Ketika hatiku sudah sangat merindukan. Maka, Tidak akan ada yang bisa menolaknya. Apa lagi menolak kehadirannya, Rasa bahagia, kecewa. Itu pasti ada. Tetapi percayalah. Bahwa kebahagiaan itu akan segera tiba.
****
"DADDY," Teriak Arven saat ia baru saja memasuki kediaman Abiputra. Saat kedua mata mungilnya menatap punggung lebar Vino yang baru saja memasuki kediaman Abiputra.
"Hei pangeran kecil. Daddy, kau sudah pulang ternyata," Kata Vino saat ia mengangkat tubuh kecil Arven kedalam gendongannya.
"Daddy. Arven bahagia banget loh hari ini," Ujar Arven saat dirinya mengingat wajah cantik Jasmine.
"Bahagia? Bahagia karena apa, Sayang. Apa karena nilai - nilai Arven bagus?" Tanya Vino dengan senyuman tipisnya yang hanya akan ia tunjukkan kepada anggota keluarganya saja.
"Bukan. Ini bukan karena nilai pelajaran Arven, Dad. Tapi ada yang lebih membuat Arven bahagia. Tapi ini hanya akan menjadi rahasia Arven saja sekarang," Ucap Arven yang seakan belum ingin jika semua anggota keluarganya tahu apa yang ia rasakan hari ini.
"Loh. Kenapa dirahasiakan? Kan Daddy ini adalah Daddy-mu. Masa ia Arven pakai rahasia - rahasiaan. Ayo dong bilang sama Daddy apa yang membuat Arven begitu bahagia saat ini?" Tanya Vino yang merasa bahwa ada sesuatu yang disembunyikan oleh putra kecilnya itu.
"Pokoknya ini rahasia, Dad. Daddy, Arven mau turun." Pinta Arven membuat Vino mendesak pasrah, saat ia tahu bahwa pertanyaannya tidak akan pernah di jawab oleh putra kecilnya itu. Mengingat sikap putranya 11 12 sama seperti dirinya.
"Daddy. Arven ke kamar dulu ya," Izin Arven. Setelah mendapat anggukan kepala dari Vino. Pria kecil itu langsung berlari sambil menaiki anak tangga membawa tas kecil yang ada di punggung mungilnya. Vino menatap keceriaan Arven yang tidak seperti biasanya.
"Vino. Kau sudah pulang? Tumben kau pulang lebih cepat hari ini?" Tanya Kavin yang baru saja masuk bersama Meisie.
"Kebetulan hari ini. Vino gak begitu sibuk Dad, maka-nya Vino bisa pulang lebih awal. Oh ya, Dad. Kalau boleh Vino tahu, apa yang membuat Arven bahagia hari ini. Soalnya tidak biasanya Arven pulang dengan wajah seceria itu?" Tanya Vino saat ia menatap wajah kedua orang tuanya.
"Daddy gak tahu, Sayang. Coba kau tanya sama Mommy-mu. Mungkin dirinya tahu apa yang membuat cucu Daddy sebahagian itu," Kata Kavin saat ia menatap ke arah Meisie yang juga tengah menatap dirinya.
"Maaf. Mommy juga tidak tahu, Kavin. Aku permisi ke kamar dulu," Kata Meisie sambil melangkah tanpa ada niatan untuk berbicara lebih lanjut pada Vino. Melihat hal itu membuat Vino paham apa yang membuat Mommy-nya nampak lebih diam dari biasanya.
"Mommy," Panggil Vino membuat langkah kaki Meisie terhenti, tetapi. Nampaknya Meisie tidak ad niatan untuk menoleh ke arah Vino." Mommy, maaf atas sikap Vino tadi pagi," Ujar Vino dengan nada menyesalnya.
"Sudahlah Vino. Mungkin Mommy saja yang terlalu ikut campur akan urusanmu. Maaf jika Mommy terlalu mencampuri urusanmu," Kata Meisie sambil melangkah menaiki anak tangga membuat Vino ingin sekali menghentikan langkah kaki Meisie.
"Vin. Tidak ada ada salahnya jika kau mendengarkan ucapan Mommy-mu. Mommy-mu benar, bahwa Arven mungkin sudah sangat membutuhkan sosok seorang Mommy," Ujar Kavin saat ia melangkah ke arah Vino. Kini kedua pria berbeda usia itu sudah saling berhadapan satu sama lain.
"Tapi. Dad, Vino belum siap untuk berkomitmen kembali. Bukan karena Vino tidak mau terbebani hanya saja, Vino. Belum bisa melupakan Lisa, itu yang membuat Vino tidak mampu mengabulkan keinginan Mommy Meisie," Jelas Vino saat ia menatap kedua mata tua Kavin.
"Vin. Tidak ada salahnya jika kau kembali menata hidupmu. Lisa hanyalah masa lalu dan biarlah masa lalu itu tetap ada. Hanya saja, masa lalu tidak patut untuk di ingat, bukankah sebelum Lisa pergi ia sempat meminta dirimu untuk bisa merelakan dirinya. Tentunya bisa mencari pengantin dirinya, walau itu tidaklah mudah, tapi percayalah. Bahwa kebahagiaan itu sudah ada di depan matamu. Kamu bisa melihat bahwa Arven juga sangat mengharapkan hal itu. Harapan Arven hanyalah satu. Yaitu, ia ingin memiliki seorang Mommy di dalam hidupnya," Kata Kavin." Kau bisa memikirkannya, dan Daddy pasti akan mendukung pilihanmu. Apalagi Meisie yang tentu akan berada di sampingmu," Ucap Kavin sambil menepuk punggung kokoh Vino. Kavin berlalu setelah mengucapkan hal itu membuat Vino kembali merenungi ucapan kedua orang tuanya.
"Apa aku bisa? Apa aku bisa melupakan Lisa dan kembali menjalani lebaran baru bersama wanita lain?" Pertanyaan Vino entah pada siapa ia harus bertanya. Karena pada dasarnya, ia bingung siapa yang harus ia tanyakan.
****
Pukul 5 sore. Jasmine baru saja pulang dari sekolahnya, Jasmine bersyukur karena sekolahnya pulang di sore hari. Setidaknya dengan begitu, Jasmine tidak perlu mendapatkan omelan dari Resti yang mungkin akan membuat ia sakit hati. Tapi nyatanya, keinginan Jasmine tidak sepenuhnya terkabul sebab Resti. Yang notabenenya adalah adik kandung dari ayahnya, kini telah berdiri di depan pintu masuk.
"KEMANA SAJA KAU? JAM SEGINI BARU PULANG. APA KAU BERNIAT MELARIKAN DIRI DARI PEKERJAANMU. HAH, kau kira. Kau hidup di rumahku itu secara gratis? Ck. Dasar tidak tahu diri, tidak tahu terima kasih," Gerutu Resti yang kesal saat Melihat keponakannya itu.
"Maaf bi. Aku bukan ingin melarikan diri dari tanggung jawab, hanya saja hari ini aku memang pulang sekolah di sore hari. Karena mulai besok aku akan pulang sore," Jelas Jasmine dengan wajah takut - takutnya.
"Kau kira aku bodoh? Mana ada sekolah pagi pulang di sore hari. Kau jangan berani menipuku Jasmine aku ini tidaklah bodoh. Jika perlu aku ingatkan padamu," Balas Resti membuat Jasmine menundukkan kepalanya. Andai saja Resti tahu bahwa Jasmine masuk sekolah di siang hari bukan pagi hari. Pagi hari Jasmine berangkat sekolah hanya untuk menghindari ocehan dan amarahnya saja. Sedang siang hari memang adalah jam sekolah Jasmine.
"Bibi. Ta... Aaaargghh, Bibi sakit," Pekik Jasmine saat rambut indahnya dijambak kasar oleh Resti membuat beberapa helaian rambut terlepas dari kulit kepalanya.
"Dengarkan aku anak pembawa sial. Gara - gara kamu kakakku harus mati, seharusnya yang mati terlebih dahulu itu adalah kau. BUKAN Kak Bram," Bentak Resti saat ia semakin menarik rambut Jasmine membuat butiran kristal jatuh membasahi wajah cantik gadis itu. Jasmine merasa sangat terpukul setiap kali Resti menyalahkan dirinya atas kematian Bram yang notabenenya adalah ayah kandungnya sendiri. Ya, Bram adalah kakak kandung dari Resti yang juga merupakan ayah kandung dari Jasmine.
Jujur Jasmine tidak tahu apa yang membuat ia disalahkan. Sebenarnya apa yang terjadi pada ayah kandungnya? Kenapa ia yang disalahkan atas kematian ayah kandungnya, sedangkan ia tidak tahu apapun. Ia sama sekali tidak tahu apa penyebab dari kematian ayah kandungnya dulu. Karena Resti seakan tidak sudi untuk mengatakan apa penyebab dari kematian Bram.
"Sebenarnya apa maksud dari ucapan bibi? Kenapa bibi menyalahkan aku atas kematian ayah, sedangkan Jasmine sama sekali tidak tahu apapun. Setidaknya bibi beritahu padaku, apa yang membuat Bibi begitu membenci diriku. Tolong, beritahu aku Bi?" Mohon Jasmine dengan isakan tangisnya.
"Sampai kapanpun aku tidak akan memberitahukan apa penyebab dari kebencianku pada dirimu. Karena kenapa? Aku ingin membuat kau tersiksa karena terus saja memikirkan apa kesalahanmu dan itu adalah hiburan tersendiri bagiku. Karena dengan begitu, aku bisa melihat rasa bersalahmu di dalam kedua matamu itu," Sinis Resti sambil melepaskan jambakannya pada rambut Jasmine membuat Jasmine terduduk di depan pintu saat rasa sakit itu lagi - lagi harus ia rasakan.
"Hiks.. hiks, sebenarnya apa kesalahanku? Kenapa tidak ada seorang pun yang mau menceritakan apa yang terjadi pada ayah kandungku atau lebih tepatnya kedua orang tuaku. Hiks, Ayah. Ibu? Tolong beritahu aku apa kesalahanku sehingga bibi Resti begitu membenci diriku. Tolong setidaknya beritahu padaku agar aku memahami apa kesalahanku, setidaknya dengan aku mengetahuinya. Aku bisa memperbaiki semuanya." Batin Jasmine menjerit saat lagi - lagi ia tidak mendapatkan jawaban apapun dari Resti.
*****
Malam hari. Keluarga Abiputra tengah menikmati makan malam mereka di atas meja berukuran besar. Kavin, Meisie, Vino, Arven dan Viola. Viola merupakan adik satu - satunya dari Vino.
"Vio. Bagaimana dengan pekerjaanmu sebagai seorang dokter? Apa berjalan dengan baik?" Tanya Vino saat ia sibuk mengambil makan malam untuk putra kecilnya itu.
"Semua berjalan dengan sangat baik kak. Bagaimana dengan kakak? Kapan kiranya kakak bisa membuka hati kakak. Setidaknya jika bukan untuk kakak sendiri maka anggap saja ini demi keponakan kecilku," Ujar Viola membuat gerakan Vino terhenti. Vino meletakkan garpu dan pisau kecil di atas meja, sepertinya selera makan Vino hancur berantakan karena pertanyaan itu lagi.
"Sepertinya nafsu makanku sudah menghilang. Aku akan kembali ke ruang kerjaku," Kata Vino saat ia berniat untuk bangkit dari posisi duduknya.
"Kakak jangan egois. Kebahagian Arven adalah kebahagian kita semua, apa kakak tidak tahu bahwa diam - diam. Pangeran kecil kita selalu menangis," Ujar Viola dengan nada begitu lirih karena ia tidak mau jika Arven sampai mendengarkan ucapannya. Setidaknya, Viola harus bisa menjaga ucapannya jika berada di depan Arven. Karena ia tidak mau pria kecil itu kembali bersedih.
Vino kembali duduk di samping Viola. Ditatapnya wajah cantik Viola.
"Kau tidak perlu menasehati kakakmu ini. Viola, karena yang perlu dinasehati adalah dirimu sendiri. Kapan kau akan berubah? Kapan kau akan bersikap sebagai gadis pada umumnya. Apa belum cukup, masa remajamu kau habiskan untuk menyakiti para pria? Dengarkan kakak, Viola. Masa depanmu lebih panjang dari pada kakak. Kakak tidak mau adik perempuan satu - satunya kakak mendapatkan karma dari tingkah lakunya di masa lalu," Kata Vino dengan penuh menekankan membuat Viola menundukkan kepalanya karena menyadari kesalahannya. Ya. Kesalahannya di masa lalu. Kini, menjadi bumerang bagi dirinya. Andai saja Vino tahu bahwa ucapan kakaknya saat ini telah terjadi pada dirinya. Bahkan mungkin lebih buruk dari masa lalunya dulu. Viola sadar bahwa karma yang diucapkan oleh kakaknya itu semuanya benar. Hidupnya kini, tidak seindah dulu lagi. Kini ia hidup tapi jiwanya terancam, ingin sekali Viola memberitahukan semuanya pada Vino dan kedua orang tuanya. Tapi Viola takut, takut jika bajingann itu sampai melukai anggota keluarganya.
****
"Andai Kak Vino tahu. Bahwa saat ini Viola butuh dilindungi Kak. Andai dulu Viola mendengarkan ucapan kakak mungkin keadaan Viola tidak akan jadi seperti ini. Hiks, maafkan Viola. Kak, karena untuk saat ini Viola tidak bisa memberitahukan apa yang terjadi pada kehidupan Viola sekarang. Karena penjahat itu mungkin akan mengetahui pergerakanku. Maka dari itu, Viola harus bisa melindungi kalian dari pria brengsekk seperti dirinya," Batin Viola yang berusaha untuk menahan air matanya sendiri. Meskipun ia tahu, bahwa semuanya tidak akan seindah dulu lagi.
****
"Kakak tidak perlu menasehati aku atau mengingatkan aku. Karena kakak sendiri masih belum menemukan titik terangnya, jadi ada baiknya kakak mengurus diri kakak sendiri sebelum kakak mengurusi urusanku," Ujar Viola dengan nada sekuat tenaga ia tahan agar tidak runtuh di depan anggota keluarganya.
"VIOLA. BICARA APA KAU? INGAT DIA ADALAH KAKAKMU. VIOLA," Bentak Meisie karena merasa bahwa sikap putrinya sudah kelewatan batas.
"Meisie. Tenanglah," Kata Kavin yang berusaha untuk menenangkan hati istrinya.
"Tapi Kavin. Aku tidak pernah menyangka bahwa putriku berani bersikap sekasar itu pada kakaknya sendiri," Ucap Meisie dengan nafas naik turun.
"Daddy," Panggil Arven dengan wajah takut - takutnya.
"Syutt. Tenanglah sayang. Pangeran kecil Daddy tidak perlu takut." Ujar Vino dengan nada setenang mungkin, membuat Arven mengangguk patuh." Viola, tolong bawa Arven ke kamar," Perintah Vino dibalas anggukan kepala dari gadis itu. Sekilas Viola melirik ke arah Meisie yang sama sekali tidak berniat untuk menatap dirinya. Membuat Viola merasa sangat terluka, jujur. Ini bukanlah keinginan, keadaan yang memaksa ia bersikap seperti ini.
"Ayo Sayang. Kamu ikut bibi ya," Kata Viola lembut sambil menggendong Arven dan membawanya menjauh dari anggota keluarganya.
"Mommy. Kenapa Mommy harus membentak Viola seperti ini? Viola sama sekali tidak bersalah, mungkin ucapan Viola terhadap Vino itu memang benar adanya." Ucap Vino saat ia menggenggam tangan Meisie dengan genggam yang lembut.
"Vino. Sampai kapan kau akan membelanya? Lihat. Karena sikapmu yang terlalu memanjakannya, ia jadi tidak sopan pada dirimu. Jadi apa salahnya jika Mommy menegaskan pada dirinya, bahwa sikapnya ini sungguh tidak mencerminkan kesopanannya. Dimana tata sopan santunnya yang selalu Mommy ajarkan," Kata Meisie dengan nada tidak percayanya.
"Mommy. Tenanglah, Viola masih sangat muda jadi wajar saja jika ia belum bisa berpikir dewasa. Lagian, Viola adalah anak gadis jadi emosinya akan sedikit labil. Tapi Vino janji bakal menasehati Viola. Jadi, Vino mohon Mommy jangan emosi. Ingat tekanan darah Mommy saat ini sangatlah lemah, Vino gak mau terjadi sesuatu pada Mommy. Please, Mommy dengerin ucapan Vino ya," Kata Vino membuat Meisie mengangguk.
"Tapi Vio...!!! Ucapan Meisie dihentikan langsung oleh Vino.
"Urusan Viola. Biar Vino yang urus. Yang harus Mommy ingat adalah kesehatan Mommy." Ucap Vino membuat Meisie mengangguk patuh akan ucapan putra kesayangannya itu. Begitupun Kavin merasa bangga akan sikap dewasa Vino yang menuruni sifatnya.
Tbc,