Brianna baru akan turun dari ranjang ketika tiba-tiba saja pintu ruangan tempat ia dirawat terbuka. Wajah panik Ella adalah hal pertama yang Brianna temukan, ia lantas kembali duduk disisi ranjang, menunggu Ella yang tengah mendekat ke arahnya.
"Kau mau kemana? Keadaanmu belum benar-benar pulih." Ucap Ella sambil membantu Brianna berbaring, tak lupa pula ia menyelimuti tubuh Brianna.
"Ehm...saya harus pulang."
"Tapi dokter belum memperbolehkanmu untuk pulang, Brianna." Ella menggenggam hangat tangan Brianna. "Tolong turuti ucapan dokter, kandunganmu masih sangat lemah."
Mendengar ucapan Ella itu, membuat Brianna sedikit terkejut dan segera melepas genggaman tangan Ella untuk memeluk perutnya sendiri. Ketakutan mulai menyelimutinya, ketika menyadari dengan siapa ia berbicara. Orang di depannya ini bisa saja akan berusaha menyingkirkan bayi dalam kandungannya, karena Brianna sadar siapa dirinya. Ia hanya perempuan miskin yang menyedihkan.
Ella tersenyum sedih saat melihat ekspresi takut Brianna, perlahan ia kembali menggenggam tangan Brianna meski pada awalnya wanita itu menolak. "Jangan takut, aku tidak akan berbuat jahat padamu, Brianna." Ella menghela nafas panjang. "Sekarang bolehkah aku bertanya?.”
Brianna lantas mengangguk pelan untuk mengizinkan Ella berbicara.
“Apa...Kau mengenal anakku, Brianna?"
"Tidak!" Jawab Brianna cepat, dan Ella menyadari jika Brianna berbohong.
"Apa dia Ayah dari bayimu, Brianna?"
"Nyonya...saya..." Mata Brianna mulai berkaca-kaca, ia kemudian menunduk lalu menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya dan mulai terisak, mengingat bagaimana saat pertama kali ia terbangun di ranjang yang asing bersama pria yang menganggapnya seorang p*****r. Ya Tuhan! Hati Brianna masih sangat sakit untuk mengingat tentang hari itu. "Saya bukan pelacur." Lirih Brianna.
Ella pun berdiri dari duduknya lalu menarik Brianna kepelukannya. Ia mengusap lembut punggung Brianna, berusaha untuk menenangkan tangis Brianna. "Maafkan Putraku, Brianna. Aku berjanji akan membuatnya bertanggung jawab."
"Ap-apa?" Brianna perlahan mengurai pelukan, memandang Ella dengan tatapan tak mengerti. "Bertanggung jawab?"
"Iya, aku akan menyuruhnya menikahimu."
"T-tapi saya tidak bisa memaksanya untuk menikah dengan saya." Ucap Brianna. Ia tidak bisa membayangkan jika ia harus menikah dengan pria yang melukai harga dirinya. Brianna tidak akan sanggup.
"Aku mohon, Brianna. Demi bayimu."
"Saya...tidak tahu harus bagaimana. Bisakah tinggalkan saya sendiri dulu? Saya butuh waktu untuk sendiri.” ucap Brianna pelan."
"Baiklah. Aku akan memberimu waktu," Ella tersenyum hangat sambil mengusap punggung tangan Brianna pelan. "Aku harap kau menyetujui pernikahan ini, Brinna."
Brianna hanya diam, tak menggeleng dan tak juga mengangguk. Akhirnya Ella pun memilih keluar dan menutup pintu secara perlahan.
Tangis Brianna kembali pecah setelah Ella keluar. Ia lantas berbaring miring menghadap jendela, lalu menarik selimut hingga ke kepala dan menangis tanpa suara disana. "Ibu...Ayah...aku harus bagaimana?" Lirih Brianna pelan.
Suara pintu yang terbuka kembali membuat Brianna harus membekap mulutnya sendiri untuk menahan tangisan. Brianna merasakan seseorang berdiri dibelakangnya, tapi Brianna tidak tahu itu siapa, karena seseorang itu hanya diam saja.
Hingga suara pintu kembali terdengar, Brianna baru berani menurunkan selimut dari wajahnya. Ia bernafas lega karena sudah tidak siapa-siapa disana. Brianna lantas mengubah posisinya jadi menatap langit-langit kamar, terdiam beberapa saat untuk memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini.
Brianna sebenarnya tidak ingin menerima pernikahan itu, tapi Brianna juga merasa takut untuk menolaknya karena ia tidak punya biaya untuk membesarkan bayi dalam kandungannya. "Mama harus melakukan apa untukmu, sayang?" Tanya Brianna sambil mengusap pelan perutnya. Ia kemudian memilih untuk tidur, mengistirahatkan tubuh dan pikirannya dari apa yang terjadi hari ini.
****
Calla tengah tertidur lelap saat mendengar seseorang menekan bel apartemennya disertai ketukan kencang pada pintu. Ia lantas segera keluar untuk melihat siapa yang ada diluar. Kening Calla mengernyit ketika menemukan Adam dengan keadaan yang tidak bisa dibilang baik, pria itu tampak mabuk dengan rambut berantakan dan kemeja yang terbuka dibagian atasnya. "Astaga! Adam apa yang terjadi?" Calla memeluk tubuh Adam yang limbung ke arahnya dan mengajak pria itu ke sofa lalu membaringkan tubuhnya disana. Ia kemudian segera ke dapur untuk mengambil segelas air minum untuk Adam.
Tak lama Calla pun kembali ke sofa, membantu Adam duduk dan memberikan segelas air minum itu pada Adam. Pria itu membuka matanya, menatap Calla dengan mata merahnya lalu mencium wanita itu dengan menggebu-gebu.
Adam mendorong Calla agar berbaring disofa dan menurunkan tali gaun tidur yang dipakai Calla. Ia menurunkan wajahnya, mengecupi tiap jengkal leher Calla. "Aku menginginkanmu." Ucap Adam dengan hasrat yang sudah tak bendung lagi.
Calla tidak bisa menolak, karena ia juga menginginkan Adam. Ia pun mengangguk cepat sambil membantu Adam melepas kemejanya. Pria itu kembali mencium bibir Calla secara cepat, sementara satu tangannya sudah meremas d**a Calla, membuat wanita itu melenguh. Adam kemudian melepas ciumannya dan ganti menggoda d**a Calla, meniupkan nafasnya di sana lalu memberikan kecupan-kecupan ringan.
"Adam..." Calla melengkungkan tubuhnya, tak tahan karena Adam yang terus menggoda dirinya. Ia menatap pria itu dengan tatapan memohonnya, meminta Adam agar berhenti menggodanya. "Aku mohon..."
Adam tersenyum miring, ia mengabulkan permintaan Calla dan langsung melahap puncak d**a kekasihnya itu. Calla semakin melenguh, menekan kepada Adam agar semakin tengelam di dadanya.
Puas bermain dengan puncak d**a Calla, Adam kembali menaikan wajahnya untuk mencium bibir Calla. Perlahan Adam menelusupkan tangannya di balik punggung wanita itu, membawanya ke gendongannya lalu berjalan ke kamar.
Masih dengan ciuman panas dan godaan yang Adam lakukan, ia membaringkan tubuh Calla di sana. Nafasnya yang memburu membuat Adam menyudahi ciuman mereka. Pria itu menatap Calla yang sudah sedikit kacau dengan rambut berantakan dan satu sisi tubuhnya terekspos. Tapi anehnya itu justru membuat Adam semakin tergoda.
Adam kemudian menurunkan celana dalam Calla secara perlahan lalu mengecupi kaki indahnya sampai ke pusat diri wanita itu. Kepala Adam sudah semakin pening menahan hasratnya, ia pun segera melepas celananya, membebaskan bukti gairahnya yang sudah mengeras sejak tadi.
Melihat Calla yang sudah siap untuknya, Adam langsung menyatukan dirinya bersama Calla lalu menggerakan tubuhnya. Suara desahan Calla yang memenuhi ruangan membuat Adam semakin bersemangat, ia pun mempercepat gerakannya.
"Adam..." Calla mencengkeram leher Adam, menariknya mendekat dan menciuminya.
Adam menahan kedua tangan Calla disisi kepala, memandang wanita itu yang sudah tidak berdaya dibawah kuasanya, dan Adam menyukai itu. "Bagus, Calla. Sebut namaku."
Calla terus menggumamkan nama Adam, beriringan dengan gerakan Adam yang makin cepat. Hingga gelombang kenikmatan itu menghantam keduanya, Adam akhirnya ambruk diatas tubuh Calla. Ia mengatur nafasnya yang terengah, lalu mengeluarkan dirinya dari tubuh Calla dan menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka berdua.
"Terima kasih," Ucap Adam sebelum mengecup singkat pipi Calla. Ia kemudian segera memejamkan matanya, berharap pagi akan tiba agar ia bisa menceritakan semuanya pada Calla.
****
Pagi itu Brianna terbangun dari tidurnya karena ingin buang air kecil. Dengan pelan, ia turun dari ranjang, menggeret infusnya ke kamar mandi. Setelah menyelesaikan buang air kecilnya, Brianna pun keluar dari kamar mandi, dan terkejut saat menemukan Ella tengah menyusun makanan diatas meja.
"Pagi, Brianna." Sapa Ella, Brianna hanya membalasnya dengan senyuman. Ia mendekat lalu membantu Brianna mendorong infusnya. "Bagaimana tidurmu, apa nyenyak?"
"I-iya, Mrs." jawab Brianna gugup.
Ella menggeleng. "Mulai sekarang panggil aku Mommy ya, karena sebentar lagi kau akan menjadi bagian keluarga." Ia menggenggam hangat tangan Brianna. "Sarapan dulu ya? Mommy sudah membawa sarapan untukmu."
Brianna hanya mengangguk pelan, membiarkan Ella menyiapkan sarapan untuknya. Jika boleh jujur, perlakuan Ella mengingatkan Brianna pada Ibunya. Dulu saat kehidupannya baik-baik saja, Ibunya sering kali menyiapkan sarapan untuknya dan juga Ayahnya. Tapi setelah Ibunya pergi, Brianna merasakan dunianya hancur. Ayahnya mulai sering sakit-sakitan, dan ia harus bekerja untuk membayar biaya rumah sakit dengan gaji yang tak seberapa.
"Brianna ada apa, Nak? Kenapa menangis?"
Brianna menggeleng lalu menghapus cepat air matanya. Ia menunjukan senyumannya, seolah memberitahu pada Ella jika dia baik-baik saja. Brianna lantas segera memakan sarapan yang disiapkan Ella, meski sebenarnya ia sedikit susah menelan karena menahan tangisannya.