E M P A T

1314 Words
Beberapa minggu setelah kejadian menyakitkan yang coba ia lupakan itu, Brianna merasa ada yang tidak beres dengan tubuhnya. Akhir-akhir ini Brianna sangat gampang sekali lelah dan dia juga mudah sekali mengantuk dan tertidur saat bekerja, tak jarang hal itu membuat Mrs. Gritte sering menegurnya belakangan ini. "Brianna kau baik-baik saja?" Tanya Bailee ketika melihat tengah Brianna memijat tengkuknya. Dan seperti biasa, wanita itu akan tersenyum dan mengatakan baik-baik saja meski wajahnya terlihat sedikit pucat. "Wajahmu pucat, Bri. Lebih baik kau istirahat saja, biar aku yang menyelesaikan semuanya." "Tidak usah, aku sungguh baik-baik saja." "Tapi, Bri—” Ucapan Bailee terpotong ketika mendengar bel pintu berbunyi, Brianna lantas segera berbalik dan menunjukan senyum ramahnya pada orang yang baru saja masuk. "Selamat datang di toko kami," Brianna berucap ramah. Saat sadar siapa yang masuk, Brianna lantas membelalak kaget. "Oh?" Tak disangka, ternyata pembeli itu adalah orang yang Brianna tolong pada malam itu. Wanita itu juga memasang wajah terkejutnya dan mendekat pada Brianna. "Kau yang waktu itu, ya? Brianna 'kan?" Tanyanya dengan senyum hangatnya, mengingatkan Brianna pada mendiang Ibunya. "Iya, Nyonya." Brianna tersenyum sopan. "Aku tidak menyangka akan bertemu kau lagi. Waktu itu kau langsung pergi begitu saja," Brianna meringis pelan. "Maaf, Nyonya. Hari itu saya harus ke rumah sakit untuk menjenguk Ayah saya." Wanita paruh baya itu tampak menyesal, ia menatap Brianna sedih. "Oh maaf aku tidak tahu." "Tidak apa-apa, Nyonya." "Jangan panggil Nyonya, panggil saja aku Ella." "Tapi—” "Tidak apa-apa," Tanpa mendengar ucapan Brianna, Ella lantas berbalik dan menatap deretan kue yang tersusun rapi. Ia kemudian tersenyum sambil menatap Brianna. "Aku akan membeli sebagian kue di sini." Brianna membelalakan matanya. "Nyonya...serius?" Ella mengangguk. "Iya, kebetulan hari ini keluarga besarku akan berkumpul di rumah untuk acara pesta." Ia memasukan kue-kue pilihannya yang dibawa Brianna lalu memilih kue yang lain. "Kau sudah berapa lama bekerja disini, Brianna?" Tanya Ella sambil terus menyusuri deretan kue. "Sudah hampir 2 tahun." "Kau sudah menikah?" Brianna tersenyum tipis. "Belum. Saya masih ingin merawat Ayah dulu." "Apa pekerjaannya membuatmu nyaman?" Ella mengalihkan pembicaraan karena tidak ingin membuat Brianna bersedih. "Saya nyaman bekerja disini. Membuat kue merupakan hobi saya." Ella tersenyum tipis, berbicara seperti ini bersama Brianna membuatnya mengingat mendiang anaknya yang meninggal beberapa tahun silam. Andai putrinya masih hidup, mungkin umurnya tidak akan berbeda jauh. "Syukurlah. Jika kau dalam kesusahan, hubungi aku dinomor ini ya?" Ia memberikan selembar kartu namanya. "Tidak perlu. Saya—" "Tolong diterima ya?" Melihat tatapan Ella yang sedikit sedih lantas membuat Brianna tak tega. Ia pun menerimanya dan memasukannya ke saku celana. Setelah itu mereka lanjut memilih-milih kue dan beberapa roti sambil terus mengobrol, sesekali diiringi tawa kecil. Lalu ketika ponsel Ella berbunyi dan wanita paruh baya itu menjawab panggilan, obrolan mereka terpaksa dihentikan. Ella menghela nafas panjang, memasukan ponselnya ke dalam tas lalu menoleh pada Brianna. "Putraku yang menelpon, dia menyuruhku untuk cepat karena ada rapat penting yang harus ia hadiri." "Putra Nyonya ada di sini?" "Iya, dia menunggu di mobil." Ella terkekeh lalu berjalan ke arah kasir untuk membayar 2 keranjang belanjaannya. Brianna mengikuti, meletakkan keranjang itu di dekat kakinya dan memindahkan isinya ke atas meja agar memudahkan Bailee untuk menghitung total belanjaan. Saat ia tengah berjongkok dan hendak berdiri, kepala Brianna mendadak pusing. Ia dengan cepat langsung berpegangan pada sisi meja kasir agar ia tidak jatuh. "Brianna...kau baik-baik saja?" Ella memandang khawatir pada Brianna. Bailee lantas menyuruh Brianna untuk duduk saja, tapi Brianna menolak dan mengatakan jika dia baik-baik saja. Seperti biasa. "Jangan bodoh, Bri. Wajahmu sudah sangat pucat." Bailee mengambil beberapa tisu dan mengusap dahi Brianna yang berkeringat. "Kau bahkan berkeringat sangat banyak, padahal udara sedang dingin." "Mungkin aku akan terserang flu, beberapa hari ini aku memang sering pusing." "Lebih baik kita ke rumah sakit saja." Ella menyarankan. "Tidak usah, Nyonya. Aku masih sanggup untuk bekerja, mungkin pulang kerja nanti aku akan membeli obat saja." Brianna tersenyum lemah. Ia kemudian menyuruh Bailee untuk segera menghitung belanjaan Ella. Begitu semuanya selesai, Brianna masih memaksa untuk membantu Ella membawa beberapa kantung belanjaan, padahal Ella dan Bailee sudah menyuruh Brianna untuk istirahat saja. "Kau yakin tidak apa-apa?" Tanya Ella untuk yang ke 3 kalinya, sambil berjalan menuju mobil anaknya yang terparkir agak jauh. "Saya baik-baik saja." Itu jawaban final Brianna, setelah itu tidak ada lagi yang berbicara hingga mereka sampai di samping mobil. Pintu mobil pun terbuka, seorang pria tinggi keluar dari sana, dan menatap Ella dengan pandangan sedikit kesal. "Astaga, Mom. Kenapa lama sekali?" Pria itu kemudian membuka kacamatanya, membuat Brianna yang berdiri dibelakang Ella langsung mematung. Tangannya bahkan tak sanggup untuk menggenggam plastik belanjaan milik Ella dan membuat isinya pun berhamburan. "Brianna ada apa?" Tanya Ella sambil menatap Brianna yang masih berdiri diam dengan wajah semakin pucat. "Saya...." Keringat dingin mulai membasahi telapak tangan Brianna. Dan sebelum ia sempat menjawab, tubuhnya sudah lebih dulu limbung lalu semuanya berubah gelap. Hal terakhir yang Brianna ingat hanya teriakan panik dari Ella dan juga pelukan hangat pria itu yang menangkap cepat tubuh Brianna. **** Rasa menyengat yang Brianna rasakan dipunggung tangannya membuat ia terbangun. Brianna mengerjapkan matanya beberapa kali untuk memperjelas pengelihatan. Dinding berwarna putih dan juga tirai yang menutupi sisi kanan dan kirinya adalah hal pertama yang Brianna lihat. Aku di rumah sakit? Batin Brianna. Ia mencoba untuk bangun, tapi tidak jadi ketika dokter mengatakan jika ia tidak boleh banyak bergerak. "Saya...baik-baik saja, Dok." "Kau mungkin merasa baik-baik saja, tapi janinmu sedang tidak baik-baik saja. Dia sangat lemah, beruntung kau cepat dibawa kemari." "Ja-janin? Maksud dokter saya...hamil?" "Iya." Dokter itu tersenyum ramah pada Brianna. "Selamat ya atas kehamilanmu. Suamimu pasti akan senang mendengar kabar ini." Lalu dokter itu mulai menjelaskan hal apa saja yang tidak boleh Brianna lakukan disaat kandungannya lemah. Tapi Brianna sama sekali tidak mendengarkan itu semua. Dia masih terdiam sambil memandangi perutnya, lalu perlahan ia gerakan tangannya disana, mencoba untuk merasakan keberadaan janinnya di sana. Air mata Brianna perlahan mengalir, bukan karena terharu, melainkan karena ia tidak tahu harus bagaimana membesarkan anaknya. Brianna takut anaknya akan menderita seperti dirinya. Tapi Brianna juga tidak mungkin menggugurkannya, janinnya sama sekali bersalah. "Aku harus bagaimana, Ya Tuhan?" Bisik Brianna dengan isakan pelan. **** Ella menatap punggung Putranya yang tengah membelakanginya karena harus menunda jadwal meeting hari ini untuk mengantar Brianna ke rumah sakit. Tadi dokter sudah menjelaskan semuanya mengenai keadaan Brianna. Kandungan wanita itu dalam keadaan lemah dan harus istirahat untuk sementara waktu. "Mom apa masih lama?" Putra Ella yang selesai menelpon langsung duduk di kursi sampingnya sambil mengetik sesuatu di ponsel. "Kau ada urusan?" "Calla menelponku, minta ditemani berbelanja baju." Ella memutar matanya malas. "Kau masih berhubungan dengannya? Bukankah sudah Mommy bilang jika dia bukan wanita baik?" "C’mon, Mom. Sampai kapan Mommy akan seperti ini? Lagi pula Calla sudah cukup baik untukku." "Adam..." "Lalu menurut Mommy, wanita baik itu yang bagaimana?" "Yang seperti Brianna." Adam berdecih. "Dia tidak sebaik itu, Mom. Dia hanya seorang p*****r murahan." "Adam! Jaga ucapanmu, aku tidak pernah mengajarimu berbicara seperti itu." "Nyatanya memang seperti itu, Mom. Dia hanya wanita yang menginginkan uang. Bahkan dia rela menjual keperawanannya padaku." "JADI KAU PERNAH TIDUR DENGANNYA?" "Iya, tapi itu hanya sekali." "Dia hamil, Adam!" Adam mengangkat satu alisnya. "Lalu apa urusannya denganku, Mom?" Ella memukul bahu Adam beberapa kali hingga putranya itu mengeluh sakit. "Tentu saja semua ini ada urusannya denganmu, Dam! Bagaimana jika ternyata ia tengah hamil anakmu?!" "Tidak mungkin, Mom. Itu pasti anak orang lain. Dia itu pelacur." “Kapan kau berhubungan dengannya?” tanya Ella. Adam terdiam sejenak, menghitung hari terakhir kali ia bertemu dengan Brianna. “Um...mungkin sekitar 3 minggu yang lalu?” ucapnya tak yakin. Ella yang mendengar itu pun langsung memukul punggung tegap Adam. “Mommy tidak mau tahu, kau harus menikahi dia, Adam.” "What?! Mom, kau bercanda? Mana mungkin aku menikahi seorang pelacur." "Mommy tidak mau mendengar alasan apapun, Dam. Pokoknya setelah dia pulih, kau harus nikahi dia. Kau harus bertanggung jawab." Ucap Ella lalu meninggalkan Adam di kursi tunggu sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD