Author Pov.
Dylan sedang di mansion orang tuanya untuk makan malam bersama keluarga serta putranya.
Selesai makan malam, mereka duduk di ruang keluarga menikmati makanan penutup yang di siapkan khusus oleh chef untuk keluarga kaya ini.
"Kapan kau akan menikah lagi, Dylan?" Pertanyaan itu membuat Dylan merubah ekspresi wajahnya, hal ini yang membuatnya malas pulang ke mansion dan memilih untuk tinggal di rumah miliknya. Ia sungguh malas menghadapi setiap pertanyaan yang di lontarkan ibunya.
"Mom, jangan mulai deh," kata Alice adiknya.
"Bukan mulai, Sayang, kakakmu ini harus di tanyain, kapan menikah lagi? Jean membutuhkan sosok ibu di masa kecilnya seperti ini, sepengetahuan Jean juga 'kan ibunya masih hidup dan sedang berpergian saja, bagaimana jika dia tau yang sebenarnya? Apakah kalian pikir dia tak akan terpukul dan terluka? Di sekolahnya saja semua teman-temannya sering menanyakan di mana ibunya, apa kau mau putramu terpojok hanya karena tak memiliki sosok seorang ibu?"
Dylan hanya bisa diam karena membenarkan apa yang di katakan ibunya, meskipun terdengar sedikit memaksa.
"Jika kau belum mendapatkan wanita yang bisa kau nikahi, ya sudah nanti Mommy yang mencarikanmu." sambung sang Ibu.
"Stop, Mom, biarkan Dylan yang memikirkannya sendirian," kata Alice seraya menggeleng pelan.
"Daddy, Aku tak bisa tidur," kata Jean yang berlari kepelukan Dylan.
Dylan membelai rambut putranya dengan lembut.
"Baiklah. Daddy akan menidurkanmu," kata Dylan seraya menggendong putranya dan melangkah meninggalkan Raymond ayahnya juga Paulina ibunya serta Alice adiknya.
Dylan menidurkan Jean di kasur dengan pelan.
"Daddy, kapan Mommy pulang?" tanya Jean.
Dylan berpikir sejenak. "Nanti Daddy akan menanyakannya, tidurlah, Daddy akan di sini menemanimu."
Semenjak istrinya meninggal karena melahirkan Jean, Dylan menjadi begitu pendiam, sikapnya yang lembut berubah menjadi dingin, apalagi sekarang ia memiliki seorang putra yang membutuhkan sosok ibunya dan setiap kali memikirkan hal itu, Dylan seakan tak tega.
Setelah Jean tertidur. Dylan langsung mengecup puncak kepala putranya. Putra yang sangat ia sayangi melebihi apa pun di dunia ini.
Dylan hendak berjalan melewati tangga untuk , namun Alice mengajaknya berbicara.
"Kamu tidak bisa menginap saja?" tanya Alice.
"Tidak, Alice."
"Jadi ... kau sudah mau pulang lagi?"
Dylan mengangguk dan melanjutkan langkah kakinya.
"Ingat dan pikirkan perkataan Mommy. Mom mengatakan ini semua hanya demi kebaikan Jean bukan siapa-siapa," kata Paulina.
Dylan memilih tak menjawab pertanyaan Paulina dan langsung melangkah menuju pintu utama mansion.
"Mommy apaan sih, kasihan Dylan, Mom," kata Alice.
"Kamu tidak kasihan sama Jean?"
"Aku kasihan, tapi memaksa Dylan menikah, sepertinya tidak bisa di benarkan juga."
"Nah kalau kasihan, kamu diam saja."
Alice mengangguk.
***
Sudah hampir jam 10 malam, Emily masih di kantor, seharian ini. Ia di kerjain semua rekan kerjanya, sampai di hari pertama kerja pun ia harus lembur sampai jam 10 malam seperti ini.
Beberapa menit kemudian, pekerjaannya akhirnya selesai, Emily langsung mengambil tas miliknya dan kembali ke mess karyawan.
Emily tak tau harus jalan kemana, namun ia akan memberikan alamat mess kepada supir taksi.
***
Sampailah ia di depan kompleks. Emily melihat anjing kecil yang lucu berwarna coklat sedang di seberang jalan, Emily hendak menyeberang jalan. Namun, suara klakson terdengar sangat panjang dan sedikit menyakiti telinganya. Emily berdiri tepat di tengah jalan dan menutup matanya karena cahaya mobil.
"Ada apa?" tanya Dylan kepada supirnya.
"Maaf, Tuan, ada seorang wanita yang hendak menyeberang jalan."
"Kamu pelan-pelan saja," kata Dylan.
"Dan ... wanita itu sepertinya wanita yang waktu itu marah-marah, Tuan," kata Eldro supirnya.
Dylan melihat lurus ke depan dan melihat Emily masih berada di depan mobilnya.
"Dasar wanita aneh," gumam Dylan.
Tapi ... anehnya Emily tak marah-marah seperti biasa dan memilih melanjutkan langkah kakinya.
Dylan membayangkan sewaktu supirnya hampir menabrak Emily dan wanita itu sangat marah. Dylan melihat Emily tengah bersama anjing kecil yang sepertinya ia kenal.
Emily sedang bermain dengan anjing kecil yang begitu lucu berwarna coklat.
Tak lama kemudian Jake datang dan melihat Emily.
"Emily, apa yang kau lakukan di sini di jam seperti ini?" tanya Jake.
"Oh ... kamu, Jake? Aku pikir siapa, aku melihat anjing kecil ini sedang bermain sendirian," jawab Emily.
"Ini anjing milikku, aku sengaja menaruhnya di sini," kata Jake.
"Kamu menyukai hewan, Jake?" tanya Emily, seraya mengelus rambut anjing kecil itu.
"Ini pemberian dari seorang wanita," jawab Jake.
"Pacarmu?"
"Bukan." Jake menggeleng.
"Terus?"
"Apa aku harus menjawabnya?"
"Maafkan aku, Jake. Aku sudah melewati batasku," kata Emily.
"Tidak apa-apa, Emily, kau baru pulang?" tanya Jake.
Emily mengangguk.
"Kok bisa pulang jam begini?"
"Namanya juga hari pertama kerja, Jake."
" Ya sudah. Kamu sudah makan?"
Emily menggeleng.
"Ya sudah ... mau mampir ke rumahku? Kebetulan aku juga belum makan," ajak Jake.
"Tidak apa-apa, Jake, aku makan di rumah saja." Emily menggeleng.
"Kamu pasti tidak kebagian makanan, ini 'kan sudah jam berapa."
"Apa tidak akan merepotkanmu?" tanya Emily.
"Tidak lah. Ayo, " ajak Jake seraya menggendong anjing miliknya.
Emily masuk ke dalam rumah Jake yang di tata begitu rapi.
"Ini rumahmu?" tanya Emily.
"Iya."
"Lantas di atas sana, apa?"
"Itu kamarku," jawab Jake.
"Bukan. Maksudku yang di luar, itu apa?"
"Oh ... itu rumah sepupuku, designnya emang khusus di buat sepupuku untuk membuat rumah seperti ini."
"Pantas saja designnya beda," kata Emily seraya mengangguk..
"Ya sudah. Kamu duduk dulu, aku akan menyiapkan makan malam," kata Jake.
"Apa kau perlu bantuan?"
"Tidak perlu. Kamu duduk yang manis saja."
"Baiklah," kata Emily.
Emily bermain dengan anjing lucu itu dengan senangnya, Emily memang sangat senang dengan hewan.
Dylan hendak masuk ke rumah Jake, Dylan melihat Emily yang sedang bermain bersama Heppie. Ya anjing milik Jake bernama Heppie. Dylan menatap Emily dari jauh. Pria tampan itu juga melihat senyum tulus di wajah Emily.
Melihat Emily sedang berada di rumah Jake, ia pun enggan masuk dan memilih keluar dan menghirup udara malam di luar sana.
"Bagaimana hari pertamamu bekerja?" tanya Jake.
"Hari ini sungguh sial, aku harus terlambat ke kantor dan sampai di sana aku harus di pecat, aku juga harus menjadi tontonan, aku mengemis kepada bos yang menyebalkan itu agar tak memecatku."
"Hasilnya?"
"Aku tidak jadi di pecat," jawab Emily
" Syukurah."
Emily dan Jake lalu menikmati makan malam mereka, Emily bukan wanita yang harus menjaga imej kepada pria sampai ia harus makan dengan pelan. Wanita cantik itu memang apa adanya.
Emily tak melakukan itu dan memakan makanannya seperti biasa, lahap tanpa memperdulikan orang lain. Hal itu yang membuat Jake merasa lucu. Setelah selesai makan malam, Emily pamit untuk kembali.
Di dalam perjalanan kembali ke mess, Emily di tahan oleh empat orang pria kekar yang berpenampilan seperti preman. Emily hendak pergi tapi tangannya di tarik.
"Lepaskan!" Teriak Emily.
"Bayar dulu hutangmu, kau berjanji akan membayar hutang ibumu, bukan? Kami datang untuk menagi hutang itu." Mereka memang suruhan rentenir tempat ibunya mengutang.
"Aku belum punya uang," jawab Emily.
"Jangan bohong! Kau sudah tinggal di kompleks elit ini dan kau bilang tak punya uang? Jangan main-main dengan kami."
Kedua orang itu menggenggam kedua tangan Emily dan keduanya menampar Emily begitu keras. Emily begitu kesakitan.
Tak lama kemudian Dylan melihat Emily sedang di cegat oleh keempat preman.
Dylan menghampiri Emily dan ke empat preman itu dengan santai.
"Ada apa ini?" tanya Dylan.
"Bos, pria ini adalah Dylan Maxwell, Bos, " bisik salah satu preman kepada bosnya.
"Diam kamu!"
Emily begitu terkejut melihat Dylan berada di sini.
"Kami tak punya urusan dengan anda, kami hanya punya urusa n dengan wanita ini jadi anda jangan ikut campur."
Dylan melihat ke arah Emily yang sedang dengan wajah merah bekas tamparan.
"Apa urusan kalian dengan wanita ini?" tanya Dylan.
"Dia memiliki utang pada bos kami dan kami harus menagihnya sekarang sesuai apa yang wanita ini janjikan," jawab preman sialan itu.
"Tanda tangan di sini," kata Dylan menyerahkan pulpen dan sapu tangan miliknya kepada Emily.
Emily keheranan dan mengangkat sebelah alisnya.
"Tanda tangan." Perintah Dylan.
Tanpa berpikir panjang, Emily langsung tanda tangan.
"Eldro!!" panggil Dylan.
"Iya, Tuan?"
"Bawakan cek kemari."
Setelah mendapatkan cek, Dylan menatap ke empat penjahat itu.
"Ini cek kosong, tulis berapa pun yang kalian mau dan sertakan utang wanita ini ke dalamnya dan pergi dari sini," kata Dylan.
Ke empat pria itu langsung meninggalkan Dylan dan Emily.
BERSAMBUNG.