5 - Wajah Tak Asing

1700 Words
Anya sangat setuju dengan pepatah yang mengatakan bahwa luka dan sakit hati selalu bisa mengubah seseorang. Berubah ke arah pendewasaan yang lebih kuat dan lebih baik tentu saja. Dan hal itulah yang dirasakan Anya saat ini. Gadis itu sudah menjadi saksi hidup perselingkuhan sang ayah sejak dirinya masih sangat belia dengan menggunakan seragam putih biru . Dengan matanya sendiri ia beberapa kali melihat ayahnya memadu kasih mesra dengan perempuan yang berbeda-beda. Pernah dengan sekretarisnya, pernah juga dengan model papan atas di salah satu production house milik sang ayah dan yang paling parah menurut Anya adalah ketika ia mendapati Ruben, ayahnya, tengah b******u menjijikkan dengan salah satu suster yang merawat Bunda Leni. Istri pertama Ruben yang memang sampai kini mendapatkan perawatan penuh akibat kanker yang dideritanya. Ckk, bayangkan sendirilah bagaimana playboy-nya ayah kandung Anya ini. Beruntung sih kini Anya tak sering bertemu dengan pria paruh baya itu sejak enam tahun lalu. Tepatnya ketika Endang, sang ibu, memutuskan mengambil langkah tegas untuk memilih bercerai dengan Ruben. Salah satu keputusan yang paling disyukuri Anya selama ini. Setidaknya kini ia tak terlalu sering melihat air mata ibunya tumpah demi lelaki itu. Jangan sampai, pokoknya tujuan Anya saat ini hanya ingin membuat ibunya bahagia tanpa bayang-bayang sang ayah lagi. Karena itulah Anya sangat bersemangat pundi-pundi rupiah demi membiayai hidupnya berdua dengan sang ibu. Meskipun masih mendapatkan nafkah rutin yang dikirimkan sang ayah dalam jumlah besar, Anya ingin membuktikan diri bahwa dirinya pun bisa menghidupi dirinya sendiri juga sang ibu tanpa menyentuh pemberian ayahnya sedikit pun. Sakit hati Anya pada Ruben sudah terlanjur dalam. Cukup sudah ibunya menanggung sedih, malu juga derita ketika dikucilkan dari keluarganya sendiri karena dulu di masa muda terlalu percaya dengan kata cinta dari suaminya. Namun kini Anya hanya ingin melihat bidadarinya itu bahagia, meski dalam lubuk hati perempuan tua itu sering merasa bersalah pada putri tunggalnya sendiri. "Maaf jadi menunggu lama, tapi saya belum terlambat kan?" Suara berat seorang pria asing memecah gelembung lamunan Anya. Gadis itu menarik tatapannya dari jendela besar dan beralih memindai lelaki dengan postur jangkung yang tersenyum di depannya. "Senopati?" tebak Anya tak punya opsi lain dalam benaknya. "Iya benar, saya Seno. Anda … stalker yang sebelumnya berbalas email dengan saya itu kan?" Pria itu tersenyum ramah lantas mengulurkan tangan. Anya mengangguk kecil lalu menyambut uluran tangan tersebut sebagai bentuk sopan santun di antara rekan kerja. Seperti yang biasa ia lakukan sebelumnya. Tapi ini... pertama kalinya Anya bertemu secara langsung dengan client yang menggunakan jasanya sebagai seorang stalker. "Panggil saja Reva," balas Anya tak ingin menyebutkan nama panggilan yang sebenarnya. Akan tetapi tak salah juga kan? Toh Reva juga bagian dari nama panjangnya, Revanya Yeslyn. "Nggak telat kok, saya yang datang terlalu cepat." Anya berbasa-basi singkat. "Mau pesan minuman dulu atau langsung bahas kerjaan?" Anya langsung menyodorkan daftar menu di sebelahnya ke depan Seno karena Anya sendiri sudah memesan srawberry matcha latte sebagai temannya sejak tadi. "Boleh deh, sekalian saya pesan makanan. Saya lapar sekali, dari tadi belum sempat makan." Anya hanya diam tak menanggapi keluhan tersebut, padahal gadis itu pahan kalau pria di depannya ini sedang mencoba menjalin keakraban dengan dirinya. Namun Anya sadar diri kalau dirinya hanya penyedia jasa, sedangkan Senopati adalah client-nya. Apalagi setelah Anya dengar sendiri dari Reno perihal latar belakang keluarga Seno yang bisa dibilang bukan orang sembarangan. “Kenapa meminta bertemu secara langsung?” Anya tak ingin berbasa-basi terlalu lama. Jadi setelah memastikan Senopati menghabiskan Spaghetti carbonara di hadapannya, ia langsung saja menanyakan hal yang membuatnya penasaran selama beberapa hari terakhir. Selama menjalani profesinya, ini pertama kali mendapati seorang client yang meminta bertemu empat mata secara langsung. Padahal sebelum-sebelumnya Anya selalu menyelesaikan pekerjaannya dari awal hingga akhir hanya melalui komunikasi email, telpon atau pesan singkat saja. Seno menghentikan gerakan tangannya sejenak lalu kembali menutupkan sendok juga garpunya di atas piring yang sudah kosong. Setelah menenggak sedikit minumannya, pria tampan dengan penampilan super rapi itu menatap Anya sekilas lantas berkata. “Hanya ingin saja,” serunya mengangkat kedua pundaknya tanpa beban. “Saya sedang nggak main-main saat ingin menyelidiki kegiatan seseoarang. Jadi saya juga perlu tau dengan persis dengan siapa saya bekerja sama. Jangan sampai yang mengerjakan tugas dari saya ternyata orang yang belum kompeten di bidangnya.” Salahkan jika Seno sedikit berdusta? Sebenarnya ia mengajak sosok stalker-nya ini untuk bertemu karena memang sangat penasaran dengan sosoknya yang kata sahabatnya merupakan gadis menawan namun berperingai kaku dan tak bersahabat. Lalu soal hasil pekerjaan, tentu saja Seno sudah mempercayainya seribu persen, karena Yudhis sendiri yang sudah menunjukkannya. “Jadi anda belum percaya seratus persen dengan pekerjaan saya? lalu kenapa memilih menghubungi saya?” Seno mengangguk cepat. “Percaya, tentu saja sangat percaya. Saya hanya ingin tau siapa sosok dibalik nama Sweet Stalker, RY ini,” imbuh pria itu tersenyum ramah. Anya mengerutkan keningnya sesaat, lalu tersenyum miring saat mengaduk minuman dingin yang ia pesan. “Ahh.. jadi Anda mengeluarkan biaya sebegitu besar hanya karena penasaran ternyata.” “No!” ralat Seno cepat-cepat. “Down p*****t yang kemarin tentu saja untuk pekerjaan kamu, bukan untuk membayar rasa penasaran saya. Itu dua hal yang berbeda.” “Oke, oke. Bisa langsung saja ke inti pekerjaan saya nanti? mana detailnya?” Anya sengaja mengalihkan topik pembicaraan lalu mengeluarkan tabletnya dari dalam tas selempang biru tua yang selalu ia bawa kemanapun pergi. Seno lagi-lagi melemparkan senyuman mautnya yang ternyata tak membuat gadis di depannya ini terkesima sama sekali. Akan tetapi Seno cukup terkesan dengan sikap Anya yang antipati dan memilih fokus dengan apa yang menjadi pekerjaannya saja. Jadi tanpa berniat mengulur waktu, Senopati juga mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Menarikan jemarinya dengan cepat lalu menunjukkan sesuatu yang kini terpampang di layar gawainya. “Ini,” Seno menunjukkan foto Yosa yang kini menghiasi layar ponselnya. Membuat Anya mau tak mau sedikit menggeser tempat duduknya mendekati kursi yang diduduki Seno. “Namanya Yosa, Yosanna Andriani. Salah satu model papan atas yang tiga bulan lagi akan menjadi tunangan saya.” Anya mengangguk singkat memahami informasi awal tersebut. “Saya hanya ingin memastikan kebenaran berita simpang siur yang beberapa kali saya dengan dari rekan saya, dan sekarang malah melebar sampai ke infotaiment di sosial media.” Anya mengangguk sekali lagi. Kalau soal itu dia juga memahaminya, apalagi gadis itu juga sudah sempat mencari tau tentang Yosa lewat berita-berita yang bertebaran di media online. “Yang ada di akun lambe-lambean itu bukan?” sela Anya sedetik kemudian. Seno melirik sekilas ke arah Anya yang mencondongkan tubuh ke depan untuk menekuri layar ponsel miliknya. Tatapan pria itu sedikit terusik dengan bulu mata cantik dan lentik yang dimiliki oleh gadis yang baru ditemui beberapa jam lalu. Shiitt!! kenapa otak Seno justru terdistraksi dengan hal-hal seperti itu di saat dirinya sedang genting-gentingnya ingin menyelidiki sepak terjang Yosa? “Iya kan?” Anya menoleh ke arah Seno untuk memastikan lagi. Seno mengerjap beberapa saat lalu mengangguk mengiyakan. “I- i- iya yang itu? kamu sudah tau?” “Beritanya lagi rame, dan saya memang sempat mencari tau sekilas berbekal informasi dari email pertama Anda.” Seno menarik napas panjang lantas menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. Berjarak dekat hingga bisa menghidu aroma manis parfum Anya rasanya tak terlalu baik baik kesehatan jantung si playboy sultan itu. “Panggil ‘Seno’ atau ‘Mas’ saja, sebutan ‘anda’ rasanya terlalu kaku dan terdengar tua sekali kalau melihat dari usia kamu yang rasanya masih sangat belia,” pinta Seno setelah berdeham satu kali. “Oke.” “Lalu selanjutnya … bisakah hasil pekerjaan ini selesai dalam satu atau dua bulan saja? yang penting jangan sampai tiga bulan atau mendekati tanggal pertunangan kami. Setidaknya apapun hasilnya nanti, bisa dijadikan pertimbangan untuk melanjutkan atau membatalkan acara tersebut.” “Baik, bisa diatur. Bahkan bisa saya kerjakan selepas pertemuaan kita malam ini,” balas Anya lantas mematikan tablet dan memasukkannya lagi ke dalam tas. “Sudah kan?” Seno mengangguk singkat. “Itu saja kok, separuh pambayaran yang saya janjikan sebelumnya akan lunas setelah hasilnya keluar.” “Tentu saja. Saya nggak pernah mengambil bayaran sebelum menyelesaikan tugas dengan tuntas.” Anya menggeser kursinya kembali ke tempat semula lantas mulai memakai masker dan sweater merah maroon yang tadi ia sampirkan di kursi kosong sebelahnya. “Saya pamit undur diri kalau begitu. Mau langsung mencari tau kegiatan calon tunangan And—, Mas Seno maksud saya.” “Langsung bergerak sekarang?” Seno menaikkan satu alisnya. “Lebih cepat lebih baik kan?” Anya kembali bertanya sambil tersenyum miring. “Saya antar!” Seno bergerak cepat ikut mengemasi ponsel dan dompet yang tadi ia letakkan di atas meja makan. Anya terdiam sambil mengerutkan kening. “Mana ada penguntit yang kerjanya diantar sama client sendiri? Mas Seno ada-ada saja!” gelaknya kecil. Seno mengatupkan bibirnya salah tingkah. Benar juga apa yang dikatakan Anya, ini pekerjaan rahasianya. Jadi mana mungkin gadis itu bersedia diantar olehnya. Apalagi jika ini berkaitan dengan Yosa, sahabat dekat yang segera menjadi tunangannya sendiri. “Ahh, benar juga ya!” lirih Seno menggaruk leher belakangnya yang tak gatal. Anya mengangguk pelan. “Saya bawa kendaraan kok, terima kasih atas tawarannya. Oke, saya pamit dulu kalau gitu, Mas … Senopati. Selamat malam.” Anya mengulurkan tangan sebagai tanda berakhirnya pertemuan singkat mereka. Seno menerima uluran tangan Anya dengan cepat, lalu tertegun sepersekian detik setelahnya. Entah kenapa setelah berjabat tangan kedua kalinya dengan gadis berambut cokelat itu, ia baru menyadari perasaan tak asing yang mendadak menyusup ke dalam hatinya. Meski sudah mencoba mengingat dengan cepat, Seno tetap tak bisa menemukan ingatan yang berkaitan dengan gadis di depannya ini. “Selamat malam,” balas Seno menutupi rasa mengganjal di dalam hatinya. “Hmm, Reva,” panggil Seno tanpa rencana. Anya yang sudah berbalik kembali menoleh dan memaku tatapannya pada Seno. “Iya?” “Bisa kita bertemu lagi?” “Untuk?” “Hanya bertemu saja,” Seno tak tahu kemana perginya kemampuan membualnya selama berhadapan dengan perempuan selama ini. Anya dan sikapnya yang datar-datar saja justru membuat playboy kawakan itu linglung seketika. “Oke, nanti. Setelah saya tuntaskan pekerjaan ini.” Tanpa senyum basa-basi, Anya langsung mengayunkan langkah cepat dan meninggalkan Seno yang masih berdiri termenung di tempatnya semula. “Kenapa malah terasa nggak asing ya sama wajah nih cewek?! tapi siapa?” gumam Seno seolah berbicara dengan dirinya sendiri. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD