Seorang pemuda berperawakan tinggi tegap berjalan dengan langkah mantap setelah melewati pintu utama sebuah club ternama di ibu kota. Rexa Night, club tersohor yang sedang naik daun baru saja membuka cabang ketiganya di Surabaya. Hanif tidak mengerti kenapa seorang Senopati, sahabat sekaligus calon bosnya meminta dirinya untuk bertemu di tempat yang penuh gegap gempita ini, dibandingkan di kantor Rosemary atau tempat lainnya yang lebih tenang. Mengingat ini adalah pertemuan pertama mereka berdua setelah hampir enam tahun tak bersua.
"Heii, Hanif. Sebelah sini, Bro!"
Satu suara yang memanggil namanya membuat Hanif yang baru sampai di lantai dua celingukan mencari asal suara. Begitu menoleh ke kanan, terjawablah sudah rasa penasaran pria itu. Sambil tersenyum lebar, Senopati yang sedang merangkul perut ramping seorang perempuan sexy di atas pangkuannya melambaikan tangan memberi isyarat agar ia mendekat.
"Gue udah tunggu dari tadi, Nif," seru Seno sekali lagi saat melihat Hanif sudah beberapa langkah darinya.
Tersenyum ramah, Hanif lantas merespon, "Maaf saya sedikit terlambat, tadi saya berkeliling di lantai satu untuk mencari Mas Seno." Pria bernama Hanif itu memberi anggukan kecil sebagai tanda hormat.
"Anjirr, nih anak kenapa formal banget sih setelah kelamaan ada di pedalaman." Seno berdecak sekali dengan senyum tersungging di kedua sudut bibirnya.
"Baby honey, aku ada urusan sebentar. Thanks atas perkenalannya, nanti aku hubungi lagi ya." Seno menatap sekilas ke arah perempuan cantik yang masih bergelayut di pangkuannya dengan senyum manisnya.
"Beneran ya, hubungi nomorku yang tadi aku kasih ya." Perempuan dengan rambut panjang berwarna kemerahan itu duduk menyamping sambil mengusap pipi Seno dengan gerakan seduktif.
"Iya," Seno menunduk untuk mengecup leher sang gadis yang sengaja dibiarkan terbuka hingga ia bebas menjamahnya.
"Oke, bye kalo gitu. Aku ke bawah dulu ya." Tersenyum manis, gadis seksi itu bangkit berdiri setelah melabuhkan kecupan di pipi kanan Senopati.
Setelah melambaikan tangan dan tersenyum kecil, Seno kembali mengarahkan padangan pada Hanif yang sedari tadi tampak tercengang melihat tingkah laku mesranya pada gadis yang baru beberapa jam ia kenal di club milik Yudhis ini.
"Duduk dulu, Nif. Santai aja sih," Seno mengendikkan dagu ke arah sofa yang kosong.
Sebenarnya Seno tak sendirian di ruangan yang lebih privasi ini. Ada Rega, Hesta juga Yudhis yang tak lain adalah pemilik club ini. Namun ketiga temannya itu sedang sibuk dengan urusannya masing-masing. Rega sedang menuju roof top karena sedang menelpon kekasihnya, Hesta sedang asik turun ke lantai dansa sambil menghentakkan tubuhnya bersama gadis kenalannya. Sedangkan Yudhis baru saja turun ke lantai satu karena ada rekan bisnisnya yang berkunjung. Hingga tinggallah Senopati yang tadi asik b******u dengan gadis pesolek yang mendadak mengikuti langkahnya setelah tau Seno adalah seorang Dwisastro.
“Elo kelamaan di pedalaman, pulang-pulang hampir jadi stupa gini sih?” Seno meninju pelan lengan atas Hanif yang hanya dibalas kekehan pelan oleh sahabatnya itu.
“Canggung, Mas.” Aku Hanif apa adanya. Apalagi setelah melihat tontotan gratis saat Seno dengan intimnya bermesraan dengan gadis cantik tadi.
Seno mengerutkan kening sesaat. “Mas? Heh, jangan bikin gue keliatan makin tua deh, kita cuma selisih satu tahun, ya kali elo panggil gue ‘Mas’?”
Hanif kembali terkekeh sambil menggelengkan kepala. “Pak Adi dan Bu Hana sudah memberi mandat, jadi hubungan kita sekarang ka—”
“Halah, bodo amat sama perintah mama papa, elo formal sama mereka berdua aja. Ke gue ya biasa aja, kayak dulu sebelum elo mengabdi jadi warga negara yang baik ke pedalaman antah berantah.” Seno tergelak lantas mengangsurkan satu botol minuman soda pada Hanif karena tau bagaimana kolotnya sahabatnya ini hingga tak mau mencicipi alkohol barang setetes saja.
“Weii, udah dateng, Nif?” Rega yang baru kembali ke ruangan, langsung menepuk pundak Hanif karena masih mengenali wajah familiar putra sulung dari ajudan utama keluarga Dwisastro itu.
Hanif sontak menoleh dan membalas tepukan ramah dari Rega. “Baru aja,”
“Gimana kerjaan di Papua? Makin oke aja tuh badan, keseringan jadi tarzan di hutan ya?” goda Rega mulai santai. Rega yang sudah bersahabat dengan Seno sejak bangku putih abu-abu tentu juga mengenal dekat Hanif.
“Aman. Cuma sekarang harus pulang dan mengabdi ke orang tua aja. Gantian.”
“Good boy, jangan jadi kayak calon boss elo yang itu.” Rega sengaja mengendikkan dagu ke arah Seno yang sedang menyesap minuman dinginnya.
“Gue kenapa? gue juga good boy kok?” bela Seno tak terima.
“Good boy kalo ke cewek-cewek seksi kayak tadi doang?” gelak Rega menyindir.
“Heei, mereka yang datang sendiri dan nawarin pertemanan. Mana tega gue tolak gadis semanis itu, sayang banget ngelewatin rejeki.”
Rega kembali mencibir sambil menunjuk Seno saat bersitatap dengan Hanif. “Tuh, liat tuh, Nif. Temen lo sekarang udah berubah jadi modelan berang-berang kayak gini, semua cewek langsung diembat aja meski udah punya calon.”
“Jangan dengerin Rega, Nif. Doi ngiri aja karena kalah populer sama gue,” elak Seno lagi.
Hanif yang mulai santai dengen obrolan teman-teman lamanya, akhirnya mulai membiasakan diri dan tak bersikap seformal tadi.
“Jadi kapan, saya— hmm, gue bisa mulai kerja?” tanyanya pada Seno.
“Kerja?” sela Rega tak paham.
“Mulai hari ini say—, hmm aku kerja jadi ajudannya Senopati,” jawab Hanif cekatan.
“Personal assistant kali, ya kali ajudan. Kaku banget kedengerannya, kek pejabat aja deh gue,” dengkus Senopati mencebikkan bibirnya.
“Laah elo kan emang pejabat KKPI,” cibir Yudhis tanpa berpikir lama.
“Apaan KKPI?” Rega menyahut.
“Ketua Komisi Playboy Indonesia,” kelakar Yudhis tergelak kencang.
“Aah, dasar kamprett kalian!” dengkus Seno melempar bungkus rokok pada kedua sahabatnya. “Eh, Nif, sama gue fleksibel aja, Nif. Palingan gue cuma keliling ke rumah sakit, pelajari sistem di sana sampe hapal di luar kepala. Habis itu gue cuma kongkow-kongkow sama mereka atau balik ke apartment. Sama seperti tugas Om Ragil dulu, elo cuma harus ada di dekat gue aja, jadi bisa laporan juga ke papa,” jawab Seno setelah kembali menatap Hanif.
Hanif menggulung kemeja hitamnya sampai sebatas siku. Lalu dengan cepat mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya. “Oke, kalau gitu gue perlu cocokin jadwal elo dari pagi sampai malam, mulai besok ya?”
“Sok sibuk banget deh sulung Dwisastro yang satu ini, sampe punya ajudan pribadi segala.” suara Yudhis terdengar mencibir.
“Saking sibuknya sampe bisa dikadalin sama calonnya sendiri,” sambung Rega kembali tergelak.
“Eh, iya … gimana kabar stalker yang mata-matai Yosa itu? udah ada perkembangan?” Yudhis menegakkan punggungnya.
Hanif mendengarkan dengan seksama setiap informasi yang ia dengar, terutama bial itu berkaitan dengan Senopati. Termasuk apa-apa yang dilontarkan oleh teman-teman Seno barusan.
“Belum lah. Baru dua hari lalu kami bertemu dan bahas apa-apa aja yang perlu dia tau tentang Yosa dan kegiatannya.”
“Njiirr, elo berhasil ngajak dia ketemuan langsung?”
Seno mengangguk bangga. “Sumpahm, cakep gila aslinya!” desis pria itu saat sekelebatan wajah elok milik Anya menyapa benaknya.
“Sapi dipakein lipstick juga bakalan elo bilang cakep, Seno!!” sembur Rega mengundang tawa yang lain.
“Eh, kampret! Gue seriusan, bahkan pas ketemu sama dia kemarin lusa, gue sampe lupa kalau ada Yosa yang bakalan jadi tunangan gue. Cuma yaa …” Seno merebahkan lagi punggungnya ke sandaran sofa.
“Dia kaku banget, dingin gitu. Nggak ada senyum-senyumnya sama sekali.”
“Radarnya kuat kali, kalo lagi berhadapan sama playboy cap kapak.”
Seno melotot sekilas ke arah Yudhis, tak ingin menanggapi kalaupun itu benar adanya. “Maksud gue, dia nggak senyum aja bisa bikin gue hilang fokus. Gimana kalau senyum dikit aja coba, bisa-bisa kepelet gue,” gumam Seno sambil menggoyang-goyangnya gelas berleher panjang di tangannya.
“Inget Yosa woii, Yosa!!” Rega sengaja melempar kulit kacang ke arah Seno. Namun pria yang sedang tergelak itu dengan sigap memiringkan tubuh sehingga terbebas dari serangan Rega
“Bentar deh, Reg, biarin dulu si Yosa, toh gue cuma anggap dia sahabat terbaik.”
Rega, Yudhis, Hesta juga Hanif langsung menyimak saat Seno menguarkan nada serius. “Gue kayak familiar sama wajah tuh stalker. Tapi gue nggak yakin, pernah lihat dia dimana,” sambung Seno sambil menggaruk dagunya yang tak gatal.
“Gue juga nggak yakin sama playboy modelan elo, Sen,” gelak Hesta membuat Seno melengos seketika.
“Nif, ntar kalo gue bisa ngajak dia ketemuan lagi, mending elo ikutan deh, tapi jangan terlalu dekat. Kita kan dari kecil hampir barengan terus, kali aja elo inget sama tuh cewek stalker,” ujar Seno beralih pada Hanif yang sedari tadi lebih banyak diam menyimak.
“Gue masih nggak paham kenapa harus ada stalker yang kerja sama elo juga, Sen?” Hanif mulai membiasakan bersikap layaknya sahabat lama yang kembali bertemu saat berbincang dengan Senopati.
“Nanti juga elo paham, Nif. Setidaknya tugas stalker itu sekarang jadi samar karena gue lebih penasaran sama dia, daripada perselingkuhan Yosa sendiri,” gumam Seno kembali mengisi gelas kosongnya.
Hanif menegakkan punggung sambil mengacak rambut pendeknya. Baru hari pertama ia bertemu dengan Senopati. Namun kepalanya sudah hampir mengepul karena banyaknya informasi yang harus dengan cepat serap terkait dengan sahabat merangkap boss barunya itu.
***