlihat gusar. "Tidak, Sayang. Mommy sedang di kamarnya." "Syukurlah," ujar Jean seraya memegang dadanya. Emily kembali masuk ke kamar Jean ketika ia sudah berpakaian rapi walaupun sederhana. Ia melihat Paulina sedang menatapnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Emily tau tatapan itu bukan tatapan suka, tatapan penuh kebencian kemungkinan terjadi, karena itu terlihat di wajah tegas Paulina, itulah yang ada di pikiran Emily, yang berputar di pikirannya seperti komidi putar. "Urus Jean dan bawa dia sarapan ke bawah, kami akan menunggu," ujar Paulina sembari melangkah Keluar kamar. Emily hanya mengangguk. Babysiter terlihat sedang menyiapkan pakaian sekolah Jean dan satunya mengurus perlengkapan seperti buku di masukkan kedalam tas dan sepatu Jean. Jean sedang mandi. Setelah mandi pria kecil itu keluar dan melihat Emily sedang berdiri memegang handuk. "Mommy?" Jean tersenyum. Emily pun tersenyum dan di susul dengan anggukan. "Iya, Sayang. Sini Mommy melap rambutmu," ujar Emily. "Kalian keluar saja!" Pintah Jean kepada kedua babysisternya. Sepeninggalan babysister Jean sangat manja kepada Emily. "Kenapa kau menyuruh babysistermu keluar?" tanya Emily. "Aku tidak mau terlihat manja di depan mereka, Mom," ujar Jean nyengir. *** Selesai membantu Jean berpakaian. Emily dan Jean lalu menuju ke ruang makan dimana sudah ada Dylan, Paulina, Raymond dan Alice sedang menunggu. "Duduklah di dekat Dylan," ujar Raymond. "Iya," jawab Emily. "Mommy di sini saja dekatku," tarik Jean dengan manja. Emily hanya mengikuti langkah Jean dan duduk di samping Jean. Keluarga hanya tersenyum melihat tingkah Jean yang begitu lucu dan menggemaskan. "Ayo, Jean," ajak Dylan. "Mau kemana, Dad?" "Ke sekolah." "Mengantarku?" "Iya, Jean." "Biarkan mommy yang mengantarku ke sekolah, aku mau menunjukkan ke teman-temanku jika Mommy sudah kembali," ujar Jean. Emily menatap Dylan. Emily benar-benar tak tega melihat kebahagiaan di wajah Jean, ia bingung karena apa yang ia lakukan adalah kesalahan. Kesalahan yang sangat besar, ia harus membohongi anak sekecil Jean hanya karena utang ibunya, tapi apa boleh buat, semua sudah terjadi. *** Emily POV. Aku dan Jean di antarkan Loen supir pribadi khusus mengantar jemput Jean ke sekolah. Sampai di sana semua orang melihat ke arah kami, mungkin karena kehadiran Jean dengan mobil mewah, itu yang ku pikirkan. Aku melihat gedung sekolah Jean yang begitu mewah dan aku yakin semua orang yang bersekolah di sini pasti para anak pejabat dan pengusaha. "Mom, bel sudah berbunyi, aku ke kelas dulu ya. Sampai jumpa, Mom," ujar Jean. Akun hanya bisa tersenyum melihat semangat Jean. Ketika hendak pulang, seseorang menyapaku. "Permisi." "Iya?" "Apa anda Mommy Jean?" "Iya. Ada apa, Nyonya?" "Jangan memanggilku nyonya, seharusnya aku yang memanggil anda Nyonya." "Kenapa bisa bergitu?" "Aku hanya seorang anak pengusaha kecil, jadi aku tidak pantas di sebut Nyonya, panggil saja aku Moel." ujarnya. "Oke," jawabku. "Tapi, anda mau kemana?" "Aku mau pulang." "Apa anda tak menunggu Jean sampai pulang sekolah?" "Memangnya begitu?" "Di sekolah ini ada ruangan khusus tempat para orang tua menunggu, Nyonya, anak TK 'kan sekolahnya hanya 4 jam jadi para orang tua di siapkan ruangan khusus, Begitu." "Oh seperti itu ya, aku benar tidak tahu." "Apa anda mau menunggu? Saya sering melihat Jean hanya di jemput supir, tak ada orang tuanya seperti Mommy atau pun Daddy-nya yang menunggunya." "Baiklah, anda mau kesana?" "Iya, Nyonya." "Kita bisa barengan kalau begitu." Aku dan Nyonya Moel langsung menuju ke ruang orang. Sampai di ruang tunggu aku dan Ny.Moel duduk di salah satu kursi kosong. Ruang tunggu ini benar-benar mewah, di siapkan televisi di ruangan ini beserta Kulkas untuk minum. " anda sangat muda, Nyonya." bisik Ny.Moel Aku hanya tersenyum. " anda sangat beruntung menjadi istri dari Tn.Maxwell " ujarnya lagi. Aku lagi-lagi hanya tersenyum, Karena aku emang tak bisa menanggapi hal seperti ini, Tapi tunggu, Ny.Moel mengatakan apa ? Beruntung ? Haha aku jadi tertawa dalam hati, Beruntung apanya, Dia tak menganggapku istri sama sekali, Berbicara pun jikalau penting, Jikalau berbicara pun hanya 2-3 kata saja. Aku jadi mengingat pria menyebalkan itu yang benar-benar bersikap dingin padaku, Ya, aku tau Aku hanya sebagai ibu pengganti buat anaknya tapi setidaknya hargai aku, Sebagai orang yang sudah membantunya, Bukankah apa yang ku lakukan lebih berharga di bandingkan uang yang ia keluarkan untuk hutang Mommy ? Aishh kenapa juga aku harus mengingat ini ? Aku kan hanya membayar hutang saja. Entah kenapa pandangan semua orang mengarah padaku. Ada apa ? Kenapa mereka memandangiku sedemikian ? " anda istri Tn. Maxwell kan ? " tanya wanita yang duduk di samping Ny.Moel, Mungkin saja ny.Moel yang mengatakan kepada wanita disampingnya itu jika aku istri pria menyebalkan itu. Aku mengangguk. " kenalkan saya ibu dari salah satu teman sekelas Jean, nama saya Pearsy, saya seorang designer, jadi saya tau baju anda kualitas murah dan beli di pasar, bukan ? " Pertanyaan yang benar-benar menyakitu hatiku, Dia seorang designer ? Trus jika dia seorang designer, kenapa dia harus mengomentari Pakaian yang ku kenakan ? Aku kan tak bertanya padanya, Aku juga tak menyapanya, Dasar orang kaya taunya hanya mencari kekurangan orang lain saja. " iya baju saya memang kualitas pasar, saya tak memungkirinya, tapi saya punya alasan Nyonya, saya bukan wanita yang suka pamer dengan sesuatu yang saya punya, jadi menurut saya terlihat sederhana di depan orang lain tapi memiliki etika itu lebih baik daripada sebaliknya, bukan ? " ujarku, aku berharap ia tersinggung dengan perkataanku. Tapi, ternyata wanita designer itu langsung diam. Semua ibu-ibu melihat ke arahku. Aku tak perduli terserah mereka mau mengatakan Yang penting kenyataannya aku adalah Istri dari Tn.Maxwell.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD