11 - Pemandangan Memuakkan

1376 Words
"Kenapa, Gan?" "Lo sempat lihat dia kan? Stalker it—" Seno dan Hanif kompak tergelak saat tanpa sadar keduanya berbicara bersamaan. Setelah melepas keberangkatan Yosa juga... Anya, Seno gegas menuju salah satu cafe yang masih ada di dalam bandara. Cafe yang dijadikan Hanif tempat menunggu sahabat sekaligus atasannya setelah mengantar sang kekasih. "Elo ngomong duluan deh, gue kayaknya butuh kopi buat normalin jantung gue," desah Seno dengan napas putus-putus. "Elo kenapa? Wajah mendadak cerah kayak habis dapat lotre gitu, Gan." Sudah beberapa hari ini Hanif menemukan satu panggilan untuk Seno yang langsung mendapat persetujuan dari orangnya langsung. 'Gan', singkatan dari 'Juragan'. Karena Seno menolak keras saat Hanif akan memanggilnya dengan sebutan boss atau semacamnya yang terkesan sangat kaku. “Ya karena habis ketemu stalker itu dong.” Senyum di kedua sudut bibir Seno masih bertengger manis meski ia sedang memanggil pramusaji café dan memesan matcha latte dingin. “Astaga, ternyata bener kata Rega ya, level keplayboy-an lo udah di taraf mengkhawatirkan,” komentar Hanif lantas menegakkan punggungnya di sandaran kursi. “Dia beda, Hanif. Be-da,” seru Seno memberi penekanan. “Tetap aja elo udah punya calon tunangan, nggak lucu aja kalau akhirnya elo malah cinlok sama stalker yang elo pekerjakan untuk menyelidiki Yosa.” “Belum kok.” Seno segera menyesap minuman dinginnya begitu pramusaji yang menyajikannya berlalu pergi. “Apanya belum?” “Gue belum tunangan sama Yosa. Lagian gelagat dia dan mamanya mulai ngadi-ngadi belakangan ini. Gue lagi ngumpulin banyak bukti aja buat putus sebelum semuanya terlambat.” “Terus? stalker itu, siapa namanya..” “Reva. Dia bilang namanya Reva.” “Kalaupun elo batal tunangan sama Yosa, terus malah kepincut sama stalker yang gak jelas itu, semuanya bakalan berakhir indah?” tanya Hanif dengan nada meledek. Seno memberengut sesaat ketika membalas tatapan iba dari Hanif. “Ahh, bodo amat lah, gue cuma ikutin apa kata hati gue, Nif,” bela Seno karena ia memang belum menemukan nama perasaan yang tepat untuk Reva. “By the way, elo tadi sempat lihat wajahnya kan? Reva? yang pake baju hitam-hitam itu,” sambung Seno kembali menanyakan hal yang sama. “Liat sih, tapi dari jauh. Jadi nggak begitu yakin juga pernah lihat dia atau enggak. Tapi dari postur tubuhnya yang kurus gitu, kayaknya emang nggak pernah kenal deh.” “Yakin?” ulang Seno memastikan. “Coba suruh buka masker,” Seno berdecak sekali. “Tadi dikeramaian, Nif. Mana mungkin dia mau nunjukin wajah, kecuali kalau ketemu secara langsung empat mata kayak gue sama dia yang kapan hari itu, dia pasti nggak pake masker.” “Kapan kalian bisa ketemu empat mata lagi, bakalan gue pastiin wajahnya. Kali aja bener kalau dia masih kenalan lama elo atau mungkin … ” Hanif memicingkan mata pada Seno dengan tatapan curiga. “Mungkin apa? apa?” tantang Seno. “Mungkin aja dia mantan cewek-cewek yang pernah glandotan sama elo kayak di club beberapa hari lalu itu,” tebak Hanif apa adanya. Berhubung atasannya ini punya pamor sebagai playboy ulung yang sering berganti-ganti teman wanita, tentu tak salah jika Hanif berpikiran seperti itu kan? “Nggak lah, gue tau bedanya mereka sama si Reva,” kilah Seno. Hanif mencebik sajalah dengan respon Seno. Karena sejak pagi tadi ia membuntuti Seno secara diam-diam, sama sekali tak bisa menebak siapa sosok Reva yang sebenarnya. “Beda ukuran cup?” balas Hanif lantas tergelak kencang. Masih terekam jelas dalam ingatannya saat melihat Seno duduk sambil memangku mesra seorang gadis cntik di dalam ruang VIP club milik Yudhis. “Bangkeee!!” “Heleeeh, bakat terpendam lo kan itu? grepe-grepe cewek sekalian review ukuran?” Hanif belum menghentikan gelaknya. “Nggak grepe-grepe juga kali, kepleset doang tangan gue,” aku Seno setelah melemparkan satu potong kentang goring ke arah Hanif namun dengan sigap ditepis oleh personal assistantnya itu. “Terserah elo lah, Gan. Udah nih? balik nih?” “Yuk deh balik, ke apartment dulu. Setelah itu lo ikut gue ke rumah opa,” pungkas Seno saat bangkit dari tempat duduknya. *** Tepat pukul tiga sore waktu setempat Anya mendarat di bandara internasional Ngurah Rai, Bali. Sambil berjalan menuju ke ruang kedatangan untuk mengambil bagasi, gadis itu tak melepaskan tatapannya dari Yosa barang satu detik pun. Model papan atas itu berjalan seorang diri sambil menempelkan ponsel di telinga kanannya. Mencoba menghubungi seseorang sepertinya. Ta km banyak yang mengenali Yosa, karena ia mengenakan masker hitam, kacamata hitam juga topi hitam untuk menutupi penampilannya. Selama penerbangan tadi, Anya sudah menghapalkan jadwal kegiatan Yosa selama syuting di pulau dewata ini. Hari ini masih acara bebas karena baru saja sampai. Esok hari, syuting dimulai sangat pagi di pantai Seminyak demi mendapatkan pemandangan matahari terbit. Dilanjutkan hingga siang dan sore hari. Kemudian esok lusanya, Yosa akan melakukan press realease terkait dengan kontraknya sebagai brand ambasador terbaru dari produk kecantikan yang akan ia iklankan. Anya belum menemukan cara untuk terlalu dekat dengan Yosa. Khawatir akan menimbulkan curiga, jadi yang dilakukan Anya hanya menatap dari jarak beberapa meter saja. Dengan kamera yang menggantung di leher, siap membidik gambar apapun yang sesuai dengan permintaan Senopati, satu-satunya client yang begitu cerewet dan terlalu cari perhatian kalau menurut Anya. "Yang jemput aku siapa? Daddy sendiri atau supir?" Anya menajamkan indera pendengarannya saat mendengar suara manja Yosa saat berbincang dengan lawan bicaranya. Tunggu dulu, apa tadi Yosa bilang? Daddy? Daddy? Akan tetapi menurut informasi dari Senopati Yosa adalah seorang yatim sejak meninggalnya sang ayah beberapa tahun lalu. Lalu ini, daddy siapa? Sugar daddy? "Yaaah kok supir sih," kali ini suara Yosa benar-benar dibuat menggelikan. Manja sekali. Sampai-sampai Anya bergidik ngeri saat mendengarnya lamat-lamat. "Aku kan maunya daddy yang jemput aku." "Ya udah deh, tapi janji ya. Malam nanti kita ketemuan di tempat biasa. Aku tunggu jam tujuh, sekalian kita makan malam." Yosa mencebikkan bibir saat mematikan sambungan teleponnya. Anya yakin seribu persen kalau lawan bicara Yosa saat ini tentu saja bukan Senopati. Tapi pria lain yang ia jadikan sebagai sandaran kedua selain kekasihnya. Ckk, dasar rubah bermuka dua. Untuk memastikan tebakannya, Anya segera membuka ponsel dan mengetikkan pesan singkat lewat aplikasi w******p. Ayah Yosa sudah meninggal kan? Apa dia punya ayah sambung, ayah angkat atau semacamnya? Sambil menunggu balasan, gadis itu mengayunkan langkah ke luar ruang kedatangan. Dengan tetap menjaga jarak aman dari Yosa yang berjalan di depannya. Tapi ternyata tak harus menunggu lama, ponsel Anya berdering menandakan pesan masuk. Senopati : Nope. Sejak ayahnya meninggal, Yosa hanya tinggal berdua dengan ibunya. Tidak ada ayah sambung atau semacamnya. Tak berniat bertanya lagi, Anya kembali memasukkan ponsel ke dalam celana jeans-nya. Mobil yang ia sewa sudah siap, jadi ia akan melanjutkan perjalanan menuju hotel yang tak jauh dari tempat syuting Yosa selama di Bali. Senopati : Kenapa? Senopati : Reva. Yosa kenapa? Senopati : Ada kabar terbaru apa? Anya mendebas napasnya frustasi. Sejak sampai di kamar hotel, ponselnya tak berhenti berteriak. Tadi Anya sempatkan mengangkat panggilan karena tau sang ibu yang menghubunginya. Tapi kali ini, dering ponsel Anya berisik bukan berasal dari nomor sang ibu. Melainkan dari client sultan yang songong capernya kadang membuat Anya mengelus d**a berharap banyak mendapatkan kesabaran. Senopati : Kamu sudah sampai di Bali kan? Senopati : Nggak nyasar kan? Nyasar??!! Serius pria itu mengira Anya nyasar??!! Tak ada yang aneh selama Anya membuntuti Yosa hingga hotel tadi. Model cantik tersebut dijemput seorang supir dengan mobil mewah mentereng. Benar-benar kelas atas yang begitu menyilaukan bagi pekerja hiburan seperti Yosa. Sampai di hotel pun tak ada yang aneh. Anya tahu akan hal itu karena ia menyewa celebrity suite di hotel yang sama dengan targetnya itu. Hingga beranjak petang, Anya yang tak pernah lepas dari kameranya, tak pernah menyangka akan mendapat target bidikan yang di luar perkiraan. Pemandangan memuakkan dari dua orang manusia beda kelamin yang salah satunya begitu Anya kenal luar dan dalam. Pemandangan menjijikkan yang membuat Anya lemas hingga nyaris tak bisa menegakkan kedua kakinya. Dari tempat duduknya yang sengaja mengambil kursi paling ujung di restoran hotel. Anya terhenyak dengan jantung berdentam hebat, ketika sepasang netranya menangkap sosok Yosa menggandeng mesra seorang pria paruh baya yang masih tampak begitu bugar dan tampan di sampingnya. Pria yang puluhan tahun silam menjadi idola dan cinta pertama Anya. Namun kini tergerus waktu seiring semua pengkhianatan dan luka yang ditorehkan olehnya. Siapa lagi kalau bukan, Ruben Subrata, ayah kandungnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD